Seberapa sering anda membaca karya akademik yang membuat anda menemukan pengetahuan baru? Yang saya maksuddengan karya akademik adalah, karya apa pun yang dibuat untuk tujuan akademis seperti tugas akhir (paper, skripsi, tesis, disertasi) maupun yang lain (penelitian hibah, penelitian tindakan, eksperimen, dan sejenisnya).
Kalau anda sering bergelut dengan naskah-naskah akademik baik karena pekerjaan maupun sekedar membaca untuk tambahan wawasan, saya yakin anda akan setuju dengan saya tentang miskinnya karya akademik kita yang mengandung unsur kebaruan. Sebagian besar naskah itu hanya reproduksi naskah sebelumnya–dalam bahasa akademis: penelitian terdahulu–dengan pengubahan sedikit, umumnya hanya pada subyek yang diteliti.
“Pengaruh X dan Y terhadap A di tempat B” adalah pola umum yang banyak digunakan. Entah tidak peduli berapa ribu penelitian sudah dilakukan untuk variabel yang sama itu dalam sebuah disiplin keilmuan, tapi tidak ada pembatasan soal kelayakan topik penelitian yang diambil.
Bahkan sering kita temui karya sekelas tesis atau disertasi, tidak memiliki kedalaman yang memadai. Banyak tesis yang kedalamannya hanya seperti paper, dan disertasi yang kedalamannya seperti skripsi.
Jadinya katalog karya tulis akademik kita dipenuhi naskah-naskah yang minim kebaruan, kurang menarik minat, dan kurang kemanfaatannya. Bagaimana tidak, lha di sampul laporan penelitiannya saja sudah jelas-jelas disebutkan, “Ditulis untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar”. Penelitian kita adalah penelitian remeh-temeh, penelitian ala kadarnya. Inilah yang disebut dengan fenomena “Kitschfikasi Akademik”.
***
Kitsch mengacu Baudrillard adalah obyek tertentu rendah orisinalitas, kreativitas, dan kriteria estetis lainnya. Kitsh muncul sebagai akibat dari modernisme utamanya industrialisasi yang berusaha memproduksi sebanyak mungkin obyek konsumsi.
Kitsch dalam dunia akademik berwujud karya-karya yang seolah “ilmiah” namun sebenarnya diproduksi bukan untuk tujuan keilmuan, namun lebih pada tujuan konsumsi. Intelektual Kitsch memproduksi naskah akademik kitsch untuk mengonsumsi gelar akademik. Gelar-gelar akademik itu mereka gunakan untuk menampilkan hiperrealitas tentang “intelektualitas” mereka. Ini adalah efek samping dari industrialisasi pendidikan, di mana masyarakat berlomba mengikuti pendidikan bukan sebagai proses keilmuan namun lebih pada proses ekonomi.
Mencari gelar akademik untuk jadi politisi, untuk kenaikan pangkat dan gaji, atau pengaruh-pengaruh sosial berdampak ekonomi yang lain. Gelar akademik menjadi simulakra intelektual, ada manipulasi tanda, seolah pemilik gelar tertentu pasti memiliki pengetahuan tertentu.
Parahnya lagi, Kitschfikasi Akademik ini menjadikan produksi penelitian dianggap cukup hanya dalam rangka pemberian gelar sebagai sebuah penanda. Selesai seseorang mendapatkan penanda gelar akademik, ia berhenti melakukan proses ilmiah sesungguhnya: pengamatan, penalaran, penarikan kesimpulan, dan distribusi gagasan ilmiah. Jadinya, banyak orang yang selesai kuliah selesai pula perilaku ilmiahnya.
Kitschfikasi ini bisa berhenti hanya dan jika hanya masyarakat sebagai konsumen, berhenti mengonsumsi tanda akademik. Sederhananya: jangan menilai seseorang dari gelarnya. Nilailah dari kapasitas intelektualnya yang terwujud dalam karya-karya berkesinambungan. Jika tidak maka apa yang kita sebut dengan pendidikan, tidak lebih hanya rangkaian produksi manipulasi.
Editor: Yahya FR