Falsafah

Konsep Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun

4 Mins read

Ibnu Khaldun, bernama asli Abdul al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Usman ibn Hani ibn al-Khattab ibn Kuraib ibn Ma’dikarib ibn al-Harish ibn Wail ibn Hujr. Lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H / 27 Mei 1332 M, dan meninggal di Kairo pada 25 Ramadhan 808 H / 19 Maret 1406 M, di usia 73 tahun.

Tokoh sekaligus ilmuwan Muslim yang dikenal sebagai bapak sosiolog, sejarawan, filsuf, ekonom, antropolog, politikus serta penyair Islam ini mempunyai segudang kitab atau karya tulis di berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Diantara kitab karangannya adalah At-Ta’riif bi Ibn Khaldun (autobiografi), Muqaddimah (pendahuluan atas kitab al-’ibar, yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis), dan Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (membahas tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta’akh-khiriin, karya Imam Fakhruddin ar-Razi). Dari sekian banyak kitabnya, kitab muqaddimah secara tidak langsung menyoal seputar dunia pendidikan (Nurainiah, 2019, hlm. 94–95).

Definisi Pendidikan Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun dapat merumuskan suatu formulasi mengenai pendidikan sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Menurut Ibnu Khaldun, pendidikan adalah proses mentransformasikan nilai-nilai dari pengalaman seseorang untuk mempertahankan eksistensinya dalam berbagai bentuk kebudayaan serta zaman yang terus berkembang.

Oleh karena itu, konsepsi yang sekarang sedang berkembang dalam masyarakat kita, yakni sumber daya manusia (SDM), adalah konsepsi dari Ibnu Khaldun sebagai hasil dari berbagai pengalaman dan pengembaraannya (Roji & El Husarri, 2021, hlm. 328–329).

Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa pendidikan sebagai proses transformasi nilai yang bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat berkebudayaan serta wujud masyarakat seutuhnya. Dari uraian tersebut, kita tahu bahwa pendidikan merupakan suatu proses untuk menghasilkan output yang mengarah pada kualitas dan disiplin tinggi.

Baca Juga  Franz Rosenthal, Orientalis yang Terjemahkan Muqaddimah Ibnu Khaldun

Rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun sendiri adalah hasil dari berbagai pengalaman yang dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat, sejarah dan sosiologi, yang mencoba untuk menghubungkan berbagai konsep dengan realitas hidup.

Tujuan Pendidikan

Menurut Ibnu Khaldun, pendidikan bertujuan untuk memberikan pekerjaan dan peran aktif kepada akal agar dapat terbukanya wawasan sehingga menghasilkan suatu pikiran yang matang. Kemudian untuk memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat untuk membantu mewujudkan masyarakat yang berkemajuan dan bertujuan pula untuk memperoleh lapangan pekerjaan (Hidayat, 2019, hlm. 16–17).

Dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, ada beberapa faktor yang dijadikan sebagai alasan terbentuknya rumusan tujuan pendidikan, yakni adanya pengaruh dari bidang ilmu filsafat dan sosiologi. Di mana tidak bisa memisahkan antara masyarakat, ilmu pengetahuan, dan kebutuhan masyarakat.

Kemudian, dikarenakan perencanaan ilmu pengetahuan tentunya akan sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya. Serta dikarenakan pendidikan sebagai aktivitas akal insani, sehingga sangat urgen dalam kehidupan setiap individu.

Epistemologi Ilmu Pengetahuan

Menurut Ibnu Khaldun, Ilmu pengetahuan adalah kemampuan manusia untuk membuat analisa dan sintesa sebagai  hasil berfikir.  Ibnu Khaldun sendiri membagi 3 tahapan dalam kesanggupan berfikir, tahapan pertama yakni pada akal pembeda (al-‘Aqlu al-Tamyizi). Akal pembeda lebih menitikberatkan kepada pemahaman intelektual yang membantu manusia memperoleh penghidupannya, sebatas mengetahui hal-hal yang sifatnya inderawi atau persepsi, dan menolak segala sesuatu yang bahaya baginya.

Tahapan selanjutnya yakni pada akal eksperimental (al-‘Aqlu al-Tajribi), akal eksperimental menghasilkan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang-orang bawahannya dalam mengatur mereka. Tingkatan ini dapat dicapai melalui adanya pengalaman, dan masih dalam bentuk apersepsi-apersepsi.

Sedangkan tahapan terakhir yakni pada akal spekulatif (Al-‘Aqlu Al-Nadzari), yang mana tingkat ini menghasilkan teori dan ilmu pengetahuan ilmiah (‘ilm) dan hipotesis (dzan). An-nazar adalah gabungan dari persepsi dan apersepsi. Pada tingkat ini, yang dihasilkan ialah pengetahuan yang sifatnya terus berkembang dengan banyaknya spesialisasi.

Baca Juga  Khaled Abou El Fadl, Ulama Penentang Otoritarianisme Ilmu Agama

Kemudian proses akhir an-nazar ialah mengetahui hakikat suatu konsep dengan apa adanya. Menurut Ibn Khaldun, pada tingkat an-nazr, manusia mencapai kesempurnaan dalam realitasnya (Zubair & Syafi’i, 2022, hlm. 120–121). Jika ketiga tingkatan berpikir tersebut menyatu, maka terciptalah manusia intelektual yang memiliki kesempurnaan realitas, atau bisa juga disebut sebagai realitas manusia (Haqiqah al-Insaniyah).

Dimana akal pikiran yang menghasilkan pengetahuan tersebut dapat menuntun manusia ke jalan Ilahi dan mengangkat derajatnya sebagai manusia. Hidupnya jiwa manusia karena ilmu pengetahuan dan gelapnya hati manusia karena miskinnya ilmu pengetahuan.

Pembagian Ilmu

Menurut Ibnu Khaldun, ilmu dapat dibagi dan diklasifikasikan menjadi 3 bagian. Pertama, yakni ilmu-ilmu filsafat. Ilmu-ilmu filsafat (‘Ulumul ‘Aqliyah) adalah buah dari pemikiran dan perenungan manusia, yang bersifaat alamiah. Ilmu-ilmu filsafat terdiri dari logika, fisika dan ilmu alam, metafisika dan matematik, geometri, ilmu ukur, aljabar, angka-angka, faraid dan geometri, optika dan astronomi.

Kedua, yakni ilmu tradisional, ilmu tradisional atau konvensional (al-‘Ulum an-Naqlyah al-Wadhiyah) adalah ilmu yang didapat dari dasar hukum al-quran dan as-sunnah, ilmu ini meliputi ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu qiraat, ushul  fiqh, fiqh (taklifi), bayan dan qalbi, keimanan, akidah, tasawuf, ta’bir mimpi, dan ilmu kalam. Ketiga, yakni ilmu alat, ilmu  alat terbagi menjadi dua, yakni ilmu alat yang membantu syariat seperti halnya ilmu lughat, ilmu nahwu, balaghah, dan lainnya, serta ilmu alat yang membantu ilmu aqliyah seperti halnya ilmu mantiq (Hidayanti dkk., 2022, hlm. 215–216).

Aktualisasi Pendidikan Ibnu Khaldun

Walaupun Ibnu Khaldun hidup sekitar abad ke 14 H, tetapi konsep-konsep pendidikannya masih uptodate hingga kini. Konsep-konsep tersebut meliputi sumber daya manusia (SDM) sehingga konsep SDM yang berkembang sekarang adalah rumusan dari Ibnu Khaldun yang mencoba memadukan antara filsafat dan pendidikan, sosiologi dan pendidikan, sehingga konsep pendidikannya mengarah ke aliran pragmatism.

Baca Juga  Abdul Malik Fadjar dan Trilogi Perdamaian

Kemudian tentang tujuan pendidikan, rumusan tujuan pendidikan dari Ibnu Khaldun sampai sekarang masih dapat diaktualisasikan. Sebab tujuan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menunjang kehidupan yang modern, dan dapat menata kehidupan melalui lapangan pekerjaan.

Begitu pun hasil dari pendidikan yang diharapkan, yakni melahirkan manusia yang mampu mengkatualisasikan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki dalam segala aspek kehidupan.

Daftar Referensi

Hidayanti, P. N. Y., Sa’diyah, M., & Bahy, M. B. A. (2022). Hakikat Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun. Islamadina: Jurnal Pemikiran Islam, 23(2), 207–222.

Hidayat, Y. (2019). Pendidikan dalam Perspektif Ibnu Khaldun. Pangandaran: STITNU Al-Farabi. Pangandaran.

Nurainiah, N. (2019). PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF IBNU KHALDUN. Serambi Tarbawi, 7(1).

Roji, F., & El Husarri, I. (2021). The Concept of Islamic Education According to Ibn Sina and Ibn Khaldun. Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam, 4(2), 320–341.

Zubair, N. F., & Syafi’i, I. (2022). Sistem Pendidikan Islam Menurut Pandangan Ideal Ibnu Khaldun: Implikasinya terhadap Corak Pendidikan Islam Kontemporer. TARBAWI, 10(2), 117–130.

Editor: Marjuki Al Mujakir

Heri Bayu Dwi Prabowo
2 posts

About author
Mahasiswa ngapak asal Banyumas yang sedang menjalani studi tingkat lanjut Magister di UIN Sunan Kalijaga, konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam. Untuk berhubungan langsung dengannya bisa melalui akun medsos ig: @heribdp; fb: Heri Bdp; blog: herybdp.blogspot.com.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds