Tafsir

Konsep Manusia dalam Al-Qur’an

3 Mins read

Pada awalnya, tulisan Konsep Manusia dalam Al-Qur’an ini terinspirasi dari banyaknya kata yang digunakan dalam penyebutan manusia di Al-Qur’an. Lantas, bagaimanakah penyebutan Al-Qur’an mengenai manusia dalam Al-Qur’an dan bagaimana tafsirnya? Berikut adalah penjelasannya.

Manusia Sebagai ‘Abd Allah

Sebagai hamba Allah, manusia harus mengabdi kepada Allah sebagai Sang Pencipta. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 112,

التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (QS. At-Taubah: 112)

Dalam tafsir Ibnu Katsir, sebagai seorang ‘aabid, maka manusia harus menegakkan ibadahnya dan memeliharanya dengan baik. Baik ibadah yang berkaitan dengan lisan maupun amaliah. Kata ‘aabid dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 11 kali.

Sebagai seorang hamba, kita harus patuh dan tunduk kepada Allah Swt. Menjalankan apa yang telah menjadi kewajiban dan menjadikannya sebagai suatu kebutuhan, yang mana apabila ditinggal mengakibatkan suatu keresahan. Dan juga menjauhi apa yang telah menjadi larangan-Nya. Serta bisa dikatakan bahwa ‘aabid adalah sosok hamba yang taat dan ikhlas dalam beribadah kepada Rabb-nya.

Manusia Sebagai an-Naas

Konsep ini cenderung kaitannya antara manusia dengan lingkungan sosialnya. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Baca Juga  Hakikat Kekayaan Menurut Islam

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Maksud dari penggunaan kata naas dalam menyeru hambanya, berarti menunjukkan kepada seluruh hamba tanpa terkecuali. Penggunaan kata naas disitu berkaitan dengan dianjurkannya untuk saling kenal mengenal.

Allah telah menjadikan kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, yang mana pastinya setiap suku dan bangsa tersebut memiliki ciri tersendiri. Hingga ciri tersebut dapat memudahkan kita untuk saling mengenal antara satu dengan yang lainnya.

Manusia Sebagai Khalifah Allah

Sebagai khalifah, manusia memiliki tugas untuk mengemban amanah, memanfaatkan bumi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, serta menjaga keseimbangan alam. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 30,

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30)

Dalam tafsir Ibnu Katsir, maksud diciptakannya manusia sebagai khalifah ialah untuk mewakili dan melaksanakan hukum-hukum dan peraturan-peraturan Allah Swt. Menjadikan manusia sebagai manusia di muka bumi, berarti menjadikannya sebagai pemimpin dan pengatur atas proses berjalannya kehidupan.

Baca Juga  Bagaimana Al-Qur'an dan Filsafat Merespon Fenomena Bunuh Diri?

Manusia Sebagai al-Insan

Manusia dalam hal ini berkaitan dengan potensi yang dimilikinya, yang mana potensi itu mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi. Manusia dalam konsep ini, menunjukkan bahwa manusia selalu berkembang untuk menuju kesempurnaan.

Sebagai insan seperti yang disebutkan dalam surat al-‘Alaq, bahwa manusia ialah sosok yang sempurna dan mulia, dikarenakan oleh ilmu yang dimilikinya.

Namun sebagai al-Insan, manusia juga memiliki sisi negatif, yakni manusia tidak bisa lepas dari sifat kelupaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Hud ayat 9,

وَلَئِنْ أَذَقْنَا الإنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إِنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ

Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS. Hud: 9)

Manusia Sebagai Makhluk Biologis (Basyar)

Manusia dalam konsep ini, menunjukkan manusia hanya sebagai makhluk yang berada (berwujud), yang erat hubungannya dengan perkembangbiakkan, pertumbuhan, perkembangan, dan juga kebutuhan dalam kehidupan (makanan) dan akhirnya sampai pada kematian.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Mu’minun ayat 12-14,

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ, ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ, ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah, Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim), Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al-Mu’minun: 12-14)

Baca Juga  Semiotika Roland Barthes: Mungkinkah Dipakai untuk Mengkaji Al-Qur'an?

Editor: Zahra

9 posts

About author
Aida Ayu Lestari, mahasiswa jurusan ilmu al Quran dan tafsir asal Blimbing-Paciran-Lamongan
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds