Beberapa tahun silam, Buya Syafi’i Ma’arif pernah berujar, “Kebobrokan bangsa ini hampir sempurna. Mulai Departemen Pendidikan yang mengurusi masalah otak bangsa hingga Departemen Agama yang menangani hati bangsa serta Departemen Kesehatan yang mengurusi fisik bangsa, semuanya terjangkiti penyakit korupsi.”
Korupsi yang Membudaya
Dering lonceng peringatan Buya Syafi’i terkesan hiperbolik, tapi fakta bahwa bangsa ini telah terjangkiti kanker korupsi tidak terbantahkan sama sekali.
Korupsi memang menampakkan wajah paradoks. Dalam sebuah negeri yang mendaku mengagungkan agama dan Pancasila, korupsi seolah menemukan habitatnya.
Korupsi telah dan sedang berlangsung secara massif, sistemik, dan tersturuktur dalam sistem sosial, politik, dan kemasyarakatan di Indonesia. Hampir tidak ada sisi kehidupan yang kedap korupsi. Penyebabnya adalah tradisi upeti, birokrasi, dan sistem pengupahan yang tidak rasional.
Lantaran membudaya, korupsi mempunyai daya imunitas atas setiap kemauan politik yang memberantasnya.
Gerakan zero tolerance korupsi seakan melawan kanker ganas yang sulit disembuhkan. Berpuluh-puluh tahun melawan korupsi, tetapi akarnya tidak tercerabut sama sekali.
Korupsi di Era Orde Baru
Era rezim Orde Baru misalnya. Beberapa tahun setelah Presiden Soeharto memegang tampuk kekuasaan, tahun 1970 terbentuk Komisi Empat yang beranggotakan Prof. Johannes, IJ Kasimo, Anwar Tjokroaminoto, dan Wilopo.
Mohammad Hatta duduk sebagai penasihat. Namun, Komisi Empat hanya bertugas menyampaikan saran. Tidak memiliki kewenangan yuridis memeriksa dan menyelidik seorang yang terduga korupsi.
Komisi Empat tidak upahnya macan ompong; sekadar memberi masukan, tapi tidak bisa berbuat banyak. Maka menurut Mohammad Hatta, yang termashur hidup bersahaja, untuk memberantas korupsi, ketegasan presiden dan keteladanan elite menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa itu semua, korupsi tetap bercokol dan membuncah.
Perang melawan korupsi dikobarkan di mana-mana. Pengalaman masa silam dan kemauan politik mewujudkan tata pemerintahan bersih dan baik telah melahirkan KPK yang kini tampak ‘lumpuh’. Beberapa pejabat dan politisi korup telah ditangkap dan dipenjara.
Di samping itu, pendidikan anti-korupsi juga diintrodusir di beberapa perguruan tinggi dan sekolah. Bahkan, keinginan untuk memasukkan kurikulum anti-korupsi yang akan disisipkan beberapa mata pelajaran tertentu.
Para agamawan pun turut terpanggil menangani problem pelik ini. Khutbah perlawanan terhadap korupsi juga mulai menggema di masjid dan tempat-tempat ibadah.
Buku Koruptor itu Kafir
Buku berjudul Koruptor itu Kafir ini menghadirkan telaah fiqih anti-Korupsi Islam yang dipresentasikan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Sebagai kajian keilmuan Islam aplikatif, fiqih tidak mengenal istilah korupsi per se.
Ada beberapa istilah fiqih yang memiliki benang merah dengan unsur-unsur korupsi antara lain: ghulul (penggelapan harta), risywah (suap), ghasab dan sariqah (pencurian), intikab (perampasan), serta aklu suht (makan harta haram) (hlm. 18).
Menelisik berbagai modus operandinya korupsi memang lebih dasyat ketimbang beberapa istilah fiqih di atas yang lebih ‘menitik-beratkan’ pada domain privat.
Korupsi tidak sekadar penggelapan harta dan pencurian biasa. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang terjadi lantaran penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang mengakibatkan kebangkrutan dan kemelaratan rakyat. Korupsi menunjukkan kedekatan kejahatan ini dengan kejahatan menyangkut maliyah (harta benda) yang termaktub dalam kitab-kitab fiqih (hlm. 128).
Analogi Korupsi dengan Pencurian
Menganalogikankan korupsi dengan pencurian misalnya, sebenarnya memenuhi ketentuan qiyas (analogi) dalam tradisi ushul fiqh. Qiyas mengandaikan adanya kesamaan ‘illat (karateristik utama).
Mencuri dan korupsi memiliki kesamaan ‘illat yaitu tindakan mengambil harta yang bukan miliknya. Korupsi termasuk tindak kejahatan pencurian. Kalau pencurian berhukum dosa besar, maka begitu pula korupsi.
Sebuah hadis menandaskan bahwa pencuri tidak mungkin mencuri dalam keadaan beriman. Dengan demikian, hadis tersebut bisa diqiyaskan bahwa koruptor tidak mungkin melakukan korupsi dalam keadaan beriman. Maka bisa ditarik konklusi (natijah) bahwa koruptor itu kafir, tidak beriman kepada Tuhan.
Sikap NU kepada Koruptor
Dalam Munas Alim Ulama NU tahun 2002, para ulama NU menyarankan tidak menshalati jenazah koruptor yang terbukti secara hukum melakukan korupsi.
Dasarnya, Nabi Muhammad enggan menshalati seorang sahabat yang wafat dalam Perang Khaibar karena terbukti mencuri harta rampasan perang (hlm. 138).
Setali tiga uang, bagi Muhammadiyah korupsi adalah syirik, dosa besar yang tidak terampuni, karena tidak menyakini Allah sebagai Tuhan, tetapi uang sebagai sumber kekuatan, the power of money.
Koruptor itu Kafir?
Beratnya sanksi moral-keagamaan bagi koruptor merupakan bentuk respons agama atas problem faktual. Fiqih terbukti menyediakan piranti lunak memahami korupsi dalam perspektif kejahatan luar biasa serta pelakunya dipandang kafir.
Yang patut dinanti adalah implementasi fiqih anti-korupsi dalam seluruh aspek kehidupan sehingga tidak sekadar wacana kosong belaka.
Diakui atau tidak, gerakan melawan korupsi masih artifisial, belum ideologis, dan timbul-tenggelam tergantung kepentingan politik. Korupsi acapkali terjadi dalam kondisi “tahu sama tahu” karena begitu mudahnya manusia Indonesia korupsi-mengkorupsi. Korupsi juga masih dipandang dalam kacamata hukum konvensional sehingga para pelakunya tetap berhak mendapatkan remisi.
Fatwa koruptor itu kafir dan syirik yang berimplikasi keharaman menshalati jenazah koruptor mengelorakan spirit keagamaan perlawanan terhadap korupsi.
Muara buku ini cuma satu: negeri ini sembuh dari kanker ganas korupsi yang mendarah-daging. Pertanyaannya, mengapa fatwa keagamaan tersebut tidak diimplementasikan?
Judul Buku: Koruptor Itu Kafir
Penulis: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dan Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
Editor: Bambang Widjoyanto, Abdul Malik, Laode M. Syarif
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, September 2010
Tebal: Iii+194 halaman
ISBN: 9788-602-96864-2-4
Editor: Yahya FR