Pandemi COVID-19 kali ini boleh disebut sebagai bencana yang menguji kemampuan umat manusia dalam bertahan hidup tak terkecuali di sektor pendidikan. Banyak hal memaksa guru dan murid secara umum untuk beradaptasi dengan gaya pembelajaran yang tentu saja berbeda dibanding masa sebelum pandemi. Pengaruh pandemi pun sampai pada konsep pendidikan Indonesia.
Kebijakan bersama antara Kemendikbud dengan kementerian lainnya terkait hal ini juga menandai ada transisi proses belajar yang menjadi serba daring (jarak jauh). Terutama pada daerah rawan (zona merah). Namun, proses belajar daring inilah yang menjadi tantangan bagi beberapa pihak, terutama kelas menegah ke bawah.
Potret mengenai tantangan ini pun terlihat nyata. Sulitnya akses internet, harga gawai tidak terjangkau hingga kesulitan ekonomi menjadi penanda bahwa terdapat struktur yang sama sekali tidak berpihak pada kaum papa. Bahkan, sebelum pandemi terjadi pun permasalahan yang berkaitan dengan struktur penindas dunia pendidikan telah menjadi perbincangan.
Meski negara melalui konstitusinya yakni UUD 1945 memberi amanat bagi pemerintah RI untuk ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’, dengan segala potensi ekonomi dan sumber dayanya, lantas mengapa masalah ini bisa terjadi?
Konsep Pendidikan Indonesia
Paul Gellert dalam jurnalnya berjudul Optimism and Education: The New Ideology of Developmentalism in Indonesia mengatakan sejak tumbangnya rezim Orde Baru, telah terjadi perpindahan ideologi menjadi lebih elit-kosmopolitan. Yakni ideologi yang lebih terbuka terhadap kekayaan, hiper-konsumtif, dan ambisius.
Disebutkan di jurnal yang sama, ketidakpuasan terhadap ketidakimbangan akan pembangunan ekonomi sekaligus skandal politik, membuka perdebatan di publik mengenai makna Pancasila. Sehingga dinamika yang terjadi adalah masyarakat mencari jawaban alternatif. Yang seakan menemukan jawaban itu pada diri Jokowi mengenai makna dari ideologi Pancasila. Ini yang akhirnya dimanfaatkan untuk melanggengkan kembali ideologi neoliberal kosmopolitan.
Adanya perpindahan ‘ideologi’ ini yang berpengaruh pada kebijakan. Tidak menutup kemungkinan, kepemimpinan Jokowi yang populis turut menghasilkan kebijakan yang populis pula. Ada kesan ketidaktegasan dan plin-plan dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Dari yang awalnya mengunggulkan “Nawacita” menjadi mengunggulkan pembangunan infrastruktur dan membuka kesempatan untuk investor asing. Pola kebijakan seperti inilah yang justru malah menguntungkan kaum pemilik modal dan melebarkan kesenjangan antar kelas sosial.
Konsekuensi logis dari hal ini adalah terjadinya akumulasi kapital yang terpusat di lingkar orang tertentu. Di mana lingkar ini memiliki kuasa untuk menekan kebijakan yang menguntungkan mereka. Keleluasaan ini yang kemudian dimanfaatkan untuk ‘mencetak’ masyarakat dengan ‘perangkat konseptual’ yang mereka yakini dapat memberikan kesejahteraan, yakni neoliberalisme. Hal ini juga dapat dirasakan dalam konsep pendidikan di Indonesia.
Kesejahteraan dan Perangkat Konseptual
David Harvey, profesor geografi politik yang juga penulis buku A Brief History of Neoliberalism, menyebut bahwa negara perlu memiliki perangkat konseptual yang mampu melekat pada nilai dan keinginan kita. Perangkat konseptual ini berperan agar kepentingan-kepentingan yang muncul dalam kehidupan bernegara dapat diterima dan dianggap ‘wajar’. Jika perangkat konseptual ini berhasil tertanam pada ‘alam pikir’ setiap orang, maka akan dianggap sebagai sebuah ‘pemberian’ dan tak perlu untuk dipertanyakan kembali.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, logika neoliberalismelah yang justru diterima sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan kembali. Pendidikan sebagai sebuah perangkat konseptual yang dianggap sebagai pemberian.
