Falsafah

Konsep Manusia Menurut Ibnu Khaldun

3 Mins read

Sebagai makhluk yang menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi, manusia dianugerahi akal, pancaindra, fuad, dan wahyu. Dengan menempatkan empat instrumen tersebut, Ibnu Khaldun menggagas bagaimana hakekat manusia. Konsep manusia menurut Ibnu Khaldun yang berbeda dengan teori-teori yang berkembang pada masanya menjadikan pemikirannya berseberangan dengan aliran al-Muhafidz (Konservatif) dan al-Diniy al-‘Aqlaniy).

Berbeda dengan para pemikir aliran Konservatif (alMuhafidz), Ibnu Khaldun memiliki keyakinan yang kokoh tentang bagaimana konsep manusia menurut pandangan Islam. Ia juga berbeda konsep dengan para pemikir aliran Religious-Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy) dalam memahami hakekat manusia. Manusia, dalam pandangan Ibnu Khaldun, adalah makhluk yang mendapat anugrah akal, pancaindra, fu’ad, dan wahyu dalam menjalankan fungsinya di muka bumi.

Sebagai ilmuwan yang telah banyak bergumul dengan berbagai macam aliran filsafat Yunani, pemikiran Ibnu Khaldun tidak bisa lepas dari pengaruh pemikiran filsafat Yunani kuno. Misalnya, ketika memahami hakekat manusia, ia tidak bisa lepas dari pengaruh filsafat Idealisme karena ia menempatkan manusia sebagai makhluk berfikir. Penjelasan lebih detail bagaimana Khaldun merumuskan konsepsi manusia dapat dibaca dalam salah satu makalahnya, “Tentang Ilmu Pengetahuan dan Berbagai Jenisnya, Tentang Pengajaran Serta Metode-metode dan Aspek-aspeknya, dan Tentang Berbagai Hal yang Bersangkutan dengan Itu Semua” (lihat Nurcholish Madjid (editor), Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994: 307).

Dengan mendefinisikan manusia sebagai makhluk berfikir (animal rational: al-hayawan an-nathiq), sebenarnya ide ini bukan murni dari Ibnu Khaldun. Melacak akar historisnya, jaringan arkeologi keilmuan tentang teori ini bertemu pada pemikiran Plato, filosof Yunani klasik, yang juga mendefinisikan manusia sebagai “animal rational” (hewan yang berfikir). Proses transmisi keilmuan ini melalui aktivitas penerjemahan karya-karya para filosof Yunani yang sedang marak pada abad pertengahan, terutama lewat Ibnu Rusyd yang banyak menerjemahkan karya-karya Plato dan Aristoteles (Nurcholish Madjid, 1994: 40-41). Karena Ibnu Khaldun banyak mengulas karya-karya Ibnu Rusyd, secara otomatis ia telah berkenalan dengan ide-ide besar dari para filosof Yunani.

Baca Juga  Salah Memaknai Khalifah: Cikal Bakal Kerusakan Alam

Namun demikian, Ibnu Khaldun memberi sentuhan kreatif dengan memasukkan konsep-konsep Islam dalam sistem ontologi dan epistemologi filsafatnya. Ibnu Khaldun tetap meletakkan wahyu sebagai sumber pengetahuan manusia yang utama—yang membedakan secara fundamental konsep metafisika dan epistemologi dalam aliran Filsafat Pragmatisme kontemporer.

Dimensi fu’ad dalam perspektif Ibnu Khaldun, di sisi lain tampak menyerupai konsep “akal kategoris” dalam Pragmatisme Aristoteles. Dengan ‘kemampuan’ (quwwah) untuk berfikir telah membedakan manusia dari jenis binatang. Kemampuan (quwwah), akal, dan fu’ad dalam konteks Filsafat Pragmatisme tampak menyerupai teori inborn—potensi bawaan sejak lahir (mind, kebebasan, curiousity).Sedangkan kecakapan hidup dan kemampuan mengetahui Tuhan lewat wahyu yang disampaikan kepada para Rasul menjadikan manusia (muslim) dapat menguasai dunia—menjadi prinsip pragmatis Ibnu Khaldun yang nantinya menjadi dasar bagi perumusan tujuan pendidikan.

Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menulis: “Mengenai kesanggupan manusia untuk berfikir sehingga membedakan jenisnya dari binatang, kecakapannya memperoleh penghidupan dalam kehidupan bersama dan kemampuannya mempelajari Tuhan yang disembahnya serta wahyu-wahyu yang diterima para Rasul-Nya, sehingga semua binatang tunduk dan berada dalam kekuasannya. Melalui kesanggupannya untuk berfikir itulah, Tuhan mengaruniai manusia keunggulan di atas makhluk-makhluk-Nya yang lain” (lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, (2000: 521).

Manusia mendapat anugrah wahyu dari Tuhan sebagai sumber ajaran dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia. Akal, menurut Khaldun, adalah instrumen pokok bagi manusia selain pancaindra untuk memperoleh pengetahuan—merupakan konsep epistemologi Filsafat Empirisme—termasuk untuk memahami ajaran wahyu. Dalam satu sisi, manusia memang hampir sama dengan binatang, karena memiliki pancaindra (pendengaran, penciuman, penghilatan, perasa, dan peraba). Pendengaran, penciuman, penghilatan, perasa, dan peraba inilah yang menurut Ibnu Khaldun menciptakan sistem idrakkesadaran dalam diri tentang hal di luar dirinya—pada binatang (ibid.). Selain memiliki akal, manusia juga dibekali idrak yang menjadi instrumen kedua setelah akal yang dapat membantu manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan (empiris). Hubungan antara akal dengan pancaindra merupakan kesatuan sistematis yang membentuk konsep fuad (jamak: afidah)—yaitu pikiran yang terbentuk lewat perpaduan cara kerja pancaindra dan akal (Ibid.: 522). Dari konsep akal, pancaindra, dan fuad inilah yang dalam sistem pemikiran Ibnu Khaldun lebih mengarah pada paradigma epistemologi empirisme.

Baca Juga  Menjadi Muslim Progresif ala Ziauddin Sardar

Di luar dimensi kejiwaan manusia, Khaldun memahami manusia secara natural sebagaimana eksistensi binatang. Maka ‘watak dasar’ (al-thabi’ah) manusia membutuhkan ‘kebutuhan-kebutuhan dasar’ (basic need), seperti makan untuk bertahan hidup (Jawwad Ridla, 2002: 109).

Dalam Muqaddimah, ia menulis: “Ketahuilah, bahwa menurut wataknya manusia membutuhkan sesuatu untuk dimakan, dan untuk melengkapi dirinya dalam semua keadaan dan tahapan hidupnya sejak masa pertama pertumbuhannya hingga masa tuanya” (Muqaddimah: 447; lihat juga “Tentang Ilmu Pengetahuan dan Berbagai Jenisnya”: 307).

Watak dasar (al-thabi’ah) manusia tidak dipahami secara individual karena menurut Ibnu Khaldun, manusia adalah makhluk sosial (al-insan madaniyyun bi at-thab’i). Artinya bahwa eksistensi manusia tidak dilihat sebagai individual tetapi secara sosial. Dengan demikian, kehidupan manusia adalah perwujudan dari watak dasar yang dalam prosesnya menghendaki penyempurnaan secara terus menerus.

157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds