Sebidang tanah seluas 2000 M milik Soebono bin Legimin Rahardjo dibelah dua. Separuh dibangun rumah ditempati bersama anak dan istrinya, separuhnya lagi untuk mushala dan halaman bermain.
Tak dinyana, mushala yang dibangunnya ramai dikunjung. Lahir keinginan untuk menaikkan status mushala menjadi masjid. Mushola dibongkar. Puluhan kubik kayu jati didatangkan. Tabungan dikuras, sebagian tanah waris dijual berikut perhiasan istrinya dijual untuk membangun masjid idaman.
Tiga tahun kemudian Masjid berdiri kokoh. Lain dari pada kelaziman, punya tampilan eksentrik karena berbahan kayu jati. Jamaah suka tinggal, bahkan menjadi daya tarik wisata. Soebono dan istrinya setia berkunjung dan beribadah. Suka cita luar biasa dapat membangun masjid dekat rumah ditengah gelegak hidup hedon dan materialisme absurd.
***
Berpuluh tahun Soebono menjadi takmir masjid yang dibangunnya itu, hingga suatu waktu ketika wajahnya menua. Tubuhnya mulai merenta, langkahnya gontai, karena kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya yang merapuh. Ia serahkan kepengurusan takmir masjid pada generasi yang lebih muda. Pintar, kaya, dan energik.
Adalah Hasan Al Idrus, seorang insinyur ahli mesin lulusan Jerman yang menggantikan. Visioner dan punya banyak kelebihan. Disamping ahli ibadah yang khusyu’, juga seorang yang fasih baca Al Quran.
Seratus hari pertama kerjanya, Ia kumpulkan semua pengurus takmir. Program di paparkan, visi dijelaskan.
“Masjid harus dibongkar. Sudah ketinggalan jaman dan tak mampu menampung jamaah,” katanya tangkas.
Pengurus takmir berdecak. Kagum dan bangga dengan ketua takmir baru yang pintar dan visioner. Inilah jawaban dari doa-doa yang dipanjatkan. Kita akan buat masjid yang megah.
“Insya Allah saya akan menanggung separo dari semua biaya yang dibutuhkan. Saya juga akan hubungi kolega, jadi jamaah tak perlu risau soal biaya,” kata Abu Hasan Al Idrus pada rapat di aula bagian bawah masjid.
“Satu hal yang perlu kita segera selesaikan adalah memindah Soebono bin Legimin Rahardjo dari rumah di sebelah utara masjid. Karena rumah dan tanah itu akan menjadi bagian perluasan masjid. Kita akan carikan Soebono kontrakan. Bukankah masjid sudah berbaik hati memberikan tumpangan tempat tinggal selama puluhan tahun? Sudah waktunya dia pergi dari rumah itu,” kata Abu Hasan Al Idris tegas yang diamini hampir semua pengurus takmir baru.
***
Pagi Subuh di hari Jumat seperti biasanya Soebono menjadi Imam shalat shubuh. Bacaannya sudah tak lagi fasih karena sebagian giginya rontok. Sebagian jamaah menggerutu karena shalat di pimpin seorang tukang bersih-bersih masjid.
Soebono, lelaki tua dan keriput, tak sedikit mendapat caci dan maki dari sebagian jamaah yang tak puas dengan cara kerjanya. Karpet sering bau apek. Kamar mandinya juga sering bau pengap dan Soebono menjadi sasaran amuk. Sebagian ingin mengusir dari masjid dan menggantinya dengan tenaga baru.
Soebono hanya bersabar. Dua anaknya, satu putrinya di Jerman dan satu putranya di Jakarta sudah berulang kali mengajaknya tinggal bersama, tapi Soebono menolak. Baginya masjid ini adalah prestasi puncak dalam hidupnya. Ia tak akan meninggalkannya walau sejengkal. Ia ingin mengakhiri masa hidupnya di masjid. Begitu doa doa yang ia panjatkan pada Rabbnya.
***
Subuh itu menjadi shalat terakhir baginya. Soebono roboh pada sujud terakhirnya. Ia tak bangun untuk selamanya. Saat pengurus takmir membersihkan rumahnya, ditemukan secarik kertas bersegel ditanda tangani notaris, bahwa ia wakafkan separuh sisa tanah berikut rumah yang ia tempati untuk perluasan pembangunan masjid.
Editor: Yusuf