Bisa kita bayangkan makhluk selemah manusia diuji secara bertubi-tubi, yaitu dengan kehilangan bagian berharga dalam hidup kita. Terlebih lagi, kehilangan itu meminta beberapa bagian dari kita, tak cukup satu! Dan semua terjadi dalam kurun waktu yang singkat. Kira-kira demikianlah gambaran ‘amul huzni, tahun kesedihan. Hal itu terjadi saat peristiwa besar bernama Isra’ Mi’raj.
Dua sosok penting dalam hidup Rasulullah, Khadijah dan Abu Thalib meninggal dunia pada tahun yang sama. Di tahun itu pula, cita-cita Muhammad Saw bersama para sahabat direnggut oleh penduduk Thaif. Keinginan mendakwahkan Islam di tempat itu terkubur oleh lemparan batu mereka yang masih tertutup. Sehingga keindahan gunung dan hijau rerumputan Thaif tidak menyertai hati penduduknya di kala menyambut utusan mulia.
Isra’ Mi’raj: Tahun Kesedihan Rasulullah
Tentu saja tahun itu merupakan badai kesedihan, kegelisahan, dan kecemasan. Dengan kata lain, kita bisa menyebut itu adalah tahun di mana seorang Muhammad SAW mengalami titik terendah dalam hidup. Hari demi hari terus berjalan, hingga Allah yang dengan kasih sayang-Nya memberikan pelipur kepada Rasul-Nya, sebagaimana diceritakan dalam Surah Al-Isra’ ayat pertama:
“Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Pelipur tersebut menjadi peristiwa luar biasa dalam sejarah Islam, tak mungkin dijangkau oleh akal manusia yang paling sehat bahkan jenius sekalipun, kecuali dengan iman-iman mereka. Para ulama menyebut peristiwa itu sebagai Isra’ Mi’raj, yaitu ‘perjalanan malam’ dan ‘kendaraan untuk naik’.
Peristiwa Isra’ Mi’raj
Isra’ Mi’raj pun menjadi guncangan publik seiring matahari terbit menyinari Makkah. Para sahabat yang telah bersyahadat kepada Allah dan Rasul-Nya masih berkutat dengan pertanyaan di kepala, bagaimana bisa manusia bertamasya di tengah gelap malam, melintasi batas negara hingga menembus alam semesta secepat cahaya? Itu baru sebagian orang Makkah yang beriman.
Lalu bagaimana dengan yang kafir? Hanya ada gemuruh olok-olok, tuduhan, lelucon, dan umpatan yang lebih buruk lagi kepada Rasulullah. Satu-satunya penduduk Makkah yang seketika percaya akan kebenaran peristiwa tersebut hanyalah Abu Bakar, berkat keyakinan itu ia bergelar As-Siddiq.
Hanya sekarang, kita mendapati Isra’ Mi’raj sebagai hal yang harus disakralkan dengan nuansa gembira. Jamuan makan, momen kebersamaan, serta alunan rebana, juga munajat syukur mengiringi jalannya peringatan Isra’ Mi’raj. Bahkan setiap memperingatinya, negara sampai-sampai membuatkan waktu luang selama satu hari untuk semua rakyat. Akan tetapi, apa arti Isra’ Mi’raj sebagai pelipur atas sebuah kehilangan pada hari ini?
Setiap kehilangan, Isra’ Mi’raj, dan Abu Bakar merupakan bagian tak terpisah dari diri kita. Mari refleksikan sejenak rasa kehilangan kita; tentang hilangnya bagian terpenting dari diri kita, tentang rajutan asa yang tak menemukan ketercapaian, tentang mimpi-mimpi yang gagal menjadi kenyataan, juga tentang tertundanya beberapa rencana meski telah matang.
Ujian Bagian dari Takdir
Takdir manusia memang semestinya diliputi dengan ujian. Sedih, cemas, gelisah, mengeluh, meratap, bersabar, hingga merelakan adalah rentetan respon yang bisa dipilih setelah kita mengalami kehilangan. Bab terpenting ialah apa yang terjadi berikutnya sehabis respon sesaat itu. Tentu pilihan terbaik adalah tetap melanjutkan perjalanan, mengejar atau paling tidak menemukan ganti sesuatu yang telah hilang dari kita.
Isra’ Mi’raj yang akan kita dapatkan adalah perjalanan itu sendiri, tatkala kita berhasil mencapai tujuan, maka itulah yang menjadi pelipur atas sebuah kehilangan. Demikian pula As-Siddiq-nya Abu Bakar perlu dihadirkan dalam diri kita. Sebagaimana yakinnya Abu Bakar akan perjalanan ajaib seorang Rasul yang juga manusia biasa, meski orang-orang menganggap perjalanan itu bualan cerita.
Keteladanan sifat ‘As-Siddiq’ dalam konteks langsung peristiwa Isra’ Mi’raj dan hari ini, dapat dimaknai keyakinan akan tergapainya sebuah pelipur pada setiap perjalanan. Peringatan Isra’ Mi’raj saat ini bertepatan dengan awal tahun Masehi 2025, sehingga ada momentum bagi kita untuk bangkit dari rasa kehilangan dan memulai asa untuk melanjutkan perjalanan.
Mudahnya, pemaknaan ini seperti penggalan lirik pada akhir lagu Ghea Indrawari berjudul “Teramini”: Mungkin belum saatnya, bahkan selepas badai terbitlah pelangi. Akan tiba masanya, segala yang kau ingini akan teramini.
Editor: Assalimi