Siapa yang tidak mengenal sosok Buya Oedin? Sosok tinggi besar ini, memiliki peran besar pada masa pergerakan, juga menyebarkan benih Islam Berkemajuan di Pariaman. Oedin sendiri tercatat sebagai satu dari sekian pendiri Muhammadiyah groep Kurai Taji pada 25 November 1929.
Perjuangan menegakkan Islam Berkemajuan di pesisir Pantai Barat Sumatra ini, tidaklah mudah. Mereka harus menerobos blokade dari jejaring Tarekat Syattariyah yang sejak akhir abad ke-17 hadir di Ulakan Pariaman. Sepeninggal berangkatnya Sidi Mhd. Ilyas ke Tapanuli, untuk mengajar di sekolah Muhamamdiyah, praktis kursi ketua kosong.
Ketika statusnya naik menjadi sebagai cabang, diperkirakan anggota Muhammadiyah Kurai Taji telah mencapai ratusan orang. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pariaman terdiri dari: Oedin selaku ketua, M. Louth Hasan (sekretaris), dan Abu Bakar Maaruf, Sulaiman Munaf, Abdul Jalil, dan Thaher Rahmat (anggota).
Setelah naik status menjadi Cabang Pariaman, Oedin mulai melakukan gebrakan menerobos jantung pertahanan Tarekat Syattariyah di Lubuk Alung dan Sungai Sariak Malai. Kedua daerah ini merupakan daerah yang fanatik terhadap ajaran Syattariyah.
Kisah perjuangan mendirikan groep Sungai Sarik Malai, dimulai dari tourne Oedin dan M. Louth Hasan tahun 1931. Keduanya mengendarai kuda bendi dari Kurai Taji, dan menempuh perjalanan sekitar 15 kilometer. Keduanya baru sampai ditujuan jelang Maghrib. Mereka disambut oleh empu tuan rumah yang lebih awal menerima pengaruh Islam Berkemajuan. Nama tuan rumah itu adalah Bagindo Bisu.
Rupanya, sebelum rombongan ini hadir, sudah banyak masyarakat yang dihadirkan Bagindo Bisu –untuk menanti kehadiran pengurus Muhammadiyah Cabang Pariaman. Mereka berasal dari keluarga sponsor dan beberapa penghulu Malai V Suku. Selain Bagindo Bisu, tiga tokoh masyarakat lainnya yang ikut mensponsori acara tersebutbadalah Abdul Razak, Tuanku Itam Bujang, dan Buyung Enek Marajo.
Setelah melepas penat, Oedin menghadap ninik mamak –yang hadir di teras rumah Bagindo Bisu. Ia langsung berbincang-bincang dengan para penghulu Malai V Suku. Ia menjelaskan maksud kedatangannya. Di luar dugaan Bagindo Bisu, para penghulu Sariak Malai V Suku menolak tujuan pengurus Cabang Pariaman.
Mereka tidak setuju, groep Muhammadiyah berdiri di Sungai Sariak Malai. Mendapat respon penolakan itu, Oedin tidak lantas panas hati. ”Kalaulah engku Ninik Mamak kami disini yang melarang untuk berdirinya Muhammadiyah di sini, apalah daya kami. Kami sebagai kemenakan Ninik Mamak, tentulah akan mengambil perhatian tentang pedirian Ninik Mamak kami itu,” kata Oedin dengan nada suara merendah.
Rupanya tidak sampai di sana saja, ninik mamak Malai V Suku juga keberatan, apabila Oedin dan Louth Hasan menginap di rumah Bagindo Bisu, sehingga terjadi dialog yang cukup alot.
“Tempat bermalam angku-angku di rumah Bagindo Bisu itu pun tidak boleh. Engku-engku harus kembali ke Kurai Taji sekarang juga,” sergah mereka.
“Kalau itu yang engku-engku perintahkan kepada kami, itu tidak mungkin dapat kami penuhi,” jawab Oedin.
“Cobalah pikirkan, baru sebentar ini kami sampai kemari dan baru buka pakaian kuda bendi, belum lagi kering peluh kuda setelah menempuh jarak yang tidak kurang dari 30 kilometer, sekarang harus memaksa kembali kuda berlari ke Kurai Taji,” sambung Oedin dengan cerdiknya.