Pendidikan yang mekanistis, kompetitif dan mahal menjadi logika yang diterima di masyarakat umum saat ini. Sehingga justru menciptakan kesenjangan antara kelas atas dan bawah. Singkatnya, ide-ide neoliberalisme dapat diterima sebagai perangkat untuk mencapai kesejahteraan.
Kelas kelas dalam sekolah menjadi arena paling mudah dalam mengkreasi individu – individu menjadi komoditas yang dibutuhkan dalam persaingan pasar bebas. Sehingga muncullah semacam sebagai, “norma” baru. Yang menyatakan bahwa “untuk mencapai kesuksesan, maka bekerja keraslah”.
Faktanya, sebuah penelitian dari SMERU Institute (disadur dari artikel berjudul ‘Mengapa anak dari keluarga miskin cenderung akan tetap miskin ketika dewasa: Penjelasan temuan riset SMERU’) kesenjangan yang terjadi antara kelas atas dan kelas bawah tidak hanya melulu dapat diselesaikan hanya dengan determinasi jargonistik. Determinasi kebebasan individu seperti giat bekerja, sesuatu yang diagungkan oleh founding father dari neoliberalisme.
Permasalahan semacam ini perlu untuk diselesaikan secara struktural. Perlu adanya intervensi dari negara agar kesenjangan yang terjadi dapat berkurang. Melalui kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat, bukan sekadar indah di jargon saja. Negara perlu hadir untuk menciptakan kesejahteraan pada masyarakatnya sehingga tidak ada lagi orang yang tidak bisa menyekolahkan anaknya karena permasalahan ekonomi. Tidak ada lagi kesenjangan dalam pendidikan.
Pendidikan yang Membebaskan?
Kesenjangan digital, kesenjangan ekonomi, pembangunan yang tidak merata merupakan akumulasi dari sebagian kebijakan neoliberalistik. Kesejahteraan yang ditawarkan oleh neoliberalisme menjadi utopia belaka jika ternyata para pengambil kebijakan justru ‘berselingkuh’ dengan para pemilik modal.
Sekolah dijadikan tempat untuk ‘menanamkan’ perangkat konseptual pada muridnya agar tercipta kepatuhan (consent) di era serba patuh pada pemerintah ini. Maka perlu dipertanyakan kembali, apakah hal seperti ini yang menjadi amanat dari UUD 45? Apakah ini cerminan pendidikan yang membebaskan masyarakat agar harkat kehidupannya makin naik?
Diskusi mengenai Pancasila sebagai perangkat konseptual perlu untuk dibuka secara terbuka dan umum. Adanya perdebatan ini justru membuka kemungkinan-kemungkinan baru mengenai apa perangkat konseptual yang sesuai dengan kondisi khasnya Indonesia. Dengan mengubah cara pandang inilah harapannya terdapat efek domino pada kebijakan–kebijakan yang diambil, salah satunya di pendidikan.
Kebijakan yang sesuai dengan perangkat konseptual dan relevan dengan Indonesia tentu mampu menjawab persoalan ini. Sehingga dapat menciptkan pendidikan yang tidak hanya menitikberatkan pada aspek keterampilan saja. Namun juga etika dan nilai-nilai kemanusiaan. Ini adalah kunci untuk membangun moral dan nilai-nilai sosial. Orientasi pendidikan tidak sekadar kemajuan ekonomi belaka, tapi juga pemajuan kebudayaan.
Pendidikan seperti ini tentu harus diiringi dengan pembangunan infrastruktur yang relevan untuk meminimalisasi kesenjangan. Baik kesenjangan ekonomi dan digital. Perlunya intervensi pemerintah mengenai hal ini melalui distribusi pajak yang tepat sasaran sehingga kesenjangan dapat berkurang.
Dengan memperbaiki perangkat konseptual yang neoliberalistik ini, pendidikan di Indonesia tidak sekedar mencetak pekerja dengan pendidikan ‘kering’. Tapi juga adaptif terhadap perubahan yang didukung dengan infrastruktur dan memiliki orientasi terhadap pemajuan kebudayaan dengan etika dan nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan di Indonesia memiliki keberpihakan yang jelas terhadap semua kelas.
Editor: Sri/Nabhan