Review

Roman-Roman Karya Hamka: Memukau Sekaligus Dikritik Habis-Habisan

3 Mins read

Berbicara tentang sosok Buya Hamka, tentunya tidak bisa dilepaskan dari buah karyanya yang sangat banyak dan majalah Pedoman Masyarakat yang ia dirikan di Medan, bahkan karya-karyanya masih dicetak ulang hingga saat ini.

Kekuatan Tulisan Hamka

Rusydi Hamka mencatat 121 karya Hamka yang dibukukan baik itu berupa roman, tulisan bersambung di majalahnya, buku, dan lain sebagainya (Rusydi Hamka, 2018: 373-379). Selain itu, artikel–artikelnya di majalah seperti Suara Muhammaduyah tidak terhitung banyaknya. Hal yang mengagumkan adalah banyak dari karya-karya tersebut yang dicetak ulang berkali–kali baik roman, kitab tafsirnya (Al–Azhar), serta buku–bukunya.

Kekuatan tulisan Hamka menurut Sides Sudyarto, adalah bahasa yang digunakannya komunikatif karena Hamka menggunakan bahasa sehari–hari dengan gaya yang memikat pembaca untuk masuk ke dalam dunia imajinasinya (Sides Sudyanto dalam Nasir Tamara, 1984: 147). Bahkan, dalam tafsirnya sendiri pun, tafsir Al-Azhar ataupun dalam buku pelajaran Agama Islam, Hamka banyak menggunakan kisah–kisah pribadinya sendiri untuk menopang penghayatan terhadap ajaran ataupun ayat yang sedang beliau tafsirkan dengan bahasa beliau yang mampu menangkap emosi pembaca.

Dapatlah dikatakan bahwa, saat beliau menuliskan apapun, ia tak dapat lari dari berkisah, bercerita yang menjadikan tulisannya sebuah karya yang memiliki ciri khas tersendiri. Sebagai seorang otodidak yang tidak pernah belaja teori fiksi, Hamka tentu saja mencari model bagi karya dan karangannya. Model itu ia dapat dari karya–karya Luthfi Almanfaluthi, pengarang Mesir yang banyak mempengaruhi dirinya.

Latar belakangnya yang berasal dari Minangkabau, dengan segala budaya yang melekat menjadi sebuah permasalahan yang sering disinggung oleh Hamka dalam roman–roman yang ia tulis. Hamka mengkritik adat Minangkabau dalam roman-romannya yang ujung ceritanya berakhir tragis. Ia berhasil mengangkat sebuah kisah masyarakat pra–industrial dan semi perkotaan ke dalam sebuah novel yang sangat lekat dengan ciri masyarakat industrial.

Baca Juga  Lentera Kehidupan: Argumen Filosofis Seputar Tuhan, Alam dan Manusia

Hamka dan Keunikannya

Keunikan Hamka adalah beliaulah generasi kaum pembaharu Islam di Minangkabau yang mendapat gelar Datuk Indomo di usia mudanya. Gelar yang menunjukkan bahwa ia adalah orang yang paham seluk beluk adat Minangkabau sekaligus menyerap ajaran-ajaran kaum pembaharu Islam.

Keunikan ini jelas tidak dimiliki oleh ayahnya maupun generasi pembaharu sebelumnya yang mengambil jarak yang diametral antara adat di satu sisi dengan Islam di sisi yang lain. Walaupun sering mengkritik budaya Minangkabau dalam karyanya, namun Hamka beranggapan bahwa Islam bukan hanya sekadar tempelan yang dilekatkan pada adat Minangkabau.

Islam menggunakan adat justru untuk mengatur masyarakatnya dan sebaliknya adat adalah susunan Islam menurut alam pikir masyarakat Minangkabau (Fachry Ali, Prisma Februari 1983: 52). Walaupun romannya banyak mengisahkan tokoh dengan latar belakang adat Minangkabau yang kuat, namun karena kekuatan bahasa yang dimilikinya, membuat roman–roman Hamka dapat diterima secara luas di seluruh Indonesia. Di mana, masyarakatnya tengah bergumul dengan identitas bangsa dan bahasa mereka.

Karakter Tokoh yang Dimunculkan dalam Roman Hamka

Novel sebenarnya adalah tipikal peradaban industrial atau perkotaan. Sedangkan, Hamka adalah produk dari peradaban pra-kota dan pra-industri. Maka, tokoh yang dituliskan oleh Hamka bukanlah tokoh yang menemukan gejala perkotaan dengan segala permasalahannya. Kita tidak dihadapkan pada tokoh yang bingung dengan jati dirinya ataupun tokoh yang bergelut dengan kemiskinan struktural yang menghampirinya.

Tokoh-tokoh Hamka dimunculkan dari golongan yang taat beragama dengan berlatar adat yang kuat. Dua tipikal ini tentunya dimiliki oleh masyarakat Minangkabau yang tidak bisa dipisahkan dari adat dan keberagamaan mereka. Hamka menuliskan sebuah pesan akan implikasi-implikasi terhadap pemberlakuan adat.

Ia tidak membenturkan antara tokoh berpandangan hidup barat dengan tokoh yang masih memegang erat budaya seperti dalam novel Salah Asuhan. Hamka dengan itu nampaknya tidak hendak melepaskan kritik kaum modernis Islam terhadap adat Minangkabau yang telah terjadi puluhan tahun sebelumnya.

Baca Juga  Membaca Islam dalam Kacamata Buya Husein

Di antara romannya yang sangat banyak itu, nampaknya yang menjadi roman terbesar Hamka adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dengan tidak mengenyapingkan roman lainnya seperti Di Bawah Lindungan Kakbah, Dijemput Mamaknya, Terusir, dan lain sebagainya. Munculnya novel ini akhirnya melibatkan polemik yang panjang bahkan sampai puluhan tahun sejak pertama cerita ini dipublikasikan di Pedoman Masjarakat. Kritik terhadap karya Hamka ini pun berasal dari berbagai golongan.

Beberapa Kritik Terhadap Roman Hamka

Pertama, kritik dari golongan adat. Seperti diketahui, bahwa Buya Hamka memiliki gelar adat Datuk Indomo, salah satu orang yang mendapatkan gelar kehormatan karena mengetahui seluk beluk masalah adat Minangkabau. Orang yang memiliki gelar Datuk Indomo malah dinilai mencederai budaya Minangkabau dalam novel tersebut.

Kedua, kritik dari golongan ulama. salah satu yang paling keras dalam mengkritiknya adalah A. Hassan. Tercatat lebih kurang 6 tulisan yang dikeluarkan A Hassan untuk mengkritik Hamka. A Hassan mengkritik bahasa Arab Hamka yang diilai masih bermasalah, beberapa tulisan beliau, dan mengkritik apa yang dituliskan oleh Hamka dalam novelnya. Seorang anak ulama besar, tokoh Muhammadiyah dan dikenal pula sebagai Mubaligh kok menulis roman-roman picisan, menceritakan tentang kisah-kasih anak muda yang dinilai melanggar agama. Malah Hamka dinilai cabul.

Ketiga, kritik yang paling keras adalah kritik orang-orang LEKRA yang dipimpin oleh Pramoedya Ananta Toer. Hamka dituduh memplagiat karya Alphons Carr dan diduga mengambilnya dari saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi, Majdulin, atau Magdalena. Tulisan Abdullah SP (diduga nama samaran Pramoedya) di harian Bintang Timur, pada 5 dan 7 Oktober 1962 dengan judul ” Aku Mendakwa HAMKA Plagiat”, menjadi penanda puncak polemik ini.

Polemik itu dinilai sebagai polemik sastra paling tajam di era 1962-1964. Ratusan artikel dan tulisan sontak terbagi menjadi dua; ada yang membela seperti Ali Audah, H.B. Jassin dan ada pula yang mencela habis-habisan seperti yang dilakukan oleh Pram dan kawan-kawannya. Masalah ini sudah sangat tidak sehat dan dinilai pemerintah sangat mengganggu stabilitas nasional. Sehingga, pemerintah menyurati LENTERA yang dikawal Pram untuk menghentikan semua serangan.

Baca Juga  Hamka & Bung Karno: Potret Persahabatan Ulama dan Negarawan

Editor: Yahya FR

Avatar
8 posts

About author
Direktur Sekolah Langit Biru. Anggota Muhammadiyah Bengkulu.
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *