Oleh: Iffatus Sholehah*
Pada tanggal 22 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo menetapkan Hari Santri Nasional. Penetapan hari tersebut merupakan bentuk pengakuan dan penghormatan atas kiprah para kiai, santri, dan pesantren yang turut serta dalam membentuk identitas bangsa dan memilki peran dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Khususnya untuk menunjukkan kiprah santri dan semangat keindonesiaan.
Sebagaimana kita ketahui dalam institusi pendidikan dan keagamaan, pesantren telah lama berkiprah di bumi nusantara ini. Bahkan sebelum Indonesia merdeka. Selama itu pula, pesantren secara umum telah berkontribusi besar serta mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan perkembangan dan tantangan zaman.
Pesantren telah membuktikan diri untuk tidak bersikap isolatif. Akan tetapi justru aktif berkontribusi dalam menyelesaikan problem multidimensional yang dihadapi bangsa ini. Tradisi pesantren sebagai representasi dari wajah Islam inklusif, dan dahulu pernah menjadi ujung tombak dalam pembangunan peradaban Melayu Nusantara itu, kini diharapkan tampil kembali dalam merespon tantangan-tantangan Indonesia di masa modern.
Di era serba moderen saat ini, perkembangan teknologi dan informasi telah membawa pengaruh besar bagi umat manusia, khususnya dunia Islam. Keduanya turut berperan dalam mempopulerkan kembali isu radikalisme dan terorisme. Radikalisme dan terorisme sendiri pada dasarnya adalah buah dari pendangkalan doktrin agama. Dengan bantuan teknologi, informasi yang menyesatkan terkait ajaran agama dapat dengan mudah disebarluaskan.
Kiprah Santri Terhadap Paham Radikalisme dan Terorisme
Maka sepatutnya para santri perlu memahami dan mengetahui paham radikalisme dan terorisme yang berkembang saat ini. Karena bagaimana pun, jika kita lengah dengan permasalahan ini, maka kita (santri) bisa jadi tumbal dari permainan oknum yang sengaja menyebarkan paham-paham yang tak sesuai dengan ajaran Islam.
Terlebih dari itu, pemerintah melalui program pencegahan dan keamanan dari paham yang bertentangan dengan PBNU (Pancasila, Binneka Tunggal Ika, NKRI, dan UU) memiliki nilai andil dalam mengambil tindakan represif. Langkah ini sekilas terlihat cukup efektif untuk mensterilkan keadaan.
Namun demikian, tidak ada yang bisa menjamin bahwa radikalisme dan terorisme tidak akan tumbuh kembali. Mengingat keduanya berkaitan dengan ideologi, bisa bersarang di pikiran siapa saja.
Dalam situasi seperti inilah, kehadiran pesantren dalam membantu pemerintah mengatasi radikalisme dan terorisme menjadi sangat penting. Pesantren bisa berkontribusi dalam deradikalisasi dengan cara mengkampanyekan ajaran-ajaran Islam yang sesuai arahan Nabi. Pesantren diharapkan mampu mempromosikan Islam yang membawa kedamaian bagi seluruh penghuni alam. Sekaligus membentengi masyarakat dari paham-paham radikal.
Kiprah Santri dan Semangat Keindonesiaan
Radikalisme dan terorisme adalah ancaman nyata, tidak hanya bagi negara tetapi juga bagi Islam sendiri. Para teroris dan kelompok radikalis seringkali mengunakan justifikasi dalil-dalil dan simbol-simbol agama dalam menjalankan propaganda. Kekerasan yang seringkali membawa-serta dalil dan simbol Islam ini lalu mencuatkan kebingungan: Siapakah sebenarnya yang mewakili Islam?
Di tangan kelompok radikalis dan teroris ini, wajah Islam menjadi kasar dan tidak toleran. Bagi orang yang awam ilmu dan wawasan agama, propaganda kelompok radikalis dan teroris ini bisa menarik perhatian, meski sebenarnya menyesatkan.
Orang-orang yang memiliki semangat tinggi dalam beragama namun tidak dibarengi dengan penguatan wawasan dan pemahaman tentang agama tersebut akan mudah terbujuk oleh para radikalis dan teroris ini. Karena mereka dianggap mampu menunjukkan jalan pintas menjadi pengantin, atau penghuni surga.
Tugas pesantren, dalam hal ini, tidaklah mudah. Karena pesantren harus bisa menunjukkan dan meyakinkan masyarakat perihal cara berislam yang benar sesuai ajaran Nabi. Melalui para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama saleh terdahulu. Tidak mudah karena peran sebagai Duta Islam ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan membekali para santri dengan pengajaran kitab-kitab kuning.
Lebih dari itu, para santri juga harus diberi wawasan kebangsaan dan diperkenalkan dengan isu-isu dunia Islam terkini. Penyeimbangan dua tradisi keilmuan (tradisional dan kontemporer) ini penting dilakukan karena persoalan ideologi adalah persoalan pertarungan wacana.
Pertarungan wacana seringkali rumit karena ia membutuhkan banyak referensi. Tanpa pemahaman yang baik tentang wawasan kebangsaan dan perkembangan Islam terkini, seseorang akan kesulitan mendeteksi jalan pikiran radikal orang lain untuk kemudian dicarikan solusinya.
Santri sebagai Agen Perdamaian Dunia
Santri masa kini, selain bergelut dengan berbagai literatur keislaman juga diharapkan menjadi agen perdamaian di tengah ajakan kekerasan yang membajak agama serta berbagai potret ujaran kebencian atas nama agama pula. Maka tak ayal, santri selalu menggaung semboyan “Hubbul wathan minal iman”.
Upaya demikian dapat kita simak misalnya pada bulan Agustus 2017 lalu, saat Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Asian Youth Day. Dalam pertemuan kaum muda Katholik se-Asia di Yogyakarta itu, tidak sedikit rekan Muslim muda turut terlibat. Rata-rata adalah para santri yang mengkampanyekan kesantunan, perdamaian, dan toleransi Islam di Indonesia.
Selain itu, kiprah santri untuk semakin mewujudkan perdamaian dunia juga tidak terbatas sekat-sekat regional, alias lintas kawasan. Tidak sedikit bahkan para santri Indonesia yang mengepakkan sayapnya antar negara dan benua. Mereka berada di sana bukan dalam rangka menjalankan aksi militer, namun semata untuk pengembaraan intelektual. Tanpa kehilangan jati diri sebagai orang Indonesia yang beragama Islam.
Sementara itu, dalam konteks counter radicalism di media sosial, ada komunitas santri yang menamakan dirinya sebagai Arus Informasi Santri (AIS) Nusantara. Komunitas yang berisi para santri muda se-Indonesia sebagai media silaturahim. Komunitas ini juga berjejaring untuk turut berkomitmen melawan virus-virus hoax yang bertebaran di media sosial yang dapat mengarah pada titik kejut tertentu berupa aksi terorisme.
Oleh karena itu, di tengah pergumulan peradaban yang berkemajuan di abad ini, santri milenial memperoleh beberapa tantangan tersendiri. Tantangan tersebut berupa konsistensi meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam membumikan risalah rahmatan lil alamin, sekaligus menjadi agen-agen perdamaian dunia.
Pesantren juga diharapkan bisa terus bersikap produktif dan kontributif dalam merespon isu-isu keindonesiaan. Selain tetap bersikap protektif dan adaptif dalam menjaga tradisinya. Sebagaimana maqolah yang masyhur di lingkungan pesantren, yaitu al-Muhafadhoh ‘alal Qodimis Sholih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah (menjaga tradisi lama yang masih relevan dan mengadopsi tradisi baru yang terbaik atau memberi kemaslahatan).
***
Akhirnya, pesantren tidak boleh hanya mengambil peran sebagai penjaga moral semata. Tetapi juga harus istiqomah memberi sumbangsih nyata dalam upaya menjaga keutuhan bangsa dan memajukan negara dari segala manuver politik berbaju agama.
Kiprah santri dan semangat keindonesiaan harus memposisikan santri sebagai agen perdamaian dunia memiliki peran penting untuk memberikan edukasi dalam menangkal paham-paham yang bertentangan dengan ajaran Islam sebenarnya. Selain itu juga menjadi pemersatu sesama warga Indonesia. Wallaahu a’lam bish shawaab.
*Alumnus Pascasarjana Prodi Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.