Oleh: Mu’tasimbillah al-Ghozi
Setelah masuk Boedi Oetomo (BO), Kiai mulai lagi giat memajukan pesantrennya. Banyak siswa sekolah guru yang juga berkunjung ke rumah kiai. Kepada mereka kiai mengajarkan agama. Sebaliknya, mereka pun mengajarkan kepada kiai bagaimana membuat tempat pendidikan yang lebih baik. Ruang dengan tempat duduk dan papan tulis, pelajaran menulis dan bernyanyi untuk murid pesantren kiai. Pesantren kiai inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan “Sekolah Kiai.”
Sekolah Kiai
Pesantren itu makin maju dan kembali maju. Bahkan, pada bulan ketujuh pesantren itu dapat bantuan pengajar untuk ilmu selain agama dari para siswa Sekolah Guru yang sudah selesai, tetapi belum mendapat pengangkatan. Hal ini menimbulkan tantangan dari kalangan yang tidak mau menerima keadaan ini. Mereka tidak setuju dengan do re mi fa sol (nyanyian) karena itu buatan Belanda.
Tetapi Kiai Dahlan diam saja mendapat kritikan semacam itu. Pelajaran agama tetap terus diberikan dengan sebaik-baiknya, sedang pelajaran di luar itu adalah tambahan pelajaran bagi pengetahuan umum. Kepada para siswa Sekolah Guru disediakan hari Ahad. Demikian pula pada Sabtu sore.
Bahkan, di antara muridnya terdapat juga yang menganut agama bukan Islam. Mereka mengadakan tanya jawab dengan Kiai tentang agama Islam.
Sebuah Dialog
Di antara siswa Sekolah Guru itu ada yang memperhatikan Sekolah Kiai dan bertanya:
“Ini Madrasah Ibtidaiyah, untuk memberi pelajaran agama Islam dan pengetahuan umum? Siapa yang menjadi pengurus dan guru agamanya?”
“Yang mengurus dan yang memberi pelajaran agama, ya saya,” jawab Kiai.
“Itu tidak baik Kiai. Sebab, sekolah itu tiap tahun naik kelas. Lalu sampai kelas berapa nanti sekolah ini. Kalau seperti ini seolah-olah sekolah ini menjadi milik Kiai sendiri. Kalau Kiai wafat tidak ada ahli waris yang dapat meneruskan, maka berhentilah sekolah ini. Lihatlah pesantren yang Kiainya termasyhur. Setelah Kiai itu wafat pesantrennya mundur, sebab ahli warisnya tidak mampu meneruskan.”
Kyai Dahlan diam merenung, mendengarkan kata-kata itu.
“Saya ada usul Kiai. Hendaknya sekolah ini diurus oleh suatu organisasi agar dapat terus berlangsung walaupun Kiai sudah wafat.”
Terkesiap Kiai mendengar kata-kata. Organisasi? Organisasi apa? Memang beliau pernah mendengar dan tahu tentang apa organisasi itu. Seperti halnya apa itu organisasi Boedi Oetama. Apa namanya, lalu bagaimana supaya dinyatakan sah berdiri dan bergerak di masyarakat. Untuk itu, bagaimana membuat anggaran dasar dan syarat-syarat lainnya?
“Itu baik sekali. Saya catat di hatiku dengan tinta mas.”
Mendengar kata-kata itu dari Kiai, siswa Sekolah Guru itu merasa gembira dan bersedia membantu.
Sumber: artikel “Peristiwa Kelahiran Muhammadiyah” karya Mu’tasimbillah Al-Ghazi
(Suara Muhammadiyah No 3/Th ke-57/1977). Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif