Poligami memang menjadi topik yang selalu menjadi perdebatan sejak berabad abad lamanya. Sampai dalam beberapa waktu terkahir topik ini kembali hangat di perbincangkan di muka publik seiring dengan viralnya penanyi religi yang kabarnya akan bersedia menjadi istri kedua dan siap dipoligami.
Ketika membincang poligami, umumnya para ulama akan berangkat dari sudut pandang Al-Qur’an tentang poligami. Namun demikian, walaupun semua ulama berangkat dari dasar pemikiran yang sama, tetapi kaesimpulan yang dihasilkan cenderung beragam, bahkan kadang tak jarang bertolak belakang.
Di antara ayat Al-Qur’an yang sering menjadi legitimasi poligami dalam Islam adalah surah Al-Nisa’: 3.
“Jika kamu (para pengasuh anak anak yatim) khawatir tidak bisa bertindak adil (manakala kamu ingin mengawini mereka) maka nikahilah perempuan perempuan yang kamu senangi dari perempuan perempuan lain sebanyak dua, tiga, atau empat. Lalu jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka, maka seorang saja atau budak budak yang kamu miliki,…”.
Ayat ini di samping menjadi legitimasi juga menjadi argumentasi bagi beberapa ulama yang kontra tarhadap poligami. Dalam pandangan mereka ayat ini justru menunjukkan betapa tidak mungkinnya seorang laki laki berbuat adil kepada banyak istri.
Jadi, ayat ini dalam pandangan ulama yang kontra poligami justru bukan untuk menunjukkan kebolehkan poligami melainkan untuk menegaskan ketidakmungkinan berpoligami. Untuk mengukuhkan argumentasinya, biasanya kelompok yang kontra poligami ini biasanya mengutip ayat lain, yaitu surah Al-Nisa’: 129.
Ayat inilah yang umumnya kerap menjadi titik pijak para ulama dalam membicarakan poligami dalam persfektif Islam. Dalam menafsirkan surah Al-Nisa’ ayat 3 ini para ulama setidaknya bisa kita bagi menjadi dua kelompok:
Pertama, Ulama Klasik
Pada umumnya, ulama klasik tidak mempersoalkan kebolehan berpoligami. Mereka hanya berselisih mengenai jumlah perempuan yang boleh dinikahi laki laki dalam waktu bersamaan. Misalnya ulama Zhahiriyah dan sebagian kelompok syiah berpendapat poligami boleh dilakukan dengan lebih dari empat perempuan. Pandangan ini didasarkan pada surah Al-Nisa’ 3.
Ulama Zhahiriyah dalam menafsirkan lafadz Al-Nisa’ dalam ayat ini, mengatakan bahwa lafadz ini merupakan kata umum (amm) yang tidak bisa di spesifikasi dengan angka (matsna, tsulasa, ruba’). Angka ini disebutkan untuk menujukkan bahwa laki laki diperbolehkan menikah dengan banyak perempuan.
Karena itu, jika ada hadis ahad yang membatasi jumlah perempuan yang boleh dinikahi menjadi empat, itu tidak bisa diterima. Sebab, hukum Al-Qur’an tidak bisa dibatasi dengan hadis ahad. Ibnu Abdul Barr dalam penjelasannya, menambahakan bahwa hadis yang membatasi penikahan dengen empat itu perempuan itu mengandung cacat walaupun ia diriwayatkan dari berbagai jalur.
Merekapun menambahkan bahwa huruf waw yang mengentarai matsna, tsulasa, ruba’ menunjukkan pada makna penjumlahan (al jam’u al mutlaq) bukan pada pemilihan (al takhyir). karena itu, dalam menurut ulama ini, jumlah perempuan yang boleh dinikahi bukan hanya empat tapi bisa sembilan perempuan.
***
Dalam pandangan yang berbeda, jumhur ulama yang berpandangan bahwa poligami dapat diperbolehakan dalam batas maksimal empat istri. Pendapat ini merujuk pada kata ruba’ dalam Surah Al Nisa ayat 3. Dalam menjelaskan huruf waw yang mengantarai “matsna wa tsulasa wa ruba” berbeda dengan Ulama syiah yang menagrtikan “waw” sebagai lil Mutlaq ala al Jami’. Maka jumhur ulama mengartikan huruf waw dengan li al takhyir (pemilihan).
Ini jelas memiliki konsekusensi hukum berbeda, jika “waw” diartikan sebagai lil mutlaq ala al Jami’ berakibat pada kebolehan menikahi 18 perempuan dalam satu waktu. Maka dengan mengartikan “waw” sebagai lil takhyir berarti batas maksimal poligami adalah empat perempuan.
