Oleh: Zainuddin Maliki
Politik di negara kita, akhir-akhir ini tampaknya sedang mengarah ke arah turbulensi. Saluran politik konvensional dinilai buntu, sehingga mendorong munculnya gerakan protes melalui jalur nonkonvensional. Ribuan mahasiswa turun ke jalan. Berawal dari isu kebakaran hutan lalu berkembang kepada penolakan penetapan RUU KPK, RUU KUHP, RUU Pertanahan dan RUU Ketanagakerjaan yang dikebut untuk disahkan oleh DPR periode 2014-2019.
Masyarakat Reaksioner
Tampaknya belakangan muncul berbagai kekuatan reformis, reaksioner maupun kekuatan yang berangkat dari semangat kelompok, etnis, dan juga kepentingan tertentu. Bangsa yang berakar pada keanekaragaman, sejauh ini telah berupaya untuk bersatu di tengah perbedaan dan keanekaragaman. Banyak yang tanpa mengenal lelah meneriakkan semboyan NKRI harga mati, dan bhineka tunggal ika.
Namun masih saja muncul prasangka, sikap saling curiga, beberapa di antaranya saling berusaha memusnahkan seperti terlihat dalam kericuhan saat berlangsung demonstrasi di Jakarta maupun sejumlah kota lainnya. Masing-masing siap dengan segala macam alat-alat pemusnah mulai dari senjata tajam, pentungan, batu, peluru karet.
Munculnya institusi para-militer yang ada selama ini juga tak bisa dilepaskan dari masih tingginya prasangka di balik keanekaragaman sosial politik kita. Seperti juga di sejumlah negara berkembang, di negeri ini juga muncul para-militer atau semacam milisi yang dibentuk sejumlah organisasi massa dan partai politik. Menyusul organisasi para militer seperti Banser, Kokam, Garda Bangsa ada juga Satgas Cakra Buana PDI-P, Gerakan Pemuda Ka’bah dari milisi partai, Lasykar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Front Hisbullah dari milisi Islam.
Kelompok Kristen misalnya juga memunculkan Lasykar Yesus Kelelawar Hitam menghadapi insiden di Poso, dan sejumlah lasykar Kristen di daerah-daerah konÂflik Islam-Kristen di Ambon dan Maluku Utara 1999. Rakyat Irian Jaya membentuk milisi, meski tak dipersenjatai, seperti Satgas Papua Merdeka yang mengorganisir diri mirip organisasi militer. Menarik pada era ini juga muncul para-militer atau milisi yang pemÂbentukannya tidak atas dasar alasan politik, melainkan ekonomi.
Di Mataram misÂalÂnya, tahun 1999 muncul Milisi Bujak dan Amphibi. Bujak meÂlengÂkapi puluhan ribu anggotanya dengan senjata dan handy talkie untuk memburu para penjarah dan maling-maling ternak. Lihat Henk Schulte Nordholt dkk, edt., Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor, 2007.
Situasi seolah mengubah karakÂteristik bangsa Indonesia, yang sebelumnya selalu mengklaim diri sebagai bangsa terhormat, ramah dan santun, tiba-tiba kemudian lebih menggambarÂkan apa yang disebut Thomas Hobbes, man’s natural state is the war of “every one against every one.”
Demokrasi Predator
Tentu kita tidak ingin terjadi apa yang digambarkan Barrington Moore JR (1973) Indonesia menghadapi benturan antara kekuatan reakÂsioner, revolusioner dan reformis dengan semangat saling menghancurkan. Kalau ini yang terjadi bisa memunculkan demokrasi predator (predatory democracy).
Menurut Moore, sebagaimana diÂkuÂtip Muis, predatory democracy ditandai dengan ciri-ciri bloody chaos and collapse of natioÂnal authority to the point where human life mainly a war of all against all with tiny islands of law and order under the control of strong men waging vendettas against each other.
Bangsa Indonesia sejak reformasi terus menerus menjumÂpai begitu banyak gangguan tertib sosial, berupa konflik dan bahkan perang saudara —perang antar agama Islam-Kristen di Ambon (2011), antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah (2001), pertumÂpahan darah di tanah Aceh, berbagai macam kerusuhan, pembakaran, pengeboman, teror dan praktek kriminalitas di berbagai tempat.
Keadaan semakin memburuk ketika tidak ada kekuatan efektif yang dapat menghentikan segala macam bentuk anarkisme tersebut. Elite politik, terkesan tidak melakukan langkah-langkah efektif dalam memecahkan masalah. Intrik, kebohongan, kecurangan dan kekerasan justru merebak.
Bangsa Indonesia lalu benar-benar dihadapkan kepada krisis sosial dan turbulensi politik, diÂtandai dengan anÂcaman disintegrasi, kriminalitas, teror, tindak kekerasan —baik individual mauÂÂpun kelompok— yang dipicu sentimen kepentingan ekonomi, politik, etnis dan bahkan juga sentimen keagamaan.
Francis Fukuyama menyatakan bahwa dalam rangka membangun kehiÂdupÂan bersama, tidak saja membutuhkan modal fisik seperti tanah bangunan, meÂsin, mauÂpun modal sumberdaya manusia seperti skill dan pengetahuan, melainkan juga memÂbutuhÂkan apa yang disebutnya dengan modal sosial.
Fukuyama meÂnyatakan:Â Social capital can be deÂfined simply as a set of informal values or norms shared among members of group that perÂmits cooperation among them. If a membesr of the group come to expect that others will behave reliably and honestly, then they will come to “trust” one another. Trust is like a lubricant that makes the running of any group or organization more efficient.
Jadi untuk bisa keluar dari turbulensi politik dan menghentikan praktik predatory democracy bangsa ini memerlukan modal sosial, terutama trust atau kepercayaan untuk dijadikan landasan terbentuknya sebuah nation state yang di dalamnya seÂtiap warga dapat berÂsikap jujur, dapat dipercaya satu dihadapan yang lain. Oleh karena itu modal sosial, trust, sesuatu yang amat kita butuhÂkan harus dicegah dari kemerosotan. Masyarakat kita terutama yang berada pada lapisan elite politik dan governing elite harus memperkaya jiwa, jauhi miskin hati, dan rakus kekuasaan.
Sebaliknya bangun setinggi-tinggi rasa empati kepada rakyat dan seluruh warga negara, untuk Indonesia jaya dan berkemajuan.
*Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surabaya