Perspektif

Menjalankan Ibadah Puasa yang Ramah Lingkungan

2 Mins read

Bulan Ramadan merupakan bulan penuh berkah bagi umat Islam. Karena di bulan ini segala rahmat akan diturunkan bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa. Tetapi ada persoalan yang cukup pelik selama bulan ini, yakni peningkatan konsumsi yang berbanding lurus dengan tumpukan sampah baik organik maupun yang anorganik, seperti kantong plastik sekali pakai, gelas plastik, stereofoam dan sampah makanan.

Merujuk pada pemberitaan media, di Bandung Jawa Barat dan Serang, Banten, Dinas Lingkungan Hidup setempat mengungkapkan jika volume sampah naik selama bulan ramadan, hal ini terpantau dari peningkatan volume sampah di TPA. Salah satu yang menjadi penyebab dari peningkatan volume sampah ini adalah peningkatan konsumsi masyarakat, terutama awal puasa ramadan pada minggu pertama bulan Maret 2024 ini.

Memang persoalan sampah plastik yang meningkat di bulan Ramadan ini bukan hal yang baru. Karena pada edisi Ramadan sebelum-sebelumnya juga problem ini sudah menjadi isu bersama. Banyak masyarakat kita selama bulan Ramadan merawat tradisi berbagi, terutama makanan, baik saat menjelang berbuka puasa maupun saat memasuki jam sahur. Niat baik merawat tradisi berbagi tidak sejalan dengan efek yang dihasilkan, yakni tumpukan sampah plastik.

Tidak semua sampah terbuang pada tempatnya, banyak juga yang tercecer dan dibiarkan begitu saja. Sampah plastik menumpuk di setiap sudut tempat ibadah, jalan dan lapangan atau taman, juga sampah makanan sisa yang tergeletak begitu saja. Masalah yang cukup serius yakni banyak sampah plastik yang dibuang bersama makanan, sehingga sampah organik dan plastik berbaur. Hasilnya terkadang bau busuk menyeruak dari sampah-sampah tersebut.

Mengevaluasi Kembali Ibadah Puasa Kita

Salah satu hal penting dari ibadah puasa adalah melihat kembali apa sebenarnya makna dari ibadah ini. Nilai penting dari ibadah puasa adalah bagaimana kita mampu mengendalikan diri, terutama agar hawa nafsu tidak menguasai kita. Seperti apa contohnya? Menahan untuk tidak melakukan hal-hal yang membuat kerugian, misalnya tidak berlebihan dalam konsumsi.

Baca Juga  Nestapa Kaum Miskin Kota di Tengah Pageblug Corona

Mengapa demikian, karena seringkali kita hanya memaknai ibadah puasa hanya sekedar pola konsumsi, dari yang biasanya makan yang biasanya tiga kali sehari, menjadi hanya saat matahari terbenam dan sesaat sebelum terbit. Padahal puasa melampaui itu, hakikat puasa yakni apakah kita mampu mengendalikan diri kita untuk tidak berlebih-lebihan, terutama dalam hal sederhana yakni konsumsi, lebih spesifiknya makan dan minum.

Karena kadang kita tidak sadar, perilaku saat berbuka puasa dan sahur, ternyata menambah konsumsi kita, bahkan lebih banyak dari bulan biasa saat tidak berpuasa. Dampak dari penambahan konsumsi yang seringkali tidak disadari adalah banyak makanan yang terbuang, ditambah lagi pembungkusnya yang mayoritas plastik sekali pakai dan aneka produk turunan plastik. Sehingga alih-alih menjadi lebih baik, saat bulan puasa justru kita melakukan hal yang lebih buruk. Tentu itu semua jauh dari hakikat puasa yakni mengendalikan diri dan menahan hawa nafsu.

Berangkat dari persoalan yang tengah kita hadapi dengan peningkatan konsumsi dan sampah, serta kita paham bahwa puasa seharusnya bukan menambah hal tersebut, tetapi justru seharusnya menguranginya. Kita perlu melakukan perenungan mendalam, apakah ibadah puasa kita benar-benar berangkat dari upaya untuk menjadi lebih baik, atau hanya sekedar menggugurkan kewajiban?

Puasa untuk Keberlanjutan Ekologis

Puasa memang memiliki nilai yang mulia, jika dikaitkan dengan semangat menyelamatkan lingkungan hidup, maka puasa mengajarkan kita untuk tidak berlebih-lebihan, tidak menambah sampah, tidak membuang makanan sembarangan, dan lebih besarnya adalah bagaimana kita sebagai manusia tidak merusak alam, baik melalui praktik eksploitatif maupun lebih detailnya yakni praktik menambah sampah.

Hal terpenting dari puasa adalah bagaimana kita diajarkan untuk menjadi lebih sadar diri. Seperti mengkonsumsi yang benar-benar kita perlukan, bukan atas dasar keinginan semata. Hal tersebut sejalan dengan perintah sang pencipta untuk tidak berlebih-lebihan, dan memanfaatkan alam secukupnya. Memberikan jeda alam untuk memperbaiki dirinya, agar keseimbangan tercipta.

Baca Juga  Saatnya Melakukan Transformasi Sosial di Bulan Ramadan!

Maka Ramadan kali ini harusnya kita bisa belajar untuk menjadi lebih baik, tidak merusak alam dengan sampah plastik maupun makanan kita. Menerapkan konsumsi yang bijak sesuai kebutuhan, serta upaya untuk meminimalisir kerusakan. Seperti tidak menggunakan kantong plastik sekali pakai dan aneka produk listrik lainnya, jika belum bisa paling tidak dapat dikurangi. Karena berubah untuk menjadi baik butuh waktu dan proses yang bertahap.

Editor: Soleh

Wahyu Eka Setiawan
1 posts

About author
Direktur WALHI Jawa Timur
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *