Feature

Kisah Perilaku Elite Zhengfu di Kampung Hongbai

3 Mins read

Konon, di negeri Dongnan ada sebuah perkampungan yang sangat besar, kampung itu bernama  Hongbai. Suatu hari kampung Hongbai sedang terkena sebuah wabah yang luar biasa, wabah telah menginfeksi para warga dan mengakibatkan kematian di mana-mana. Karena situasi yang makin mencekam para warga kampung pun diperintahkan untuk tetap  berada di dalam kediaman mereka masing-masing, jangan keluar atau bisa tertular wabah sewaktu-waktu.

Dalam situasi seperti itu, para warga sangat berharap agar para pemimpin kampung dapat membantu kebutuhan hidup mereka selama tidak keluar rumah serta dapat segera menemukan sebuah langkah strategis untuk segera mengakhiri wabah tersebut. Waktu terus berlalu, sudah sebulan sejak kasus pertama di kampung Hongbai ditemukan tapi para pemimpin kampung belum mampu memberikan instruksi yang menenangkan.

Yang paling unik di prasasti kampung tertulis dengan jelas bahwa jika terjadi sebuah bencana yang mengharuskan warga kampung terkarantina di kediamannya masing-masing, maka segala kebutuhannya akan ditanggung oleh Zhengfu, sebutan bagi pemerintahan kampung. Apalagi dana pemerintahan kampung Hongbai selama ini juga berasal dari urunan atau sumbangan para warga kampung, jadi wajar saja kalau sewaktu-waktu dikeluarkan untuk keperluan warga. Namun, sekali lagi, para personalia Zhengfu seolah masih enggan mengeluarkan dana kampung untuk keperluan tersebut.

***

Warga mulai makin gelisah. Hingga sampai suatu hari salah satu personal Zhengfu, Tuan Baojian, muncul di tengah-tengah warga. Warga mendengarkan dengan antusias. Maklum, Tuan Baojian adalah salah satu anggota elit Zhengfu yang bertugas untuk memastikan kesehatan seluruh warga Kampung.

Akan tetapi, antusiasme warga berubah menjadi amarah. Sebab, dalam pidatonya, Tuan Baojian mengatakan “dalam krisis ini hendaknya warga dari klan Fengfu berbagi rejekinya pada warga yang berasal dari klan Pingqiong, dan warga dari klan Pingqiong jangan menularkan penyakitnya pada warga dari klan Fengfu.” Masyarakat kampung Hongbai berreaksi negatif terhadap pernyataan Tuan Baojian. Mereka menganggap pernyataan tersebut tidak perlu disampaikan dan sangat menyakiti perasaan warga, khususnya yang berasal dari klan Pingqiong.

Selang beberapa waktu giliran anggota elit Zhengfu yang bernama Tuan Haishi muncul ke hadapan warga. Lagi-lagi anggota elit Zhengfu yang satu ini juga mengeluarkan pernyataan yang tidak produktif. Tuan Haishi menyepelekan jumlah warga kampung Hongbai yang meninggal dunia akibat wabah.

Baca Juga  Persaudaraan Dua Buya di Jalan Dakwah

Sekali lagi warga berreaksi negatif. Mereka menganggap hati nurani Tuan Haishi sudah mati karena tidak menghargai nyawa manusia. Hingga akhirnya, setiap hari warga kampung Hongbai selalu membicarakan ucapan dua personal Zhengfu di kampung mereka, khususnya Tuan Baojian dan Tuan Haishi.

***

Membaca kisah kampung Hongbai, kita tentu berpikir, kenapa Tuan Baojian dan Tuan Haishi sampai hati berkata sedemikian rupa? Padahal, kampung mereka sedang dalam bahaya besar dan mereka adalah sosok-sosok yang memiliki kuasa. Apakah mereka dalam kondisi keseleo lidah saat mengucapkannya atau karena hal yang lainnya?

Pakar komunikasi politik, Dan Nimmo, pernah mengemukakan bahwa dalam komunikasi politik ada sebuah paradigma yang bernama paradigma positivistik. Paradigma ini menekankan bahwa ketika seorang aktor politik menyampaikan sesuatu kepada khalayak, maka pesan yang disampaikan itu bukanlah sesuatu yang berada di luar kendali mereka.

Dengan kata lain, tidak ada “keseleo lidah” saat seorang aktor politik menyampaikan sebuah pesan pada khalayak. Pesan yang disampaikan itu disampaikan secara sadar dan sudah melalui berbagai pertimbangan sebelumnya terkait efek apa yang nantinya akan muncul saat mereka telah menyampaikan pesan tersebut.

***

Berdasarkan logika positivistik tersebut, maka dapat dipastikan bahwa apa pun efek yang muncul nanti, maka percayalah situasi itu yang memang diharapkan oleh para aktor politik dan orang-orang yang ada di barisannya. Begitu pula dalam kasus yang terjadi di kampung Hongbai, dua pejabat Zhengfu mereka, Tuan Baojian dan Tuan Haishi, memang didesain untuk mengungkapkan kata-kata yang nantinya akan membuat masyarakat selalu membicarakan hal itu.

Kalau kemudian ada yang mengatakan, “masa sampai begitu, kan nama baik keduanya jadi terancam.” Jawabannya adalah, “memang itulah tugas mereka dengan segala resikonya.” Percayalah ada imbalan politik yang sangat besar mereka terima atas pengorbanan tersebut.

Baca Juga  Fikih Muyassar: Inovasi Tata Kelola Haji Kemenag RI

Buktinya, konon hingga hari ini mayoritas warga kampung Hongbai masih sibuk membicarakan kata-kata dari dua tokoh tersebut. Mereka lebih asyik membahas keduanya dari pada membicarakan kapan bantuan dari Zhengfu sampai pada mereka. Akhirnya, mereka lupa menagih segala hal yang dijanjikan oleh kepala kampung dalam hal penanganan wabah di kampung Hongbai.

Konsentrasi mereka teralihkan, hanya sebagian kecil saja yang sadar. Akan tetapi, mereka yang menyadari paradigma positivistik Dan Nimmo dalam komunikasi politik yang dimainkan oleh para elit Zhengfu pun tidak bisa berbuat banyak.

***

Untung saja kisah kampung Hongbai dan kelakuan para pejabatnya di negeri Dongnan ini hanya sebuah dongeng. Ya, hanya sebuah dongeng belaka. Tapi ngomong-ngomong, apakah kisah semacam ini bisa menjadi nyata? Kalau pun akhirnya menjadi nyata, kira-kira di mana tempatnya?

Editor: Arif

Avatar
3 posts

About author
Dosen Universitas Ahmad Dahlan | Kandidat Ph.D di Nanjing Normal University | Ketua PCIM Tiongkok - Regional Nanjing
Articles
Related posts
Feature

Bukankah Dia Manusia?

3 Mins read
Potongan kalimat judul di atas, diambil dari potongan hadis ketika Nabi dan para sahabatnya sedang berbincang-bincang, dan seketika itu lewatlah pembawa jenazah…
Feature

Haji Rasul dan Polemik “Berdiri” Pembacaan Maulid Nabi di Minangkabau

3 Mins read
Diskursus polemik “berdiri” pembacaan Maulid Nabi ini mulai muncul kepermukaan masyarakat Minangkabau, ketika pada tahun 1914, kali pertama Abdullah Ahmad menerbitkan tulisannya…
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds