Inspiring

Imam Al-Ghazali: Ulama Muslim yang Rakus Ilmu

3 Mins read

Biografi  Imam Al-Ghazali

Hujjatul Islam Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali at-Thusi asy-Syafi’i. Sosok yang menempati peranan penting dalam perkembangan Islam. Ulama yang mencintai filsafat, tasawuf, dan berbagai cabang ilmu yang lain ini menularkan pemikiran-pemikirannya ke seantero dunia.

Nama al-Ghazali bukanlah nama yang asing dikalangan umat Islam. Ulama kelahiran Thus tahun 450 H, wafat 14 Jumadil Akhir 505 H, dan ditinggal wafat ayahnya sejak kecil merupakan seorang filsuf dan teolog muslim yang mempunyai gelar Hujjatul Islam. Gelar tersebut beliau dapatkan karena semangatnya dalam mencari ilmu. Serta kegigihannya dalam melawan keyakin-keyakinan syubhat dalam masalah akidah. Dan juga, sikap telatennya dalam membantah kerancuan cara berpikir filsuf.

Imam Al-Ghazali ulama terkemuka dan tersohor di antara ulama-ulama klasik, juga memiliki cerita yang tidak kalah heroik. Kisah kegigihannya dalam mencari ilmu merupakan sejarah kepahitan dan kesedihan.

Bahkan, sama sekali tidak ada catatan bahagia dalam perjalanannya ketika mencari ilmu. Pasalnya, orang tua al-Ghazali hanyalah tukang tenun biasa. Jauh dari kata mewah dan sempurna. Di mana,  penghasilan dari memintal benang tenun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.

Betapapun itu sebagai kekurangan, semangat Imam Al-Ghazali dalam mencari ilmu justru tidak membuatnya menyerah untuk mendapatkan ilmu. Karena, meskipun hidup dalam keadaan serba kekurangan, ia adalah sosok yang haus akan ilmu pengetahuan.

Perjuangan Imam Al-Ghazali dalam Mencari Ilmu

Kesederhanaan yang dirasakan al-Ghazali ternyata cukup berdampak pada tujuannya ketika mencari ilmu. Pasalnya, ia pernah menyampaikan sebuah pengakuan yang sangat mengejutkan, bahwa motivasinya berangkat ke sekolah adalah agar mendapatkan makanan. Sebab, ia menyadari di rumahnya tidak menjumpai makanan yang enak. Syekh Tajuddin as-Subuki menceritakan pengakuan al-Ghazali, dalam kitabnya menyebutkan,

Baca Juga  Murtadha Muthahhari, Ketua Dewan Revolusi Islam Iran

طلبنا العلم لغير الله فأبى أن يكون الا لله

Artinya, “Dahulu kami (al-Ghozali) mencari ilmu dengan niat selain Allah, tetapi ilmu tersebut enggan (padanya) kecuali dengan niat karena Allah.” (Lihat, Thabqatu asy-Syafi’iyah, juz 6, hlm 194)

Ungkapan di atas al-Ghazali sampaikan karena kesadaran atas keterbatasan finansial keluarganya. Sebagai anak yang serba kekurangan, terlahir dari keluarga yang kurang mampu, kehidupan serba sederhana, bahkan al-Ghazali berangkat ke sekolah dengan uang yang pas-pasan, menginginkan makanan yang enak seperti yang dirasakan oleh temannya yang lain. Sehingga, ia memutuskan untuk sekolah dengan tujuan itu.

Imam Al-Ghazali: Unggul dalam Keilmuan

Dalam kehidupan yang serba terbatas, ia mendapatkan pendidikan gratis dari beberapa guru. Namanya gratis, tentu fasilitasnya juga kurang begitu layak. Namun, dengannya Imam Al-Ghazali tidak menyia-nyiakan pendidikan itu. Meski ditempatkan di tempat yang kurang memadai layaknya teman seperjuangan lainnya yang cukup.

Justru, Imam Al-Ghazali lebih unggul dari yang lain. Bahkan, melebihi mereka yang mendapatkan fasilitas lebih. Terbukti, di tempat yang jauh dari kata layak, ia mampu menguasai dua bahasa, yaitu, bahasa Arab dan bahasa Persia.

Dengan modal dua bahasa itu, al-Ghazali mampu melahap berbagai disiplin ilmu yang menarik minat perhatiannya. Ia bisa memahami ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, ilmu filsafat, ilmu fiqih, bahkan ia juga mempelajari ilmu fiqih perbandingan empat mazhab. Hingga ia mampu menguasai keseluruhannya.

Rihlah Demi Ilmu

Setelah semua itu telah dikuasai, sosok haus akan ilmu tak membuatnya berhenti untuk semakin mendalami. Al-Ghazali melanjutkan rihlah pengembaraannya ke negeri Jurjan untuk menimba ilmu kepada Imam Abu Nashr al-Ismaili.

Ia juga mendalami fiqih dengan berguru kepada Syekh Ahmad al-Razkani. Beliau juga berguru pada Imam Haramain di Naisabur tentang fiqih mazhab Syafi’i dan berbagai fiqih yang masih dalam perdebatan ulama, yaitu fiqih khilaf.

Baca Juga  Dibujuk Agar Menjadi Komunis, Tokoh Ini Setia Memilih Muhammadiyah

Sayangnya, masa al-Ghazali berguru pada Imam Haramain tidaklah lama. Ia harus pulang dikarenakan Imam Haramain wafat. Kemudian, al-Ghazali pindah ke Baghdad. Di sana, ia sering berdebat dengan banyak ahli ilmu agama dan ulama tersohor pada masanya. Dan nyatanya, al-Ghazali selalu memenangkan perdebatan itu tanpa ada yang menyanggahnya kembali.

Karena kecerdasannya inilah, pemerintah di Baghdad langsung mengangkatnya menjadi salah satu tenaga pengajar di madrasah yang ada di kota Baghdad.

Hijrah ke Baghdad

Tepat pada tahun 484 H, al-Ghazali resmi hijrah ke Baghdad untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang telah ia pelajari, dan resmi menjadi pengajar di Madrasah an-Nidzamiyah. Yaitu madrasah layaknya universitas yang didirikan oleh perdana mentri kota Baghdad. Selain sebagai pengajar yang setara dengan mahaguru, al-Ghazali juga dilantik sebagai wakil rektor di sekolah tersebut.

Alhasil, hidup al-Ghazali yang pada awalnya serba apa adanya, tidak lantas menjadi penyebab ia terhalang dari ilmu pengetahuan. Justru, dari kesederhanaan dan serba berkecukupan itu muncul sosok yang melambung tinggi dengan segala kerendahan hatinya.

Apalah arti sederhana jika keinginan mendapatkan ilmu begitu menggelora dalam jiwa? Harta tak menjamin sepenuhnya menjadi orang luar biasa layaknya al-Ghozali. Justru serba kecukupan keluarganya, sederhana dalam kehidupannya, bisa mengantarkannya menjadi tokoh masyhur di dunia.

Imam al-Ghazali telah sukses menjadi tokoh dunia yang sangat menginspirasi. Rihlah perjalanannya dalam mencari ilmu layak diberikan apresiasi yang tinggi. Selain sebagai pengajar dan pendakwah, ia juga berhasil menelurkan berbagai karya dari cabang-cabang ilmu yang bisa dibaca oleh umat Islam setelahnya.

Karya Imam Al-Ghazali

Karya al-Ghazali tidak sebatas hanya dalam satu cabang ilmu. Sebagai tokoh dan ulama besar, Imam al-Ghazali mempunyai tulisan-tulisan yang cukup banyak. Tulisan-tulisan tersebut terbagi menjadi beberapa bagian.

Baca Juga  Profil Ibnu Rusyd: Utamakan Nalar atas Perasaan

Pertama, karyanya dalam bidang aqidah, yaitu, al-Munqidh min adh-Dhalal (penyelamat dari kesesatan).

Kedua, karyanya dalam bidang tasawuf, yaitu, Ihya Ulumiddin (Kebangkitan ilmu-ilmu agama), yang merupakan kitab karyanya yang paling masyhur di kalangan umat Islam.

Ketiga, karyanya dalam bidang Filsafat, yaitu, Maqasid al-Falasifah (tujuan para filusuf), kitab ini merupakan karya pertama al-Ghazali yang berisikan masalah-masalah filsafat.

Keempat, karyanya dalam bidang fiqih, yaitu, al-Mushtasfa min ‘Ilm al-Ushul al-Mankhul min Ta’liqah al-Ushul (pilihan yang yang tersaing dari noda ushul fiqih).

Kelima, karyanya dalam bidang logika, yaitu, Mi’yar al-Ilm (The standard measure of knowledge/kriteria ilmu).

Sebenarnya, karya al-Ghazali tidak hanya yang telah disebutkan di atas. Karyanya tidak sebatas puluhan, bahkan mencapai ratusan. Hanya saja, di antara kitab yang paling terkenal dari pelbagai cabang ilmu yang ditulis olehnya, yaitu kitab yang disebutkan di atas.

Editor: Yahya FR

Sunnatullah
17 posts

About author
Santri dan pengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah Bangkalan
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *