Berbincang mengenai jamaah haji yang sedang menunaikan rukun Islam kelima, saya tiba-tiba teringat dengan sebuah buku yang cukup menarik dan unik. Buku tersebut berjudul Orang Madura Naik Haji.
Di bawah judul buku itu terpampang tulisan Mati Ketawa ala Orang-Orang Madura. Dilengkapi dengan ilustrasi gambar seorang lelaki mengenakan jaket yang resletingnya dibiarkan terbuka sehingga tampak ia sedang memakai kaos adat Madura loreng merah-putih yang tengah bermunajat di depan Ka’bah. Sebuah judul yang menarik dan ilustrasi yang unik.
Mengulas Aspek Kelucuan Orang Madura
Sebelum kita ‘membedah’ isi buku ini, lebih dulu marilah kita ulas Kata Pengantar penulis. Dalam pengantarnya, penulis mengungkap tujuan penulisan buku ini. Ia menyampaikan bahwa tentu saja buku ini bukan untuk menertawakan, apalagi mengerdilkan arti ibadah haji dan umrah (hlm. 5). Memang, sejauh yang saya temukan, kisah-kisah lucu yang tertuang dalam buku ini merupakan bentuk upaya ringan untuk menangkap pelajaran-pelajaran renyah dan hikmah-hikmah tersembunyi di sepanjang persiapan, perjalanan dan pelaksanaan ritual haji melalui humor.
Mengapa yang dipilih kisah dari Madura? Penulis menjawab, bukan untuk mengecilkan, apalagi melecehkan budaya dan etnis tertentu, melainkan lebih karena aspek keluguan dan kelucuan orang Madura yang sudah menasional dan tak akan pernah habis untuk disajikan. Seorang humoris sekelas Gus Dur saja selalu kehabisan bahan jika tidak menjadikan Madura sebagai rujukan (hlm. 6). Maka dari itu, tidak perlu terlalu dipikirkan jika dalam buku ini kisah orang Madura naik haji menyebabkan kita resah, gelisah, merana dan galau. Sebab, memang itu destinasi terakhir sebuah humor; setelah kita ketawa terpingkal, kita sadar akan eksistensi diri.
Buku ini memuat kisah-kisah lucu nan lugu jamaah haji dari Madura yang dikemas dalam enam bagian. Bagian pertama, persiapan. Kedua, berangkat. Ketiga, jalan ke Makkah. Keempat, di tanah suci. Kelima, oleh-oleh. Dan terakhir, keenam, pulang.
Persiapan Naik Haji
Sebagai contoh kisah bagian pertama yang mengangkat cerita persiapan menunaikan ibadah haji adalah kisah ritual ganti nama yang dialami Sudaryo. Sebelum berangkat haji, ia menginginkan namanya diganti menjadi Haji Abu Nawas, sebab ia sangat mengidolakan Abu Nawas. Namun, kenyataannya, setelah berangkat menunaikan ibadah haji, oleh syekh di Makkah, Sudaryo diberi nama Haji Muhammad Saiful Amin (hlm. 32).
Bagi sebagian besar masyarakat Madura, naik haji berarti harus ganti nama. Jika sebelum naik haji ia bernama Misdin, Sunamo, Markonah, Tukiyem, dan yang lain, maka sepulangnya mereka dari Tanah Suci akan berganti nama menjadi Haji Abdul Ghafur, Haji Misbahul Munir, Hajah Siti Maimunah, Hajah Muthmainnatul Khairah, dan sebagainya. Baik pergantian nama tersebut merupakan pemberian seorang syekh di Makkah, maupun hasil istikharah dirinya selama berada di Tanah Suci. Alhasil, pergantian nama merupakan wujud optimis untuk hidup yang lebih baik, serta membuang sesuatu yang telah lalu yang dianggap kurang baik.
Berangkat Haji
Pada bagian kedua: berangkat haji, penulis memprotes tradisi mengantar jamaah haji dengan konvoi. Ia mengisahkan Markondih yang diundang tetangganya untuk konvoi pengantar jamaah haji. Dalam hati Markondih, pawai dan konvoi merupakan kebisingan mutlak. Maka, tidak cukup baginya bila hanya memotong knalpot motornya, namun ia juga membawa gergaji mesin yang terkenal dengan kebisingannya (hlm. 60).
Dari kisah ini penulis sebenarnya ingin menyuarakan bahwa konvoi haji, bukan jaminan diterima hajinya. Justru suasana seperti itu yang paling disukai setan dan saudara-saudaranya. Sebab, biasanya dalam acara seperti itu, semua orang lupa kebesaran Tuhan. Yang ada hanya kebesaran orang yang naik haji. Ia diarak sedemikian rupa seperti raja. Betapa busung dadanya yang merasa memiliki kemampuan di atas rata-rata. Di situlah setan mengembuskan berbagai tipuan dan perasaan kesombongan serta keangkuhan dengan cara yang paling halus.
Jalan ke Makkah
Di bagian ketiga: jalan ke Makkah, pun terdapat kisah seru. Bagaimana tidak mau dibilang seru, jika salah satu jamaah haji menolak larangan merokok di dalam pesawat. Jamaah itu bernama Miskadi. Awalnya ia meminta rokok kepada pramugari. Karena pramugari menolak permintaannya, Miskadi jengkel dan mengeluarkan rokoknya sendiri yang ditaruh di dalam tas. Lalu ia merokok dengan begitu santai. Tak peduli kepada kru pesawat yang memberi tahu dan berusaha keras melarangnya. Bahkan, dengan santainya, Miskadi berkata, “Apa? Ndak boleh merokok? Saya sudah bayar!”
Karena sudah tidak bisa dinasihati, para awak kabin itu memberi tahu kiai yang sekaligus pembimbing ibadah yang duduk di deretan depan. Sang kiai mendekati Miskadi dan berkata, “Miskadi, kalau semua penumpang pesawat yang menghirup asap rokokmu ini, mereka lantas ingin minta rokok kepadamu, bagaimana?” Miskadi kelabakan, dan ia buru-buru mematikan rokoknya (hlm. 85).
Kisah ini memberi tahu kepada sidang pembaca bahwa tidak selayaknya meski sudah bayar, lalu boleh melakukan apa pun seenak hatinya, sebab mesti ada beberapa pihak yang merasa dirugikan. Kisah ini sekaligus juga menguak fakta bahwa orang Madura lebih patuh terhadap guru atau kiai daripada yang lain.
Di Tanah Suci
Pada bagian keempat: di tanah suci, terdapat kisah unik Sarnito yang kelihatan lugu dan bodoh, tetapi sebenarnya lumayan cerdas untuk ukuran kampung. Suatu waktu Sarnito dan dua temannya naik taksi, karena rombongan yang lain sudah pulang ke hotel. Sopir taksi yang membawa mereka itu ternyata orang Badui atau orang pedalaman yang buta huruf. Masalah ongkos sudah clear dari awal dengan bahasa isyarat. Masalah baru yang muncul adalah ketika Sarnito dan teman-temannya hendak berhenti karena hotel sudah kelihatan.
“Kiri!” teriak Sarnito begitu hotelnya kelihatan. Namun, sopir tidak paham.
Teman Sarnito membantu, “Berhenti, sudah sampai!”
Tetap saja keadaan tidak berubah, mobil tetap melaju. Lantas, Sarnito ingat ketika hendak berhenti membaca Alquran. Maka, dengan mantap, Sarnito berteriak kepada sopir, “Shadaqallahul azhiim.” Taksi pun berhenti sesuai kehendak Sarnito (hlm. 135). Kisah ini memberi pelajaran kepada kita akan betapa pentingnya ilmu. Terutama ilmu agama yang bisa menyelamatkan kita dari kesulitan serta menjadi cahaya di tengah kegelapan.
Oleh-Oleh
Sementara bagian kelima dalam buku ini: oleh-oleh, kisah Kiai Sukri menarik perhatian. Ketika jamaah yang lain sibuk dengan membawa pulang air zamzam berbotol-botol dan jerigen sebagai oleh-oleh, Kiai Sukri santai. Ia tidak ingin ribet dan tangannya tidak ingin pegal gara-gara barang bawaan yang banyak. Maka, ia pun mencuci surban, sajadah dan bajunya dengan air zamzam. Dalam hati kecilnya ia bermaksud nanti sesampainya di kampung, surban, sajadah, dan baju yang telah dicuci ke air zamzam itu akan dilempar ke sumur agar air sumurnya menjadi air zamzam. Lalu, dari sumur itulah ia akan menyuguhkan kepada para tamunya (hlm. 148). Inilah kecerdasan spiritual ala Kiai Sukri yang tidak patut ditiru. Kasihan para tamu. Meski memang ada berkahnya, tetapi berapa persen? Hanya Allah dan Kiai Sukri yang tahu.
Dan masih banyak kisah-kisah lain di dalam buku ini yang mengandung hikmah dan pelajaran berharga untuk kita renungi. Intinya, tidak ada yang sia-sia dari sebuah kejadian lucu jika kita pandai mengambil hikmah.
Judul Buku : Orang Madura Naik Haji
Penulis : Abdul Mukti Thabrani
Penerbit : Diva Press
Cetakan : I, Desember 2017
Tebal Halaman : 188 halaman
ISBN : 978-602-391-484-5
Editor: Yahya