Muhammad Ainun Nadjib lahir di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 27 Mei 1953. Ia adalah sosok intelektual, seniman, budayawan, penyair, dan pemikir; yang di mana gagasannya banyak dituangkan melalui tulisan. Jika diibaratkan, sosok beliau adalah manusia magnet karena daya tariknya amat kuat dan mudah sekali menarik perhatian publik.
Emha Ainun Nadjib, yang dikenal dengan sapaan Cak Nun, menyatakan bahwa tujuan agama hanya satu, yaitu mendidik manusia agar mampu mengendalikan dirinya.
Cak Nun: Perbedaan Ngegas dan Ngerem dalam Perilaku Sufistik
Dalam bukunya yang berjudul Hidup itu Harus Bisa Pintar Ngegas dan Ngerem, ia ingin membudidayakan perilaku moralistik yang berbasis sufistik. Ada perbedaan antara ngegas dan ngerem. Ngegas mempunyai arti mewujudkan perilaku sufistik demi mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan ngerem memiliki arti perwujudan untuk mengendalikan diri dari perilaku buruk.
Secara umum, perilaku sufistik dikhususkan untuk orang-orang yang ahli tasawuf. Akan tetapi, yang menarik dalam pemikiran Cak Nun adalah mengarah pada semua kalangan manusia, baik yang awam maupun yang khusus. Manusia harus bisa berlari untuk mendekatkan diri kepada Allah, juga harus bisa mengendalikan (mengontrol) dirinya dari hawa nafsu, syahwat, dan bisikan setan.
Konsep sufistik yang dibangun Cak Nun adalah mengenai etika sufistik. Menurutnya, etika sufistik yang merupakan representasi dari konsep Maiyah yang itu sendiri artinya adalah nilai kebersamaan. Kata Maiyah diambil dari kata ma’a yang artinya bersama. Maiyah memiliki substansi sebagai sebuah metode melingkar, di mana semua orang bersama-sama menekuni suatu hal, bukan satu nonton satu ditonton.
Konsep Sufistik Cak Nun
Gagasan-gagasan segar Cak Nun melalui gerakan Maiyah-nya adalah suatu fenomena kebudayaan yang bernilai sufistik. Menghadapkan hal ini pada kesadaran masyarakat global dengan intensitas pertemuan komunitas yang semakin teknologis dan kering nilai, maka konsep Maiyah telah menawarkan suatu wacana baru berupa gerakan kultural dengan metode yang alami. Kenduri Cinta bersama Maiyah Cak Nun adalah peristiwa pertemuan manusia secara alami, pertemuan manusia dengan manusia secara langsung, tanpa tendensi materialisme.
Konsep ini mengajarkan manusia bahwa semuanya sama, yang membedakan adalah nilai takwa seseorang kepada Allah. Sehingga akan timbul rasa persaudaraan, tidak mudah memandang rendah orang, dan tidak mudah mengaku dirinya lebih baik; mulia.
Konsep sufistik Cak Nun ini mengajarkan kecintaan yang dikedepankan daripada egoisme, cara pandang, dan sebagainya. Jika cinta yang dikedepankan, maka tidak butuh banyak alasan untuk menebar kedamaian, kesejukan, dan kebersamaan. Ini yang mulai hilang pada zaman digital.
Etika sufistik Cak Nun adalah etika yang bernilai teologis. Hal ini ditopang oleh pemikiran-pemikiran ontologisnya, yang telah diketahui berpijak kepada idealisme teistik. Pemikiran Cak Nun ini memiliki unsur ke-Esaan Tuhan.
Di antara ke-Esaan Tuhan adalah Zat-Nya sendiri yang wajib wujud dan Dia sendirilah tanpa campur tangan manusia atau makhluk lain. Etika teologis Cak Nun ini menyertakan juga prinsip etika keutamaan yang menerjemahkan keutamaan manusia berada di dalam kodrat kemanusiaannya.
Menuju keabadian Tuhan adalah sebuah nuansa teologis. Menuju keabadian Tuhan membuhkan sebuah ontologis manusia yang berbasis spiritual. Dari situ, pandangan etis Cak Nun mengatakan bahwa moralitas dapat dicari dan dipelajari dari Tuhan. Kemudian, ia juga mengatakan bahwa Tuhan adalah guru sejati.
Etika Sufistik sebagai Penyembuh Kejatuhan Moral
Dan meskipun rasionalitas bisa dijadikan sumber moral, namun pada tingkat tertentu, manusia memerlukan dogma, suatu acuan nilai rohaniah yang tidak akan berhasil dikejar dengan kemampuan nalarnya; melainkan hanya cukup diterimanya dan dijadikan hujjah.
Etika sufistik menjadi senjata untuk menyembuhkan virus dekadensi moral yang menjerat masyarakat modern abad ini. Etika sufistik yang mengedepankan nilai-nilai ketuhanan menjadikan seseorang lebih berperilaku seperti Tuhan (takhallaq bi akhlaq Allah).
Sehingga ia tidak mudah benci, menyakiti, menyusahkan orang lain, berbuat zalim, jahat, dan sebagainya. Etika sufistik inilah yang akan mengantarkan manusia modern kepada derajat hamba yang kamil (paripurna).
Kemudian, akan melahirkan manusia yang tidak hanya menggunakan rasionalitas semata dalam menjalani kehidupan, tetapi ajaran agama menjadi pegangan dan landasan hidupnya. Dengan demikian, konsep sufistik Cak Nun adalah sebuah konsep yang menekankan nilai-nilai teologis.
Editor: Zahra