IBtimes.ID – Prof. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) menyebut bahwa secara normatif, dalam Alquran jelas sekali Allah menyebut semangat dari Islam adalah menyebarkan rahmat, mengajak kebaikan, dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Kemudian Tuhan yang akan menghitung di hari kiamat.
Keragaman Desain Tuhan
Dalam Alquran juga jelas sekali bahwa keragaman manusia adalah desain Tuhan, dan agama Islam melarang pemaksaan dalam agama. Menurutnya, paksaan tidak akan melahirkan kesalehan, ketulusan, dan perilaku autentik. Padahal, Islam mengajarkan pemeluknya agar tumbuh menjadi pribadi autentik. Dan pribadi autentik itu mensyaratkan adanya kemerdekaan.
Hal ini ia sampaikan dalam Webinar “Moderasi Beragama dalam Tradisi Agama-Agama di Indonesia” yang diadakan oleh Convey Indonesia bersama PPIM UIN Jakarta. Webinar yang diadakan pada Jumat (26/6) ini mengundah tokoh dari berbagai agama yang ada di Indonesia.
Rektor UIII ini mengatakan bahwa pokok-pokok ajaran di atas mengalir kedalam realitas-realitas sejarah. Mengalir ke berbagai ruang dan waktu sehingga ekspresi keislaman yang sumbernya sama menjadi sangat berbeda. Sehingga terdapat banyak kekayaan mazhab dalam bidang teologi, filsafat, tasawuf, fikih, dan lain-lain. Termasuk dalam bentuk kenegaraan.
“Dalam konteks Indonesia, sejak awal Islam sudah terlibat dalam menegakkan kemerdekaan dan keadilan. Namun, ketika Indonesia terbentuk, umat Islam setuju bahwa Indonesia menjadi negara yang bhineka. Bhineka ini adalah desain Tuhan yang sudah disepakati bersama,” jelasnya.
Pancasila menjadi Falsafah Hidup
Pada level kenegaraan, ia berharap pancasila menjadi falsafah hidup yang mampu menjaga keragaman dan mengakomodir sekian banyak kelompok. Ketuhanan dalam pancasila menurutnya menjadi refleksi bahwa masyarakat harus menghargai keragaman agama-agama lain. Kebertuhanan ini melahirkan sikap kemanusiaan. Menghargai sesama manusia apapun agamanya.
Ia menyebut jika hal tersebut sudah terpenuhi, baru masyarakat bisa mengembangkan musyawarah dengan hikmat, untuk bersama-sama menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Hal ini untuk menjaga rumah bersama.
Menurutnya, ada aktor historis yang cukup fenomenal, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua kelompok ini dengan jelas menyatakan bahwa pancasila sudah final. “Ini sangat moderat sekali. Mazhab yang populer di Indonesia juga mazhab yang moderat, bukan mazhab yang ekstrim. Sikap kultural bangsa mendukung sikap moderat,” ujarnya.
“Misalnya, bahasa Melayu adalah bahasa yang digunakan oleh minoritas. Tetapi digunakan sebagai bahasa nasional. Kemudian, pemiliki bahasa lain yang lebih besar seperti Jawa dan Sunda tidak merasa dijajah, tidak menjadi masalah. Kekuatan masyarakat kita terletak pada adaptasi dan adopsi terhadap nilai-nilai,” tambahnya.
Generasi Hibrid
Menurutnya, perkembangan kebangsaan, budaya, dan agama saling dukung-mendukung sehingga sikap keberagamaan di Indonesia lebih inklusif. Islam di Indonesia tidak selalu mengental menjadi identitas politik. Ini menunjukkan adanya sikap terbuka dari masyarakat.
Lebih-lebih sekarang muncul hybrid generation. Hal ini menurut Komarudin Hidayat semakin mendukung sikap keberagaman dalam hubungan sosial. “Sentimen etnis sudah semakin berkurang, sentimen partai kelompok juga semakin berkurang. Sekarang tinggal bagaimana elemen agama mempromosikan Islam wasathiyah yang menekankan keadilan. Moderat tidak berarti lembek, wasathiyah tidak berarti lembek, tetapi lebih mengarah kepada keadilan,” tutupnya.
Reporter: Yusuf R Y