“Ini rasanya cukup berat bagi kami, apalagi bagi kuda yang akan berlari. Adapun masalah kami akan bermalam di rumah Bagindo Bisu ini, seandainya mamak melarang kami, kami dapat mematuhi,” tambah Oedin.
“Carikanlah kami rumah lain atau bersama engku-engku Ninik Mamak kami bermalam di sini. Kami bersedia saja, asal kami tidak diperintah harus kembali sekarang juga ke Kurai Taji,” pinta Oedin, sambil mengiba.
Rupanya, para penghulu itu terjaring perangkap Oedin. Mendengar pinta Oedin, mereka pun jatuh iba.
“Nah, kalau begitu baiklah. Engku-engku yang datang dari Kurai Taji, kami benarkan bermalam di rumah Bagindo Bisu. Dan, nanti malam setelah makan, minum, dan sembahyang Isya lampu dipadami dan engku-engku tidur di sini,” lanjut penghulu Sariak Malai.
Ketika malam datang, Oedin kembali mengingatkan ada para penghulu yang menunggu di beranda rumah, bahwa mereka akan beristirahat.
Salah seorang penghulu kemudian berujar,”Baiklah, kami akan berjalan lagi, meninggalkan rumah ini. Dan, matikanlah lampu.”
Pasca rombongan penghulu meninggalkan rumah Bagindo Bisu dan lentera sudah dipadamkan, Oedin kemudian setengah berbisik kepada yang hadir di rumah itu.
”Saudara-saudara sekalian, kan sama didengar patokan dari ninik mamak tadi, bahwa pertemuan umum malam ini untuk mendirikan Muhammadiyah tidak boleh kita laksanakan.”
“Tapi, saudara-saudara harus tahu, bahwa mendirikan Muhamamdiyah itu tidak mesti dalam pertemuan umum juga. Yang penting ada anggota Muhammadiyah yang akan bertanggungjawab setelah berdirinya Muhammadiyah itu nanti!”
“Sekarang, terserah kepada saudara-saudara sekalian, apa Muhammadiyah Sariak Malai itu akan berdiri juga, atau tidak!” Sampai akhirnya terjadi dialog menjelang seluruh penghuni rumah itu terlelap tidur.
“Iyo engku. Muhammadiyah wajib berdiri di nagari kito ko. Kudian (kemudian) kito hitung parkaro (perkara),” kata Bagindo Bisu.
Oedin kemudian memukul lantai papan rumah tiga kali, tanda disahkannya groep Sariak Malai V Suku. “Sah…!!!” jawab mereka serempak.
“Besok pagi, kami berdua akan kembali ke Kurai Taji. Dan, sepeninggal kami nanti naikkan plang merk Muhammadiyah tanda berdirinya di nagari kita ini,” perintah Oedin.
“Engku semua adalah anggota Muhammadiyah. Engku semua harus memperhatikan dan bertanggung jawab. Siapa yang menurunkan plang merk Muhammadiyah itu, nanti akan kita hadapi sesuai aturan Staatsblad,” Jelas Buya Oedin.
Pagi harinya, tanggal 9 Agustus 1931, tiba-tiba para penghulu daan tuanku Syattariyah protes, telah berdiri plang Muhammadiyah Groep Sariak Malai di depan rumah Bagindo Bisu.
Mereka pun membawa persoalan ini pada Controleur Pariaman. Proses negoisasi berjalan alot. Oedin yang dipanggil Controleur Spit, menyerahkan bukti yang tidak bisa digugat para petinggi Sariak Malai. Ia meminta Spit dan bawahannya memeriksa sendiri keberadaan plang Muhammadiyah.
Melihat kesesuaian bukti dengan aturan Staatsblad –mengenai izin mendirikan vereeniging, Spit menyatakan groep Sariak Malai resmi berdiri dan kehadirannya tidak dapat digugat.
Penetapan groep Sariak Malai ditetapkan oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah Yogyakarta, pada 24 Agustus 1940, atau bertepatan dengan 20 Rajab 1359 Hijriyah. Sejak saat itu, resmilah Groep Sariak Malai menjadi bagian dari Bestuur Vergadering Tjabang Muhammadiyah Pariaman.
Editor: Arif