Pada intinya, ulama klasik masih memberi kelonggaran terkait poligami dengan catatan mampu berlaku adil. Demikian pentingya keadilan ditegakkan dalam keluarga poligami, Mahmud Thaahir Ibn Asyur berkata:
“Jika poligami tidak tegak diatas fondasi keadilan, maka bangunan keluarga akan rusak, fitnah dalam keluarga tidak terelakkan. Istri Isri akan membangkang pada suaminya. Anak anak akan mendurhakai ayahnya dengan menayakiti istri istri dan anak anak ayahnya yang lain”
Kedua, Pandangan Pemikir Modern Kontemporer
Dalam beragam tafsir klasik terhadap ayat poligami, hampir tidak ada ulama yang berkata secara tegas tentang pelarangan poligami. Ini bukan hanya karena poligami terkait dengan dokrin melainkan juga terkait dengan tradisi yang berkembang saat itu. Jauh dari era di mana perempuan menuntut kesetaraan gender, maka agak susah membayangkan lahirnya suatu pandangan yang menolak poligami. Yang maksimal mereka katakan adalah kemungkinan untuk meminimalkan jumlah perempuan yang dipoligami. Poligami yang tidak bersendikan keadilan harus ditinggalkan.
Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al–Mannar-nya, adalah ulama yang cukup keras menolak poligami. Sebab menurutnya, di dalam poligami terkandung kemafsadatan. Poligami bisa debolehkan jika kondisinya sudah sangat darurat, tetapi tetap dijalankam dengan prinsip keadilan.
Dalam perkembangannya, pendapat Muhammad Abduh tentang poligami banyak diikuti oleh murid-murid dan pengikutnya. Qosim Amin adalah salah satu pengikut Abduh yang cukup tegas menolak poligami. Dalam Tahrir al Mar’ah wa al Mar’ah al Jadidah–nyamengatakan:
“Poligami sangat merendahkan perempuan, anda tidak akan menjumpai seorang perempuan yang tega berbagi suami dengan perempuan lain, sebagaimanan anda tidak akan menjumpai seorang laki laki yang tega berbagi istri dengan orang lain… Dalam kondisi bagaimanapun, setiap perempan yang menghargai dirinya sendiri pasti akan sakit hati ketika melihat suaminya punya “hubungan khusus” dengan perempuan lain. Dari Al-Qur’an (Al-Nisa’ ayat 3) jelas bahwa wajibnya mengambil satu istri dengan alasan: seuami tidak bisa berbuat adil kepada istri istrinya. Lalu ditegaskan (melaui QS. Al-Nisa’ ayat 129) bahwa kealdilan yang dimaksud berada diluar kemampuan manusia. Maka siapakan yang bisa berbuat adil jika ketika ditetapkan bahwa keadilan itu tida bisa dicapai. Seandainya orang yang merenungkan dua ayat ini mengambil hukum tentang keharaman poligami, maka hukum itu tidak akan jauh dari dari substansi dua ayat ini sekalipun hadis dan apa yang dipraktkkan Nabi telah datang dengan membuka kemungkinan bolehnya berpoligami”.
***
Fazlur Rahman seorang pemikir progresif dari Pakistan, dalam bukunya yang berjudul “Islam” mengungkapkan wacana yang cukup terbilang berani untuk masanya. Menurut Rahman, pernikahan yang sebenernya diinginkan Islam adalah monogami. Sedangkan penerimaan Al-Qur’an terhadap pranata poligami harus dilihat dari ketidakmungkinan untuk menghapus poligami di saat itu juga, mengingat poligami telah mengakar kuat dalam struktur masyarakat Arab pada masa Nabi. Yang dituju Al-Qur’an dengan memperketat aturan poligami adalah pelarangan poligami.
Menurut Rahman jika lingkungan sosial telah memungkinkan untuk melarang poligami, maka pelarangan itu perlu dilakukan. Dengan kata lain, dibukanya pintu yang ketat untuk poligami walau dengan syarat yang ketat merupakan keputusan sementara Al-Qur’an karena situasinya sangat tidak memungkinkan
Namun dalam konteks Indonesia sendiri, poligami masih tetap diperbolehkan. Ini bisa kita lihat dalam undang-undang tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang masih membuka kemungkinan dilakukannya poligami dengan sejumlah persyaratan yang terbilang cukup ketat.
Editor: Yahya FR