Perspektif

Masa Depan Pendidikan di Era Pandemi

4 Mins read

Pendidikan – Seluruh dunia tidak akan melupakan 2020, tahun di mana hampir seluruh lini kehidupan menjadi lumpuh.

Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) seakan menjadi mimpi buruk flu Spanyol yang berreinkarnasi. Tidak terpikir, tidak ada persiapan, dan menyerang seluruh dunia dengan masif.

Maka, jalan satu-satunya bertahan dari virus ini adalah anti-bodi. Meskipun vaksin yang digadang-gadang rampung dalam waktu cepat, akan mustahil diproduksi secara masal dalam waktu yang singkat pula. Sehingga, hal ini menjadi peringatan besar bagi negara-negara di seluruh dunia.

Big warning dari Wuhan kepada seluruh dunia mendapat respon beragam. Indonesia sendiri memilih santai menyikapi hal tersebut. Bukan tanpa alasan, sikap ini diambil lantaran kebiasaan masyarakat Indonesia yang sedikit “lebay” dalam menyikapi sesuatu.

Mungkin dengan pertimbangan tersebut, Pemerintah melalui Menteri Kesehatan menyampaikan hal-hal yang bertujuan menenangkan suasana. Dan benar, Indonesia amat sangat tenang hingga Covid-19 masuk ke Indonesia.

Saat Covid-19 mulai masuk ke Indonesia bagaikan tamparan di atas permukaan air yang tenang. Seketika gejolak luar biasa terjadi di masyarakat. Segala aspek berubah drastis. Kebijakan-kebijakan darurat diciptakan. Banyak hal menjadi tak biasa. Banyak istilah baru bermunculan.

Dalam lingkup kesehatan, cuci tangan, menggunakan masker, dan jaga jarak, menjadi kebiasaan baru. Meskipun kebiasaan tersebut telah menjadi rahasia umum untuk memutus rantai penyakit menular.

Pendidikan Daring

Pendidikan dengan model dalam jaringan (daring) menjadi satu-satunya opsi teraman bagi semua pihak. Semua bergerak dengan keadaan serba terpaksa dan dipaksa.

Dengan model pembelajaran seperti itu, Pemerintah dipaksa untuk membuat kurikulum baru di masa pandemi. Dengan keadaan serba terbatas, guru dan siswa dipaksa untuk menggunakan teknologi beserta aplikasinya.

Dengan ekonomi yang terbatas, masyarakat dipaksa untuk bertahan hidup. Maka slogan-slogan yang seakan tak pantas pun menjadi pantas. Laa yamuutu wa laa yahya, Hidup tak bermutu butuh banyak biaya!

Baca Juga  NINO (2): Berkembang Bersama Nur'aini

Indonesia bukan tidak mau belajar tentang teknologi. Menjelang trend era start-up 4.0, telah banyak e-commerce dan banyak pula konsumen dari kalangan pelajar.

Namun untuk mengaplikasikan teknologi tersebut untuk pembelajaran, nampaknya memiliki gairah yang berbeda. Berbagai macam platform pendidikan ditawarkan dengan masing-masing kelebihan dan kekurangannya.

Barangkali, bukan hal yang sulit bagi penghuni metropolitan. Tapi bagaimana dengan beberapa golongan marjinal. Padahal semangat belajar mereka bisa jadi jauh lebih tinggi dari penduduk metropolitan.

Penulis merasakan dua hal yang bertolak belakang ini. Sekalipun sebutannya metropolitan dan marjinal, tapi faktanya realitas ini terjadi di kota yang sama.

Kekurangan tersebut bersifat termarjinalkan, yang berarti mereka terpaksa menjadi tertinggal karena keadaan.

Bolehlah tempat tinggal berada di perkotaan, tetapi jika daya dukung untuk mengakses pendidikan daring terbatas, apa daya bagi mereka.

Beberapa Item yang Dibutuhkan dalam Pembelajaran Daring

Jika diamati, ada beberapa item yang dibutuhkan agar pembelajaran daring dapat berjalan dengan kondusif.

Di antaranya, siapnya kurikulum dan insfrastruktur, tersedianya gawai yang mumpuni, stabilnya jaringan internet, dan kondusifnya kondisi rumah saat terlaksananya daring.

Dari beberapa aspek tersebut, dapat kita amati perbandingannya secara subyektif.

Siapnya kurikulum dan infrastruktur, menuntut penyesuaian antara kurikulum yang sudah ditetapkan sebelumnya dan diintegrasikan dengan efisiensi penggunaan teknologi.

Mengapa terdapat efisiensi, karena dibutuhkan pemadatan kompetensi dasar. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kompetensi dasar yang dipadatkan tersebut telah mencakup esensi dari bab yang disampaikan. Atau malah sama sekali menghilangkan makna dari bab tersebut.

Item kedua adalah tersedianya gawai yang mumpuni. Penulis sedikit banyak memiliki ghirah dalam urusan teknologi. Bagi mereka yang memiliki orang tua dengan pendapatan dan savings yang aman, kebutuhan gawai tidak terlalu menjadi beban.

Baca Juga  Pendidikan: Ruang Aktualisasi Ideologi

Jika perangkat yang digunakan saat ini terasa bermasalah atau lemot, beli baru menjadi solusi yang mudah bagi mereka. Lantas bagaimana dengan mereka yang untuk bertahan hidup saat pandemi saja terasa susah. Apalagi untuk membeli sebuah gawai baru.

Sebagai catatan, penulis telah menguji gawai dengan spesifikasi terendah (quad core, 1 gigabyte ram, 8 gigabytes penyimpanan), menengah (octa core, 4 gigabyte ram, 64 gigabyte penyimpanan), dan tinggi (octa core, 6/8 gigabyte ram, 128 gigabyte penyimpanan).

Hasilnya adalah, perangkat dengan spesifikasi rendah hanya mampu menjalankan aplikasi tunggal dan ringan (zoom, google meet). Untuk kategori menengah, mampu menjalankan semua aplikasi daring tapi terasa amat sangat berat.

Sedangkan. gawai dengan spesifikasi tinggi, mampu menjalankan seluruh aplikasi multitasking dengan mudah dan ringan.

Dari hasil pengujian tersebut, layaknya pembelajaran daring harus menggunakan ponsel dengan spesifikasi tinggi di mana harga minimal dipasaran berkisar diangka dua jutaan.

Dengan harga yang dibilang tidak murah, akan mustahil bagi beberapa golongan untuk memenuhi kebutuhan gawai anaknya. Ditambah kebutuhan hidup di masa pandemi yang juga beranjak kian tinggi.

***

Oleh karena itu, gawai juga menjadi salah satu persoalan utama dalam pembelajaran daring.

Item ketiga adalah tersedianya jaringan internet yang stabil. Tersedia saja tidak cukup, karena wajib memiliki koneksi yang stabil. Sebagai gambaran, beberapa provider pasca bayar menawarkan jaringan mulai 10 mpbs hingga 100 mbps.

Tapi hal ini juga menambah pengeluaran mereka setidaknya 300-500 ribu per bulan. Jika membeli paket pra bayar, untuk mendapatkan paket yang stabi, maka harus membeli paket yang disediakan provider tertentu dengan harga minimal seratus ribu rupiah.

Beruntunglah Pemerintah saat ini menggelontorkan dana memberikan paket internet gratis untuk mengakses situs pembelajaran.

Baca Juga  Dalam Konflik Israel-Palestina, Sikap Dolkun Isa dan WUC Begitu Ambigu

Menginjak item terakhir yaitu suasana kondusif yang wajib diciptakan guna mendukung proses pembelajaran. Rumah memang lah tempat yang nyaman untuk beristirahat.

Tapi belum tentu menjadi tempat yang cocok untuk melaksanakan KBM. Dari berbagai macam item tersebut, satu dengan lainnya saling berkaitan.

Sehingga, ketika seseorang tidak mampu memenuhi salah satunya maka pola belajar luar jaringan (luring) dirasakan menjadi satu-satunya jalan paling efektif.

Banyak dilemma yang dirasakan saat pandemi ini. Bagi mereka yang memang menjaga kesehatan dan keselamatan ditambah lagi mampu untuk memenuhi fasilitas pembelajaran daring, maka study from home dirasakan efektif dan menjadi pilihan utama.

Sedangkan bagi mereka yang merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan saat daring, maka berangkat ke sekolah dan melalukan pembelajaran tatap muka menjadi satu hal yang cukup dinanti. Bukan tanpa alasan, mereka pun membandingkan dengan berbagai tempat wisata yang telah dibuka.

Sedangkan Pemerintah terkesan bungkam dengan realitas ini, sehingga cukup rasional jika mereka mempertanyakan: Quo vadis Pendidikan masa pandemik?

Editor: Yahya FR

Kholidun
1 posts

About author
Mahasiswa Pasca Aqidah dan Filsafat Islam UINSA, Kepala SMP Iskandar Said Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *