Sejarawan Kuntowijoyo (1943-2005) bertutur, “Dengan sejarah, kita belajar jatuh cinta”. Kalimah Kunto tersebut punya makna mendalam tentang pentingnya setiap generasi mengingat sejarahnya sendiri. Kunto hendak menandaskan bahwa sejarah sungguh bukan sekadar kronologi peristiwa belaka, melainkan juga kandungan nilai-nilai spiritual dan transformatif. Melalui sejarah, manusia dapat terhubung dengan masa lalu, masa kini dan masa depan, melalui sejarah tumbuh rasa cinta terhadap organisasi ini. Di sisi inilah, manusia membutuhkan kesadaran sejarah.
Peradaban Indonesia sendiri sesungguhnya dibangun oleh kaum muda yang memahami identitas sejarah bangsa ini. Menurut Sartono Kartosudirdjo (1987) kesadaran sejarah telah turut memacu dan memotivasi generasi muda untuk ikut berperan dalam membangun bangsa berdasar pada prinsip dan idealisme nasionalnya.
Kesadaran sejarah tampak dibutuhkan oleh para kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Di titik inilah kita menemukan fakta sekaligus masalah, bahwa para kader IMM di ambang persoalan buta sejarah (history blind). Persoalan buta sejarah pada gilirannya merubuhkan bangunan kesadaran IMM, persis dengan ungkapan aktivis kulit hitam Jamaika Marcus Garvey (1887-1940): “Peradaban tanpa pengetahuan sejarah, asal-usul dan kebudayaannya tumbuh seperti pohon tanpa akar, mudah tumbang.”.
Mengapa Kader IMM Krisis Kesadaran Sejarah?
Banyak tesis yang dapat diajukan untuk menjawab masalah krisis kesadaran sejarah. Pertama, generasi muda (termasuk) IMM tampak tengah mengalami apa yang disebut Anthony Giddens (1990) sebagai gejala disembedding, situasi dimana masyarakat dibombardir oleh beragam informasi baru yang cenderung mengabaikan sejarah sebab dianggap tidak lagi relevan dengan dinamika global saat ini. Masyarakat kemudian tercerabut dari sejarah lokalnya, lantas fokus pada dinamika global.
Kedua, menyusutnya kesadaran sejarah kader IMM ialah akibat dari ketiadaan pendidikan sejarah yang relevan dan menarik dengan zaman. Kendati dalam beberapa momentum terdapat upaya pendidikan sejarah melalui diskusi organisasi, namun tampak proses pengajaran sejarah tersebut belum berdampak signifikan bagi bangunan kesadaran sejarah kader IMM.
Ketiga, merosotnya kesadaran sejarah kader IMM ialah akibat dari minimnya literatur sejarah yang relevan. Beberapa literatur sejarah IMM patut diapresiasi, seperti buku Melacak Sejarah IMM (1997) karya Nur Chozin Agam, Kelahiran yang Dipersoalkan (1990) karya Farid Fathoni serta karya sejarah lain. Kendati demikian, literatur tersebut memerlukan pembaharuan, utamanya pada aspek pendekatan penelitian sejarah.
Krisis kesadaran sejarah IMM bukanlah sekadar persoalan individual belaka, melainkan juga persoalan sistemik yang mengganggu keberlanjutan masa depan organisasi itu sendiri. Hilangnya kesadaran sejarah kader IMM sejurus dengan erosi identitas kolektif, kita lantas kehilangan koneksi dengan nilai-nilai dasar yang membentuk eksistensi IMM di masa lalu.
Membangun Kesadaran Sejarah IMM
Dalam forum Refleksi Milad IMM yang diselenggarakan oleh DPD IMM DIY tahun 2023 silam, Sejarawan Muhammadiyah, Muarif mendorong keterlibatan kader IMM untuk kembali membaca ulang dinamika perkembangan IMM di setiap lintasan zaman, utamanya dalam rangka menanggapi perubahan budaya yang belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Melalui kesadaran sejarah IMM itulah, menurut Mu’arif, maka IMM akan menemukan makna baru, arti penting kehadiran organisasi ini di era disrupsi.
Kendati tak mudah, upaya untuk terus membangun kesadaran sejarah IMM harus terus diupayakan. Ijtihad membangun kesadaran sejarah tersebut memerlukan langkah-langkah strategis: Pertama, pembaharuan literatur sejarah. Kerja memperbaharui literatur sejarah IMM jelas bukanlah proyek sekali jadi, ia adalah ikhtiar intelektual yang tekun juga membutuhkan pendekatan sistematis guna memastikan bahwa literatur sejarah tersebut bisa lebih akurat dan relavan dengan generasi masa kini. Di wilayah praktis dibutuhkan upaya pengumpulan data yang relevan, peninjauan kembali literatur-literatur lama dan penggunaan perspektif multidisiplin.
Kedua, membangun praktik pendidikan sejarah. Proses pendidikan sejarah dimulai dari program pelatihan dan seminar yang dapat meriwayatkan dinamika perjalanan organisasi. Namun dalam hal ini, pelatihan yang dimaksud bukanlah sekadar ceramah monolog yang sekadar menceritakan tanggal-tanggal penting atau sekadar nama-nama besar di masa lalu.
Ketiga, IMM penting merancang kegiatan pendidikan sejarah secara langsung, seperti kegiatan napak tilas sejarah. Napak tilas dalam hal ini bukanlah dipandang sekadar sebagai perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan emosional dan intelektual yang dapat menghubungkan setiap kader dengan nilai-nilai luhur yang ditorehkan para pendahulu.
Catatan Akhir
Pendidikan sejarah di dalam organisasi bukanlah semata guna membawa kita ke belakang sejarah masa lalu. Pendidikan sejarah tersebut dalam rangka sekelebat kembali ke riwayat masa lalu, untuk memaknai masa kini, saat yang sama dalam rangka memproyeksikan masa depan. Sejarah dalam hal ini serupa anak panah yang dilepaskan dari busurnya, ia melesat ke arah masa depan ditentukan oleh kekuatan tarikan ke belakang.
Lebih dari itu, ijtihad untuk mempelajari sejarah diharapkan dapat melahirkan aktor-aktor sejarah masa depan. Secara demikian, maka sejarah bukanlah semata halafan tentang kronologi dan peristiwa masa lampau, melainkan juga kerja untuk melahirkan aktor sejarah. Mereka yang kelak akan menjadi aktor sejarah dalam ikatan ini ialah mereka yang memahami, membaca pola, memahami konteks dan menyadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab historis untuk mewarnai babak sejarah selanjutnya.
Editor: Soleh