Perspektif

Krisis Cita-cita dan Merosotnya Etos Bangsa

4 Mins read

“Apa cita-cita kalian?” Saya menanyakan pertanyaan sederhana itu pada murid-murid saya di pesantren sekitar setahun yang lalu. Anak-anak usia SMP-SMA. Jawaban yang saya dapat adalah mereka yang hanya terdiam, saling memandang, dan saling tersenyum satu sama lain.

Saya ingat, pertanyaan itu bukan hanya sekadar pertanyaan, tetapi sekaligus saya janjikan hadiah untuk anak yang mau menjawab. Traktir jajan senilai Rp 5.000 (itu sudah lumayan untuk anak pesantren yang jarang memegang uang). Kendatipun demikian, tidak satu pun di antara mereka yang berniat menjawab pertanyaan yang seharusnya tidak perlu berpikir untuk menjawabnya itu.

Ini bukan kuis yang untuk menjawabnya butuh wawasan yang luas, banyak bacaan, atau tingkat pengetahuan yang baik. Ini adalah pertanyaan yang jawabannya pasti benar dan pasti mendapat hadiah Rp 5.000.

Saat itu saya berpikir betapa anak-anak muda kita mengalami sebuah krisis yang cukup mengerikan. Krisis cita-cita.

Kenyataan bahwa saat itu tidak ada anak yang mau menjawab pertanyaan saya, mengarah kepada beberapa kemungkinan. Entah mereka punya cita-cita dan malu untuk mengatakannya, atau mereka takut ditertawakan temannya, atau mungkin memang tidak punya cita-cita sama sekali.

Belajar dari Serial Anime

Saya yang suka menonton anime merasa ada yang salah dengan itu. Pasalnya, di serial-serial anime yang saya tonton, karakter dengan pencapaian-pencapaian tinggi di usia muda selalu lantang dan percaya diri meneriakkan cita-citanya. Misalnya Uzumaki Naruto di serial Naruto. Sejak kecil dia punya cita-cita ingin menjadi hokage.

Dia selalu mengungkapkan cita-citanya setiap memperkenalkan diri entah pada siapa pun. Dia mengikuti akademi ninja untuk  mengembangkan bakat dan minatnya. Kemudian di perjalanan menggapai cita-citanya, dia bertemu dengan seorang guru bernama Jiraya yang mau membantunya menjadi lebih kuat. Alhasil, di umurnya yang baru 27 tahun dia diangkat menjadi hokage (kades).

Baca Juga  Habib Ja'far: Pentingnya Visi bagi Anak Muda

Kemudian, Monkey D Luffy di serial One Piece. Dia terkenal dengan moto hidup “Ore wa kaizoku ou ni naru otoko da!” (Aku adalah pria yang akan menjadi raja bajak laut!). Cita-citanya terinspirasi oleh seorang bajak laut hebat bernama Aka Gami no Shanks yang pernah menyelamatkan hidupnya semasa kanak-kanak.

Di usia 17 tahun, dia memulai petualangannya sebagai seorang bajak laut. Dan pada usia 19 tahun, dia sudah mencapai langkah-langkah besar menuju cita-citanya tersebut. Mengalahkan beberapa sichibukai,  menyelamatkan banyak pulau (kita tidak perlu membahas kenapa bajak laut perlu menyelamatkan pulau karena memang begitu jalan ceritanya), mengacau markas para yonkou (empat kaisar laut), sampai diisukan menjadi kaisar laut kelima. Namanya terdengar di seantero dunia One Piece.

Belajar dari Para Kesatria Islam

Di dunia nyata ada Sultan Muhammad Al-Fatih yang sejak kecil diarahkan untuk bercita-cita menaklukkan Konstantinopel. Segala pendidikan yang didapat Sultan Muhammad sejak kecil disiapkan oleh orang tuanya untuk mengarah kepada satu cita-cita itu. Dipilihkannya dia guru-guru terbaik, diajarkan taktik berperang, hingga diterjunkan dalam dunia politik. Maka di usia yang baru 21 tahun, beliau berhasil meraih kemenangan yang gilang gemilang atas Konstantinopel.

Ada lagi, Salahuddin Al-Ayyubi yang dikisahkan ketika beliau sedang bermain bersama temannya saat masih kecil, beliau didatangi oleh ayahnya. Diseretnya beliau oleh ayahnya yang saat itu dalam keadaan marah. Kemudian beliau didorong hingga terjatuh ke tanah. Ayahnya berkata, “Seorang yang akan membebaskan Al-Quds tidak boleh menghabiskan waktu terlalu banyak untuk bermain-main!”

Salahuddin kecil yang jatuh tersungkur di tanah menatap ke mata ayahnya. Kemudian ayahnya bertanya, “Kenapa kamu tidak menangis?”

Beliau menjawab, “Seorang yang akan membebaskan Al-Quds tidak boleh menangis.” Dari didikan yang penuh disiplin tersebut, di kemudian hari muncullah nama Salahuddin sebagai seorang penakluk Al-Quds.

Baca Juga  Generasi Muslim Milenial sebagai Pelopor Moderasi Beragama

Dari kisah-kisah di atas, kita bisa melihat seperti apa kekuatan dari sebuah cita-cita. Bahwa pencapaian-pencapaian besar yang didapat seseorang di usia muda berhubungan dengan sejak kapan dia mulai bercita-cita.

Keuntungan Memiliki Cita-cita

Lagi pula meski orang sering tidak menyadari, punya cita-cita juga bisa memberi keuntungan-keuntungan tersendiri bagi pemiliknya. Setidaknya ada dua keuntungan yang saya ketahui setelah mempunyai cita-cita.

Pertama, orang yang mempunyai cita-cita akan punya arah pada apa-apa yang dilakukan. Contohnya di sekolah. Sebagaimana yang banyak pakar katakan, bahwa kurikulum sekolah di Indonesia mempunyai begitu banyak kekurangan, di antaranya pada soal tujuan. Hingga saat ini, saya masih belum tahu kenapa di masa SD, SMP, maupun SMA, saya mempelajari begitu banyak pelajaran yang di kehidupan tak pernah saya pakai? Entah itu matematika, IPA, IPS, PPKn, atau apapun itu.

Orang yang belum punya cita-cita akan belajar keras, mengejar nilai di semua pelajaran, mengerjakan semua PR, dan mendapat ranking, untuk kemudian suatu hari sadar bahwa semua itu tidak dia perlukan. Setelah menjalani hidup yang sebenarnya, dia tidak pernah lagi ditanya soal pelajaran-pelajaran itu.

Sementara orang yang punya cita-cita akan lebih memilih untuk mengambil pelajaran yang  membantunya meraih cita-cita dan apa yang memang akan berguna untuk masa depan, meski harus mengabaikan soal pelajaran lain ataupun soal omong kosong ranking. Karena dia punya cita-cita yang dia anggap lebih penting dari segalanya, maka pelajaran yang tidak ada hubungan dengan cita-citanya menjadi tidak penting.

Kedua, orang yang punya cita-cita akan lebih percaya diri dalam menjalani hidup.

Tentu ada kasus-kasus siswa yang kurang dalam nilai akademisnya, merasa minder di hadapan orang lain. Merasa dia tidak pintar, kemudian bakatnya tertutup oleh rasa minder itu. Nah, yang dilakukan orang yang punya cita-cita adalah fokus pada bakatnya, maka tidak akan jadi masalah dan dia tidak merasa perlu untuk malu jika dia punya nilai jelek dalam beberapa pelajaran, asalkan dia bisa terus mengasah bakatnya.

Baca Juga  Menghadapi Virus dan Wabah, Manusia Harus Menang!

Dan saya yakin masih ada lagi keuntungan lainnya dari memiliki cita-cita itu, hanya saja saya malas untuk menuliskan lebih banyak.

Pentingnya Cita-cita

Di sisi lain, ada yang tak kalah penting dari cita-cita itu sendiri, yaitu support ataupun fasilitas dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Bisa berupa inspirasi, seperti Shanks yang menyelamatkan nyawa Luffy, atau berupa bimbingan seperti Jiraya yang melatih Naruto. Atau mungkin fasilitas dan arahan seperti yang didapat Sultan Muhammad Al-Ftih dari ayahnya. Bahkan kalau perlu bisa dengan didikan keras yang diterapkan pada Salahuddin Al-Ayyubi.

Namun, betapa banyak fenomena di sekitar kita menunjukkan hal yang sebaliknya. Instansi-instansi pendidikan yang hanya peduli soal pelajaran tanpa mengajarkan bagaimana murid fokus pada cita-citanya, orang tua yang menyekolahkan tanpa pernah bertanya apa cita-cita anaknya, orang tua yang memaksakan anaknya menjalani suatu cita-cita yang menurut mereka bagus untuk masa depan meskipun si anak tidak cocok dengan itu, murid-murid dibebani dengan berbagai ujian tulis yang belum tentu setiap guru bisa mengerjakannya dan entah apa kegunaannya, dan tentu masih banyak fenomena yang menghambat anak-anak muda dari menemukan cita-citanya.

Terakhir, tugas kita bukan memaksa agar anak-anak mempunyai cita-cita. Yang mana cita-cita tentu masih berupa sesuatu yang abstrak bagi sebagian mereka. Kita hanya perlu mengarahkan mereka dan memberitahukan bahwa bercita-cita itu sesuatu yang menyenangkan dan memiliki berbagai keuntungan, karena baik agama maupun bangsa membutuhkan anak muda yang punya cita-cita.

Editor: Lely N

Anwar Khamdan
1 posts

About author
Pengajar Ponpes
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds