Inspiring

Kisah Sya’ban, Sahabat Nabi yang Menyesal Saat Sakaratul Maut

3 Mins read

Sya’ban. Namanya tidaklah menonjol layaknya para sahabat yang lainnya, seperti Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, dan lainnya.

Sahabat Sya’ban memiliki kebiasaan unik yang selalu beliau jalani sepanjang hidupnya. Kebiasaan itu adalah beliau selalu hadir di dalam masjid sebelum shalat fardhu berjamaah dimulai. Sya’ban selalu duduk di sudut masjid sambil beri’tikaf. Alasan ia memilih sudut ruang masjid bukanlah supaya mudah untuk tidur sambil senderan, tetapi agar tidak mengganggu jamaah lain yang ingin beribadah.

Suatu ketika, Sya’ban tidak ada di posisi tempat ia biasa beri’tikaf. Rasulullah yang hendak memulai shalat shubuh berjamaah pun mulai bertanya-tanya, dimana Sya’ban berada? Kok tidak biasanya? Tidak ada seorang pun yang melihat Sya’ban yang menyebabkan shalat jamaah pun ditunda beberapa saat.

Setelah beberapa waktu tidak ada tanda-tanda kehadiran Sya’ban, Rasulullah pun segera melaksanakan jamaah shalat subuh. Rasulullah khawatir jika terlalu lama menunggu, shalat subuh berjamaah akan terlaksana terlalu siang.

Wafatnya Sya’ban

Selesai melaksanakan jamaah, Rasulullah pun bertanya kepada para sahabat yang hadir dalam jamaah shalat subuh itu. “Ada yang tahu dimana rumah Sya’ban?”, salah seorang sahabat mengetahui dimana persisnya letak rumah sahabat Sya’ban.

Khawatir terjadi sesuatu terhadap Sya’ban, Rasulullah meminta agar diantarkan ke tempat kediaman Sya’ban kala itu. Dengan segera rombongan Rasulullah bersama para sahabat pergi untuk datang ke rumah Sya’ban. Perjalanan ditempuh amat panjang, hingga jarak antara masjid menuju lokasi kira-kira ditempuh mulai setelah shalat shubuh sampai waktu afdhal untuk melaksanakan shalat dhuha.

Sesampainya di depan rumah, Rasulullah pun mengucap salam sambil mengetuk pintu. Kemudian, keluarlah seorang wanita sambil membalas salam serta membukakan pintu. Rasulullah bertanya, “Benarkah ini rumah Sya’ban?”. Wanita itu menjawab, “Iya, saya istrinya.”

Baca Juga  Oei Tjeng Hien dan Abdullah Tjan Hoateseng, Dua Tokoh Muhammadiyah Tionghoa

Rasulullah kembali bertanya, “Bisa kah kami bertemu dengan Sya’ban? Tadi pagi beliau tidak hadir waktu jamaah shalat subuh bersama kami.” Wanita itu menjawab sambil menitikkan air mata di pipinya. “Mohon maaf ya Rasulallah. Beliau sudah meninggal pagi tadi, tepat sebelum adzan subuh. “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun”.

Beberapa saat kemudian, wanita itu bertanya kepada Rasulullah. “Ya Rasulullah, ada sesuatu yang ingin saya tanyakan kepada engkau.” Rasulullah pun menjawab, “Silakan apa yang hendak ingin kau tanyakan?”

Wanita itu berkata, “Tadi sebelum ia meninggal, ia berteriak tiga kali dengan kalimat yang berbeda.” Rasulullah pun kembali bertanya, “Apa saja kalimat yang diucapkannya?”

“Dalam masing-masing teriakan ia berkata ‘Aduh, mengapa tidak lebih jauh? Aduh, mengapa tidak yang baru? Aduh, mengapa tidak semuanya?’”

Rasulullaah menjawab dengan melantunkan Q.S Qaf [50]: 22 yang berbunyi,

لَقَدْ كُنْتَ فِيْ غَفْلَةٍ مِّنْ هٰذَا فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاۤءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ ٢٢

Artinya: “Sungguh, kamu dahulu benar-benar lalai tentang (peristiwa) ini, maka Kami singkapkan penutup matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” (Q.S Qaf [50]: 22)

Tiga Penyesalan Sya’ban

Rasulullah kemudian memberikan penjelasan dengan amat rinci. Ketika menjelang sakaratul maut, seluruh amal perbuatan yang telah Sya’ban lakukan ditayangkan ulang oleh Allah SWT. Semua peristiwa yang disaksikan oleh Sya’ban, tidak dapat dilihat oleh orang lain. Di samping amal perbuatan, Allah juga memperlihatkan ganjaran yang Sya’ban terima.

Teriakan pertama, “Aduh, mengapa tidak lebih jauh?”

Dalam penayangan itu, Sya’ban menyaksikan suatu amal yang biasa ia lakukan setiap hari berupa perjalanannya pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah. Dari perjalanan yang amat panjang itu, Sya’ban diperlihatkan ganjaran yang ia peroleh dari setiap langkah kakinya.

Baca Juga  Imam Al-Ghazali: Ulama Muslim yang Rakus Ilmu

Saat ia berteriak, timbul penyesalan dalam diri Sya’ban. Andaikan jarak rumahnya dengan masjid lebih jauh lagi, tentu pahala yang ia peroleh semakin banyak dan berlipat-lipat.

Teriakan kedua, “Aduh, mengapa tidak yang baru?”

Saat musim dingin, angin menghembuskan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Sya’ban yang hendak pergi ke masjid pun kembali ke dalam rumah dan mengambil baju untuk outer. Sya’ban sengaja mengenakan baju yang baru di dalam sedangkan baju yang jelek di luar.

***

Sya’ban sengaja melakukannya karena nanti jika terkena debu atau kotoran di jalan hanya terkena di baju yang luar, sedangkan baju yang dalam masih bersih dan dapat digunakan untuk shalat berjamaah setelah menanggalkan baju yang luar.

Di tengah perjalanan, Sya’ban menemukan seseorang yang kedinginan. Tanpa ragu, Sya’ban segera menanggalkan bajunya yang luar lalu menyelimuti orang itu sambil memapahnya menuju masjid. Orang itu selamat dari kedinginan dan dapat melaksanakan shalat berjamaah.

Sya’ban melihat ganjaran yang ia terima sebagai balasan untuknya yang telah memakaikan baju yang jelek kepada orang itu. Sya’ban menyesal, seandainya ia memakaikan bajunya yang baru, pastilah ganjaran yang ia terima jauh lebih banyak lagi.

Teriakan ketiga, “Aduh, mengapa tidak semua?”

Suatu pagi, Sya’ban hendak sarapan dengan sebuah roti dan segelas susu. Roti itu dikonsumsi dengan dicelupkan terlebih dahulu ke dalam susu hangat sebelum disantap.

Sebelum memulai sarapan, datanglah pengemis di depan pintu rumah Sya’ban sambil meminta makan. Pengemis itu mengaku sudah tiga hari tidak makan sama sekali. Sya’ban pun merasa iba. Ia pun membagi rotinya menjadi dua bagian sama besar dan juga membagi susu ke dalam dua gelas yang sama banyak.

Baca Juga  Ketika Pak AR Memimpin Yasinan

Sya’ban pun diperlihatkan ganjaran yang ia terima dari memberikan sebagian roti dan separuh susu yang hendak ia makan untuk sarapan. Andaikan ia memberikan semuanya, tentu, pahalanya jauh lebih besar lagi.

Renungan

Subhanallah! Sahabat Sya’ban menyesal bukan menyesali amal perbuatan yang telah ia lakukan. Hanya saja, ia menyesal mengapa tidak maksimal dalam melakukannya. Seandainya ia melakukan dan memberikannya secara maksimal, tentunya pahala yang ia terima juga lebih maksimal dan berlipat ganda.

Jika sahabat Sya’ban saja menyesali amal kebaikannya yang tidak maksimal, lantas bagaimana dengan kita yang sering lalai dalam menjalankan perintah agama?

Editor: Soleh

Miftakhu Alfi Sa'idin
3 posts

About author
Mahasiswa IAIN Ponorogo Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *