Muslim Eropa Timur I Sebenarnya konflik dan ketegangan yang terjadi antara Barat (termasuk Eropa) dan Islam selama ini merupakan kasus yang mengakar pada sejarah masa lalu dari kedua peradaban tersebut mengakibatkan masing-masing saling mencurigai dan berusaha mengontrol satu sama lain.
Islam menuduh Barat tidak pernah bisa memahami Islam atau mempelajari nilai-nilainya (Values), sehingga konsekuensinya selalu membawa hubungan yang tidak kondusif dan menyebabkan terkurungnya hubungan mereka dengan emosi yang tinggi.
Sebaliknya, Barat menuduh Islam sebagai agama yang eksklusif dan tertutup. Bahkan menyebutnya dengan agama yang rentan dengan tindak kekerasan, seperti terorisme, ekstrimisme, fundamentalisme dan semacamnya (Andriani 2015, 258). Padahal Islam juga sudah lama berkembang di bagian Negara Eropa, termasuk Spanyol pada abad klasik Islam. Pun sejak abad pertengahan hingga sekarang, Islam masuk ke dalam bagian kehidupan masyarakat Eropa Timur.
Di Albania, komunitas Muslim Albania sedang mengalami satu masa sejarahnya yang paling gelap. Di bawah suatu rezim yang dapat dibandingkan dari segi fanatisme dan penindasannya. Suatu usaha terang-terangan sedang dikerjakan untuk menghancurkan seluruh ketaatan kepada Islam di Albania. Banyak mesjid telah diratakan dengan tanah. Orang yang berani menunjukkan keagamaan akan dicemoohkan dan dihina dan kadang-kadang dihukum mati. Akan tetapi, walaupun kondisi mereka begitu, Islam masih aktif di Albania secara rahasia (Kettani 2005, 38-39).
Di Yugoslavia, muslimnya aliran Sunni bermazhab Hanafi. Mereka terorganisasi dengan baik di bawah Persatuan Keagamaan Muslim (Muslim Religions Union) yang mempunyai empat pimpinan wilayah (superirate) di Sarajevo (Bosnia-Herzegovina), Skopje (Macedonia), Titograd (Montenegro) dan Pristina (Kosovo).
Masjid dan pusat komunitas Islam telah dibangun lintas federasi termasuk di negara-negara minoritas Muslim, seperti: Serbia, Kroasia dan Slovenia. Komunitas Muslim sekarang mempunyai sekitar dua ribu masjid dan masjid-masjid batu selalu sedang dibangun. Komunitas juga mempunyai dua sekolah untuk melatih para imam (tingkat sekolah menengah di Sarajevo dan Pristina) (Kettani 2005, 42).
Di Bulgaria, tidak terlihat banyak mesjid di buka negeri ini. Pada 1966 ada 1.300 masjid, di antaranya 1.180 berbahasa Turki dan 120 berbahasa Bulgaria. Pada 1956 sekitar 2.715 imam melayani komunitas muslim. Orang-orang Muslim secara agama diorganisasi di bawah seorang mufti besar. Bulgaria dibagi ke dalam enam wilayah keagamaan, masing-masing wilayah mempunyai Majlis-Ul-Ulema. Mufti untuk berbahasa Turki berkedudukan di Burgaz (Hasan Adamof) dan Bahasa Bulgaria di Smolyan (Hasan Seferkov) (Kettani 2005, 46).
Di Rumania, penderitaan sama halnya terjadi di Bulgaria; hanya tinggal selusin mesjid pasca perang. Mereka terorganisasi secara agama di bawah mufti di Konstanta, kemerdekaan beragama mereka tetap dirusak, buku-buku dibredel dan sekolah imam ditutup serta bahasa Turki dilarang untuk diajarkan (Kettani 2005, 68).
Di Ukraina, ketika masa kedudukan Uni Soviet, umat Islam mengalami diskriminasi dan agama dilarang. Ini tentunya akibat dari pengaruh paham Komunis yang masuk ke wilayah tersebut waktu itu. Sedangkan di abad ke 21 ini, berbeda lagi setelah merdeka dari Uni Soviet. Dimana umat Islam mengalami toleransi beragama antara sesama warga Ukraina. Seorang warga Ukraina bercerita bahwa dia Muallaf dan tidak ada terjadi penganiayaan terhadapnya apalagi diskriminasi, dan malahan perlu diperbanyak lagi masjid agar Muslim bisa beribadah dengan nyaman dan dekat dengan rutinitasnya.
Islamic Center juga ada di Ukraina sebagai pusat peradaban muslim Ukraina, seperti adanya kegiatan seminar, jasa pernikahan, restoran dan pakaian dan lain sebagainya (Mina News n.d.). Bahkan, ada organisasi Muslim Ukraina yang telah bergerak di ranah Eropa, yakni Direktorat Spiritual Muslim Ukraina. Organisasi ini telah menjalin kerja sama dengan Federasi Organisasi Islam Eropa (FIOE). Kepala Direktorat Spiritual Muslim Ukraina, Mufti Said Ismagilov mengatakan bahwa ia bersama Muslim lain percaya bahwa adopsi Charta Muslim Eropa dapat meningkatkan aktivitas mereka di antara negara-negara Eropa (Go Muslim 2018).
Di Rumania, Muslim berjumlah 260.000 orang mereka hidup makmur dan terorganisasi dengan baik sebelum terjadinya Perang Dunia II. Para 1971 sekitar 50.000 dan meningkat 65.000 tahun 1982. Mayoritas Muslim adalah petani dan pekerja. Kendati demikian, orang Muslim mengalami penganiayaan pasca Perang Dunia II yang mana dari ratusan mesjid yang berdiri kokoh, hingga tinggal selusin saja terbuka sebagai tempat ibadah. Walaupun warga Muslim punya organisasi di bawah pimpinan mufti di Konstanta, tetap saja hak-hak mereka ditiadakan; sekolah dirusak, buku agama dibredel, bahasa Turki dilarang diajarkan pada generasi baru (Rasyid 2013, 267).
Di Hongaria, komunitas Muslim di masa lalu mengalami penurunan, dan jumlahnya hanya mencapai 5000 di antara dua perang dunia. Namun, mereka terorganisasi dengan baik di bawah pimpinan imam mereka. Setelah PD II jumlah orang Muslim kembali berkurang menjadi sekitar 3.300 pada tahun 1949 dan organisasi mereka lenyap begitu saja, jumlah mereka saat ini sekitar 6000 dan mereka berusaha untuk kembali mengorganisai diri dengan baik (Rasyid 2013, 270).
Di Hongaria dan Serbia warisan Islam negara-negara itu telah dibongkar dan dipinggirkan, kecuali sedikit yang masih tersebar. Di Sofia Bulgaria mencemaskan gelombang baru tekanan dari bekas Komunis yang masih berkuasa. Tetapi mungkin di masjid-masjid bobrok dan jalan-jalan berdebu di Tirana, dan kota-kota Albania lainnya, Islam Balkan yang baru dapat bermekaran, bersintesis dan memanfaatkan semua dari toleransi Utsmani, eklektisisme Bektashi, ortodoksi Sunni Liberal, dan feminisme sekuler (Lebor 1998, 126).
Menurut Ali Kettani, sikap modern Eropa terhadap Islam keseluruhannya sangat lebih baik daripada masa lalu. Kedudukan yang lebih baik sungguh masih berbeda dalam demokrasi Barat dengan prinsip yang mereka berbeda dalam demokrasi Barat dengan prinsip yang mereka tegaskan tentang kebebasan berkeyakinan. Memang, Muslim di negara-negara ini masih dihadang oleh prasangka non-Muslim yang sebenarnya. Penolakan terus menerus, penyiksaan, tanpa pengakuan tersebar luas, dengan pengecualian yang jarang seperti tersebut di atas, dan tidak tergantung pada sistem politik yang berlaku.
Editor: Soleh