Sebuah kenyataan yang pahit dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan beragama. Di mana, telah terjadi krisis karakter bangsa. Secara faktual, krisis karakter bukan karena bodoh, jumud, taklid buta, dan keterbelakangan mental. Namun, dikarenakan minus kesadaran imani.
Begitu banyak sosok yang pintar tapi mintari. Banyak yang memakai “asesoris” agamis tapi tidak berbanding lurus dengan laku hidup agamis. Banyak yang menjadi public figure tapi tidak memiliki keteladanan yang autentik.
Semua fenomena di atas menegaskan, bahwa telah terjadi ketidakpastian jati diri dan karakter bangsa yang bermuara pada: (1) disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa. (2) Terbatasnya perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila. (3) Bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (4) Memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa. (5) Terjadinya ancaman disintegrasi bangsa dan melemahnya kemandirian bangsa (Syarbini, 2016: 51).
Krisis karakter bangsa terjadi secara multiaspek. Tidak ada yang perlu ‘ditunjuk’ batang hidungnya; tidak perlu dicari ‘kambing hitamnya’. Tidak perlu saling menegasi klaim kebenaran, serta menjustifikasi kesalahan pada pihak yang dianggap lawan. Karena kesadaran kebersamaan sebagai warga bangsa menjadi awal memperbaiki benang kusut persoalan bangsa saat ini.
Pendidikan Karakter Sebagai Solusi
Pendidikan karakter adalah menjadi solusi penting dalam membenahi kerapuhan moral, kepincangan etika dan krisis karakter akhlak mulia. Dalam hal ini dapat juga disebutkan bahwa: (1) Pendidikan karakter merupakan hal yang sangat esensial dalam rangka menumbuhkan, menjaga, dan merawat karakter bangsa. Sebab, hilangnya karakter menyebabkan hilangnya generasi bangsa. (2) Pendidikan karakter berperan sebagai “kemudi” dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing (Syarbini, 2016: 52).
Kesadaran imani, yakni kesadaran yang dilandasi oleh iman. Iman adalah keyakinan dan pendirian kita dalam menjalani hidup. Keyakinan dan pendirian yang tersimpul dalam kalimat tauhid, la ilaha illa Allah, ‘tidak ada tuhan selain Allah’ (Ali, 2002: 122).
Kesadaran imani tidak cukup hanya membaca dua kalimat syahadat saja, tanpa mengimplementasikannya pada perilaku public. Kesadaran imani tidak hanya mengetahui dalil dan dalih yang bersifat dogma Kitab Suci tanpa bertransformasi dalam kehidupan riil penganut agama. Kesadaran imani tidak cukup hanya tampak khusyuk dalam ibadah ritual namun tidak berbanding lurus dengan ibadah sosial-kemanusiaan.
Apabila kesadaran imani (spiritualitas baru) menjadi nilai-nilai yang lekat pada setiap pribadi warga bangsa dan umat beragama, tentu krisis karakter bangsa akan berlahan-lahan pulih dari krisis di segala aspek kehidupan saat ini.
Budaya Hidup dalam Normal Baru
Adapun jati diri bangsa yang dipadu dengan kesadaran imani yang harus menjadi budaya hidup pada normal baru adalah:
Pertama, spirit meningkatkan ketakwaan dan bergaul dalam lingkungan yang baik sesama orang yang benar akhlaknya (karakter mulia). Seperti pesan sinyal langit dalam Al-Qur’an melalui firman Sang Maha Cinta Agung:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah {4}: 199)
Kedua, budaya malu sebagai akhlak publik. Malu dalam pengetian malu melakukan kejahatan, kemaksiatan, dosa, dan amoral lainnya. Sebab, malu merupakan autentisitas keimanan seseorang di hadirat Allah. Seperti sabda Sang Pembawa Risalah Cinta Agung dalam haditsnya:
“Rasa malu dan iman itu sebenarnya terpadu menjadi satu maka bilamana lenyap salah satunya hilang pulalah yang lain.” (Hadits)
“Malu adalah sebagian daripada iman.” (Muttafaq’alaih)
Ketiga, membudayakan kehidupan harmonis dengan orang lain, seperti tetangga, warga masyarakat, sesama umat beragama, antar pemeluk agama, serta sesama warga bangsa. Sebagaimana sabda Sang Pembawa Risalah Cinta Agung:
“Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Seorang hamba bertanya: ‘Siapa dia ya Rasulullah?’ Jawab Nabi Saw: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.’” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya, dan bangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbicara yang baik, (kalau tidak dapat) hendaklah diam saja.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, gemar membantu dan bekerja sama dalam kebaikan. Seperti firman Sang Pembawa Risalah Cinta Agung dalam sabdanya:
“Barangsiapa memudahkan kesulitan saudaranya niscaya Allah akan memudahkan jalannya ke surga.” (HR. Muslim).
Kelima, membudayakan sikap welas asih dan empati, atau peduli dengan nilai kemanusiaan. Sebagaimana sabda Sang Pembawa Risalah Cinta Agung:
“Tidak beriman dengan baik kepadaku orang yang bermalam dengan perut kenyang, padahal tetangganya berbaring dalam keadaan lapar, sedang ia mengetahui keadaan tetangganya itu.” (HR. Al-Bazar).
***
Dari uraian di atas, maka konklusi yang dapat diambil adalah, bahwa krisis karakter bangsa telah terjadi disegala lini dan aspek kehidupan. Salah satu solusinya adalah dengan memadukan jati diri bangsa dan kesadaran imani kepada semua warga bangsa.
Budaya yang mesti dilakukan bersama adalah: meningkatkan ketakwaan dan bergaul dengan benar, budaya malu dalam berbuat maksiat/dosa, budaya hidup harmonis antar sesama, gemar membantu dan bekerja sama, dan membudayakan sikap welas asih, empati pada nilai kemanusiaan.
Apabila hal-hal sederhana itu bisa kita lakukan bersama, tentu krisis karakter bangsa akan selesai secara berlahan. Sebab, krisis karakter bangsa saat ini akibat tidak sinergisnya pengamalan nilai ajaran agama dengan jati diri bangsa. Semoga era “spiritualitas baru” memandu kita menjadi manusia autentik. Wallahua’lam bishshawab.
Editor: Yahya F