Oleh Mu’arif
RUU Pesantren akhirnya disahkan di tengah gejolak demonstrasi para mahasiswa yang mulai sadar dari tidur panjang. Setelah melewati beberapa kajian akademik maupun publik. Memang terdapat rumusan definisi dan butir-butir pasal yang sangat tidak menguntungkan bagi sebagian pihak, tetapi sebaliknya sangat menguntungkan bagi pihak lain.
Selama ini Muhammadiyah memang lebih akrab dengan kultur sekolah. Tetapi jangan lupa, sejak awal perintisan Muhammadiyah, bukan hanya sekolah saja yang menjadi bidang garapan organisasi Islam modernis ini. Sejak 1918, Muhammadiyah telah mendirikan pondok pesantren yang langsung diinisiasi oleh sang pendirinya, KH. Ahmad Dahlan. Tetapi pondok pesantren Muhammadiyah berbeda dengan umumnya pondok pesantren salaf pada waktu itu.
Pondok Pesantren Muhammadiyah
Pada sekitar tahun 1970-an, kajian-kajian penelitian tentang Islam di Indonesia memang telah mengerucut pada dua model keislaman: tradisionalis dan modernis. Kelompok tradisionalis direpresentasikan oleh organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Dan modernis direpresentasikan oleh Muhammadiyah. Identitas model keislaman keduanya dikuatkan dengan model institusi pendidikan masing-masing: NU dengan pesantrennya dan Muhammadiyah dengan sekolahnya. Tetapi peta kajian keislaman di Indonesia sudah berubah. Sebab, tidak hanya Muhammadiyah yang mengelola sekolah, tetapi NU pun saat ini sudah memiliki lembaga pendidikan modern bernama sekolah.
Sebaliknya, tidak hanya NU yang mengelola pesantren, tetapi Muhammadiyah pun kini menghidupkan kembali pendidikan Islam berbasis pesantren. Melihat fenomena semacam ini, lalu muncul pertanyaan, apakah gerakan Muhammadiyah di bidang pendidikan telah tercerabut dari akarnya ketika kembali melirik model pendidikan pesantren?
Secara tegas harus dijawab: tidak! Melacak akar historis lembaga pendidikan pesantren di Muhammadiyah sebenarnya sudah dimulai sejak masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan. Memang model sekolah modern yang menjadi program utama Muhammadiyah generasi awal. Terbukti, dari empat departemen yang dibentuk pertama kali di Muhammadiyah (1920), terdapat Departemen Pengajaran (Bagian Sekolahan) yang dikomandani oleh Haji Hisyam.
***
Lewat departemen inilah program pengembangan sekolah Muhammadiyah berkembang pesat. Namun perlu disadari, bahwa sejak 1918, ketika kebutuhan akan tenaga guru agama di sekolah-sekolah Muhammadiyah semakin mendesak, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Al-Qismul Arqa, sebuah kelas khusus yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Dari Al-Qismul Arqainilah yang menurut H.Mh. Mawardi (1977) sebagai cikal bakal Pondok Pesantren Muhammadiyah, para santrinya mondokdi asrama (internaat).
Informasi tentang pendirian Pondok Pesantren Muhammadiyah sejak zaman KH. Ahmad Dahlan bukan sekedar klaim dari internal Muhammadiyah. Tetapi peneliti dari luar (outsider) juga telah mengakui keberadaan lembaga pendidikan berbasis pondok pesantren di Muhammadiyah. Seperti Karel A. Steenbrink dalam penelitiannya, Pesantren, Madrasah, Sekolah(1986: 55). Ia menyebutkan bahwa pada tanggal 8 Desember 1921, Muhammadiyah telah mendirikan Pondok Muhammadiyah sebagai lembaga pendidikan khusus yang mencetak para guru agama.
Baca juga: Mencari Spiritualitas, Hijrah ke Salafi: Mengapa Bukan ke Tasawuf, NU atau Muhammadiyah?
Steenbrink memang tidak berhasil melacak bagaimana awal proses transformasi lembaga pendidikan pesantren di Muhammadiyah ini sejak pertama kali didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Pondok Muhammadiyah inilah yang semula bernama Al-Qismul Arqa. Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun 1923, Pondok Muhammadiyah berubah menjadi Kweekschool Muhammadiyah, lalu berubah pada tahun 1932 menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah.
Konsep Pesantren Muhammadiyah Beda Dengan Salaf
Sesungguhnya, Pondok Muhammadiyah yang didirikan tahun 1921 berbeda modelnya dengan pondok pesantren salaf pada umumnya. Sekalipun materi yang diajarkan seluruhnya tentang agama Islam dan menggunakan sistem pondokan (internaat). Tetapi manajemen dan kurikulum yang diterapkan berbeda sama sekali dengan pondok pesantren salaf pada waktu itu. Berdasarkan penelitian Zamakhsyari Dhofier (2011: 79), paling tidak elemen-elemen utama pondok pesantren salaf meliputi: pondokan, masjid, pengajian kitab kuning, santri, dan kehadiran sosok kyai.
Pondokan berfungsi sebagai penginapan dan sekaligus sarana belajar yang diintegrasikan dalam kultur pondok. Masjid menjadi simbol dan sekaligus tempat mengaji para santri. Kitab kuning menjadi sumber utama ilmu pengetahuan. Santri berperan sebagai siswa atau pencari ilmu. Adapun sang kyai memegang otoritas penuh kepemimpinan pondok pesantren dan menjadi guru utama yang menjadi sumber ilmu pengetahuan.
Berbeda dengan pondok pesantren salaf pada waktu itu, Pondok Muhammadiyah sekalipun memiliki pondokan (internaat), masjid, dan santri, tetapi tidak sekedar mengajarkan kitab kuning. Di Pondok Muhammadiyah, selain belajar kitab-kitab kuning juga diajarkan kitab-kitab dari para ulama khalaf. Bahkan buku-buku yang ditulis oleh para sarjana modern dari Barat menjadi rujukan dalam proses pembelajaran.
Di Pondok Muhammadiyah tidak ada figur sang kyai dengan otoritas sentral, tetapi peran ini telah digeser oleh struktur dan sistem modern dengan menempatkan pucuk pimpinan pondok sebagai “Direktur” (Mudir) yang mengelola manajemen lembaga pendidikan.
Standardisasi Pesantren
Ketika kembali melirik model pondok pesantren, sebenarnya konsepsi Muhammadiyah tentang lembaga pendidikan Islam ini berbeda jauh dengan konsepsi pondok pesantren seperti yang dirumuskan dalam RUU Pesantren. Spirit pembaruan (tajdid) tetap tampak dalam setiap amal usaha Muhammadiyah, baik dalam bidang kesehatan, pelayanan sosial, pendidikan modern, termasuk pondok pesantren. Belakangan ini, munculnya gagasan standardisasi lembaga pendidikan pesantren menjadi relevan dalam konteks pembaruan pendidikan Islam alaMuhammadiyah.
Tulisan saudara Muhbib Abdul Wahab dengan judul “Standardisasi Pendidikan Pesantren” (Republika, 20/10) tentunya cukup relevan dalam konteks ini. Menurut sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah ini, tantangan dan kompetisi global yang kian kompleks dan berat menuntut setiap lembaga pendidikan, baik sekolah, madrasah, maupun pesantren untuk dapat menghasilkan outputsumber daya manusia yang berkualitas.
Dengan standardisasi sistem pendidikan pesantren, maka proses penyelenggaraan pendidikan akan lebih visioner, memiliki tata kelola yang baik, kredibel, akuntabel, dan transparan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik (masyarakat) terhadap lembaga pendidikan ini. Maka Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah menawarkan konsep baru “Pesantren Berkemajuan” sebagai model dan sekaligus identitas lembaga pendidikan berbasis agama yang diusung oleh Muhammadiyah saat ini.
Dengan demikian, berdasarkan tinjauan sejarah, sebenarnya Muhammadiyah menyelenggarakan lembaga pendidikan pondok pesantren masih memiliki akar historis yang cukup kokoh. Memang dalam perkembangannya, Muhammadiyah lebih fokus pada pengembangan model sekolah modern. Akan tetapi, sejak pertama kali Muhammadiyah berdiri, sudah muncul cikal bakal lembaga pendidikan pesantren yang dikelola secara khusus dan terbatas.
Upaya Muhammadiyah memodernisasi lembaga pendidikan pesantren merupakan langkah yang tepat dan sudah dalam koridor yang benar sebagai organisasi pembaru. Sekalipun saat ini Muhammadiyah melirik pengembangan lembaga pendidikan pesantren, namun organisasi ini tetap menawarkan konsep-konsep pembaruan (tajdid) untuk menjawab tantangan zaman dan kebutuhan umat Islam.