Inspiring

Mohammad Hasim Kamali: Hak dan Keadilan dalam Islam

3 Mins read

Dalam kajian beberapa orientalis atau Islamologis Barat, ada pendapat-pendapat yang memandang negatif mengenai hubungan syariah dengan demokrasi dan hak-hak fundamental.

Dalam kacamata mereka, Islam tidak mengakui hak individu apa pun. Misalnya saja, Hamilton Gibb dalam Constitutional Organization (1950) mengatakan bahwa teori pemerintahan Islam tidak memberi kepada warga negara tempat atau fungsi apa pun kecuali sebagai pembayar pajak dan subjek yang submisif.

Selain itu, Henry Siegman dalam tulisannya The State and Individual (1964) menegaskan bahwa tidak mungkin ada abstraksi seperti hak individu dalam Islam.

Singkat kata, hukum Islam dianggap hanya mengenal sistem kewajiban. Pendapat-pendapat tersebut, jelas menunjukkan bayangan suram para orientalis tersebut mengenai hubungan Islam dengan demokrasi. Karena itu, memandang negatif prospek demokrasi, masyarakat sipil, dan pemerintahan konstitusional dalam Islam.

Hak sebagai Bagian Integral Keadilan dalam Islam

Beberapa pendapat orientalis di atas, mendapat tanggapan yang serius dari seorang sarjana Islam, yaitu Mohammad Hasim Kamali. Kamali merupakan seorang pakar hukum internasional, yang menyelesaikan pendidikan pada bidang sarjana hukum di Universitas Kabul, kemudian jenjang master dan doktor diselesaikan pada bidang yang sama di Universitas London.

Dalam karyanya, yakni Freedom, Equality and Justice in Islam (2002), Kamali berpendapat bahwa dalam Islam, apa yang disebut sebagai keadilan korektif dan retributif pada dasarnya adalah implementasi hak dan kewajiban yang berimbang. Sebab itu, pengadilan dan lembaga hukum berperan untuk menjamin adanya pemulihan dan penyelesaian hukum ketika keseimbangan tersebut terganggu.

Dari pendapat Kamali tersebut, tentu dapat disimpulkan bahwa Kamali membantah pendapat-pendapat yang menyebut bahwa Islam hanya mengenal ‘sistem kewajiban’ dan menegasikan apa yang disebut sebagai ‘hak’.

Dalam bukunya yang lain, Membumikan Syariah: Pergulatan Mengaktualkan Islam (edisi terjemahan,2013), Kamali kembali menegaskan titik berdirinya tesebut, bahwa apa yang disebut dengan keadilan, tidak dapat berjalan bila hanya terdiri dari kewajiban tanpa pengakuan atas hak.

Baca Juga  Kalis Mardiasih: Masalah Kesetaraan Gender Bertalian dengan Kemiskinan

Dalam bukunya tersebut (2013), Kamali menyebut bahwa keadilan dalam Islam merupakan matriks hak dan kewajiban. Secara umumnya, keadilan dipahami sebagai menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang benar, dan dalam konteks syariah, dipahami sebagai memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.

Konsepsi Keadilan dalam Al-Qur’an

Kamali menegaskan bahwa Islam mempunyai komitmen yang total terhadap keadilan. Bahkan, konsepsi keadilan dalam Al-Qur’an tidaklah kaku, karena terbuka dengan berbagai pertimbangan.

Kamali mencontohkan, jukstaposisi di banyak tempat dalam Al-Qur’an tentang konsep-konsep seperti makruf (patut, wajar, sesuai kebiasaan) dan ihsan (kesetaraan, melakukan yang baik) berjajar dengan adl (keadilan).

Al-Qur’an dan sunah juga mengintegrasikan firasah dan pertimbangan kebijaksanaan yang adil (siyasah syar’iyyah) ke dalam visinya tentang keadilan.

Lebih jauh lagi, syariah memvalidasi ijtihad bi’l-ra’y (putusan hukum berdasarkan opini) sebagai dasar pengambilan keputusan ketika tidak ada teks yang jelas. Misalnya saja, ketika seorang hakim memutus atas dasar ijtihad, ia tidak hanya mengandalkan pemahamannya atas syariah, namun juga hati nurani, wawasan, dan pengalamannya.

Hal tersebut, sepadan dengan mengatakan bahwa kesetaraan dan keadilan merupakan unsur penting baik dalam ijtihad maupun adl dalam Islam.

Keadilan terutama diselenggarakan di bawah supremasi hukum, syariah, dan setiap orang dimintai pertanggungjawaban dengan standar-standar tertentu. Hal ini terintegrasi dalam konsepsi Al-Qur’an tentang masyarakat yang taat hukum, atau ummah.

Uraian-uraian di atas, berangkat dari pemikiran Kamali, tentu relevan dijadikan sebagai antitesis bagi pendapat yang menyebut bahwa tradisi Islam tidak akan kondusif bagi perkembangan demokrasi, konstitusionalisme hak individu, dan sebagainya. Akan tetapi, Kamali pun menyadari ada perbedaan-perbedaan antara konsepsi Islam, misalnya saja tentang hak, bila dibandingkan konsepsi Barat.

Baca Juga  Pengajian Progresif: Boleh Mengejar Akhirat, Tapi Jangan Lupa Dunia

Hak dan Kebebasan dalam Islam

Ada poin-poin penting dari pemikiran Kamali mengenai hak dan kebebasan dalam Islam, yang menemukan relevansinya bagi perkembangan dan kondusifitas sistem demokrasi. Meski di sini, Kamali (2013) pun menyadari bahwa tidak ada konsensus tentang definisi dasar mengenai hak dalam wacana keislaman.

Kata “haqq” dalam Al-Qur’an ditemukan di beberapa tempat dan mengandung beragam makna. Mencakup keadilan, yang benar ketimbang yang salah, klaim hukum, suatu kewajiban, sesuatu yang terbukti dan bagian yang telah ditentukan.

Dalam tulisannya, yakni Freedom of Expression in Islam (Fundamental Rights and Liberties in Islam) (1997), Kamali berkesimpulan bahwa komitmen Islam pada keadilan dan advokasinya bagi martabat manusia tidak akan berjalan tanpa pengakuan atas hak.

Menurut Kamali (2013), dalam Al-Qur’an dan sunah terdapat hak individu, hak atas keadilan, hak atas kesetaraan dan lain-lain.

Misalnya saja dalam soal hak untuk memilih agama atau terkait dengan kemerdekaan dalam beragama. Al-Qur’an secara tegas mengatakan “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)” (QS 2: 256). Ketegasan Al-Qur’an mengenai hak beragama ini terdapat juga dalam ayat-ayat lain, seperti QS. 10: 99, QS. 18: 29, QS. 109: 6.

Selain itu, menurut Kamali (2013), Al-Qur’an pun berbicara tentang hisbah. Hisbah yaitu mendorong kebaikan dan mencegah kemungkaran (amr bi’l ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar).

Menerima sebagai sesuatu yang niscaya bahwa seorang individu memiliki kemerdekaan dasar berbicara, bertindak, atau diam, menghormati tujuan yang baik, atau melawan kemungkaran (QS. 3: 104, QS. 3: 110, QS 22: 41). Nabi pun mempertegas hal tersebut dengan beberapa hadis.

Dalam nada yang sama, prinsip Al-Qur’an tentang syura (konsultasi) (QS. 3: 159, QS. 42: 38) dalam urusan kemasyarakatan, dan prinsip paralelnya tentang nasihah (nasihat yang tulus) (QS. 9: 91, QS. 7: 68) yang memberi kepada individu kemerdekaan untuk menyampaikan nasihat, bahkan mengkritisi orang lain, termasuk pemerintahan, juga bersumber dari sikap tegas Al-Qur’an tentang kemerdekaan berekspresi.

Baca Juga  Srikandi Aisyiyah di Karangturi

Tentu ada sumber syariah lainnya yang bicara lebih eksplisit mengenai kemerdekaan individu untuk mengkritisi pemerintahan dan sebagainya.

Saya rasa, dua poin di atas, mengenai kemerdekaan beragama dan hak untuk mengkritisi pemerintah, yang merupakan bagian dari semangat berekspresi dalam Islam, akan bisa berjalan dengan semangat demokrasi dan konstitusionalisme. Dengan kalimat lain, dapat mendukung perkembangan dan kondusifitas iklim demokrasi.

Editor: Lely N

Avatar
1420 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…
Inspiring

Beda Karakter Empat Sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

4 Mins read
Ketika berbicara tentang sosok-sosok terdekat Nabi Muhammad SAW, empat sahabat yang paling sering disebut adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman…
Inspiring

Spiritualitas Kemanusiaan Seyyed Hossein Nasr

3 Mins read
Islam memiliki keterikatan tali yang erat dengan intelektual dan spiritual. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat dan merupakan dua bagian realitas yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds