Terdapat sebuah kisah menarik yang dialami oleh salah satu sejarawan Islam, yaitu al-Waqidi. Al-Waqidi adalah seorang penulis dengan kitabnya yang terkenal, yaitu al-Maghazi. Kitab ini membahas tentang kemiliteran.
Ia hidup pada masa pemerintahan salah seorang khalifah Dinasti Abbasiyah, yaitu Harun al-Rasyid.
Kisah al-Waqidi Ketika Berutang
Diceritakan bahwa suatu hari di bulan Ramadan, al-Waqidi kekurangan makanan dan kebutuhan sehari-hari lalu ia pun terpaksa meminjam uang kepada salah seorang keturunan Ali bin Abi Thalib.
“Apakah engkau punya kelebihan uang hingga bisa meminjamkanku? Aku tengah kekurangan”. Tulis al-Waqidi kepada seorang temannya.
“Jika engkau berkenan menerimanya aku memiliki sedikit uang”. Teman al-Waqidi ini pun membalas surat yang dikirimkan kepadanya.
Setelah membalas surat al-Waqidi, ia pun mengirimkannya uang dalam sebuah kantong yang berjumlah 1000 dirham. Al-Waqidi pun senang karena temannya telah membantunya, apalagi uang tersebut akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarganya di bulan puasa.
Akan tetapi nasib tidak ada yang tahu. Al-Waqidi belum juga membelanjakan uang tersebut datanglah sepucuk surat dari seorang temannya yang lain.
“Wahai Saudaraku, al-Waqidi. Saat ini aku tengah kekurangan. Aku bermaksud ingin berutang kepadamu”. Begitulah isi surat yang ia terima.
Dengan perasaan yang bercampur aduk ia pun bimbang. Apakah akan membelanjakan uang pinjaman tersebut atau memberikannya ke temannya yang lain yang juga tak kalah membutuhkannya.
Setelah al-Waqidi memohon petunjuk Allah Swt dan berharap Allah Swt meluaskan dan melapangkan kehidupannya, ia pun mengirimkan uang 1000 dirham itu.
Selang beberapa hari, kedua temannya pun datang. Teman yang memberikannya uang dan temannya yang lain yang juga ia beri uang.
Salah seorang temannya bertanya, “Engkau gunakan untuk apa uangmu, wahai Saudaraku?”
“Saya menggunakannya di jalan Allah,” Jawab al-Waqidi.
Mendengar jawaban itu temannya pun tertawa. Setelah itu ia meletakkan uang berisi 1000 dirham dihadapan al-Waqidi.
“Memasuki bulan Ramadan ini saya tidak memiliki uang selain yang ada di dalam kantong ini, tapi karena kamu membutuhkannya saya pun mengirimkanmu 1000 dirham,” Ungkap temannya al-Waqidi. Lalu ia melanjutkan, “Lalu kemudian saya pun akhirnya meminjam ke teman saya ini dan setelah saya cek ternyata ini adalah uang yang juga saya kirimkan kepadamu saban hari”.
“Bagaimana anda tahu jika uang itu adalah uang anda juga?,” Tanya al-Waqidi heran.
“Karena di dalam kantong ini saya menyimpan sebuah stempel”.
Ketiga orang inipun saling bertatapan merenungi nasib masing-masing yang kekurangan dan ternyata saling berutang dengan uang yang sama.
Setelah selesai pembicaraan, uang 1000 dirham itupun dibagi menjadi tiga bagian hingga habis. Dan mereka pun saling berpamitan.
Suatu hari al-Waqidi bertemu dengan salah seorang gubernur sekaligus wazir Harun al-Rasyid, yaitu Yahya bin Khalid.
“Saya bermimpi engkau sedang berada dalam kekurangan. Coba ceritakan apa yang sedang menimpamu,” Tanya Yahya bin Khalid.
Akhirnya al-Waqidi pun menceritakan secara panjang lebar apa yang terjadi beberapa waktu sebelumnya yang membuat Yahya terheran-heran.
“Baiklah tunggu sebentar”. Setelah itu Yahya berjalan menemui bendaharanya.
“Ini uang 3000 dirham. Harap engkau menerimanya. Dan uang ini bagikan juga ketemanmu yang saling berutang itu”.
Al-Waqidi kemudian mengambil uang tersebut lalu memberikannya kepada kedua temannya masing-masing 1000 dirham. Dan sisanya untuk dirinya sendiri,
Kisah al-Waqidi: Contoh Fastabiqul Khairat
Al-Waqidi adalah salah seorang sejarawan Islam yang terkenal, ternyata ia juga pernah mengalami masa-masa sulit hingga berutang kepada temannya.
Akan tetapi sekalipun ia berada dalam kesulitan, tetap saja ia ikhlas berbagai kepada orang lain. Begitupun dengan temannya yang juga berutang kepada teman yang lain. Uang 1000 dirham tersebut yang sudah tiga kali berpindah tangan lalu dibagi rata secukupnya untuk dipakai masing-masing.
Kisah di atas mencerminkan salah satu perintah dalam ayat al-Qur’an yaitu berlomba-lomba dalam kebaikan. Sebagaimana dalam Qs al-Baqarah ayat 148:
وَلِكُلٍّ وِّجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Artinya: “Dan setiap ummat ada kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah dalam membuat kebaikan di mana kamu berada pasti Allah mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas Segala Sesuatu”.
Apa yang dialami oleh al-Waqidi di atas mungkin juga sering kita alami. Ketika kita punya uang yang hanya cukup untuk bayar token listrik, air PDAM, ataupun kebutuhan lainnya, tiba-tiba saja ada teman yang menelpon atau pun kirim pesan untuk meminjam uang.
Kita pasti terjebak dalam situasi yang membingungkan, apakah membantu teman atau memenuhi kebutuhan dapur? al-Waqidi memberikan contoh teladan perihal fastabiqul khairat. Meminjam uang lalu meminjamkannya lagi kepada yang lebih membutuhkan. Ia hanya memanjatkan doa kepada Allah Swt agar diberi kelapangan hidup karena telah membantu orang lain.
Dan karena keikhlasannya berbuat baik, lalu kemudian Allah Swt menggantinya dengan yang lebih banyak dari 1000 dirham menjadi 3000 dirham.
Bagaimana Mengimplementasikan Fastabiqul Khairat?
Kira-kira apakah kita juga bisa melakukan seperti kisah di atas? Berlomba dalam kebaikan tidak ada batasannya. Tidak memandang status dan kedudukan.
Menjadikan fastabiqul khairat sebagai prinsip hidup harus dilandasi dengan beberapa hal berikut ini:
- Memiliki niat yang baik dan ikhlas. Apabila sebuah pekerjaan diniatkan dengan baik, maka hasilnya akan baik pula.
- Selalu antusias pada kebaikan apa pun itu bentuknya. Terutama kebaikan yang ditujukan kepada karib kerabat.
- Tidak boleh cepat merasa puas karena telah berbuat baik. Jika kita cepat puas karena telah membantu seorang teman misalnya, maka di waktu yang lain semangat kita untuk membantu bisa saja menurun.
Kisah di atas juga mewakili tiga bagian lapisan dalam pemerintahan, yaitu Yahya bin Khalid (pejabat pemerintah) yang membantu warganya yang kekurangan, al-Waqidi (akademisi) yang jujur dalam membagikan hadiah dan teman al-Waqidi (masyarakat) yang saling membantu sekalipun ekonomi mereka sulit.
Referensi:
(Ali Sadaqat, 50 Kisah Teladan, Penerbit Cahaya Jakarta, 2005)