Meyintesiskan Akal dan Tradisi
Ibn Taymiyah adalah seorang pemikir dan pejuang Islam yang beraliran salafi. Bahkan ia dianggap sebagai pendiri aliran salafi selain Ibn Hanbal. Pemikirannya secara umum terinspirasi oleh mazhab Hanabilah, karena ia menghabiskan sebagian besar pendidikannya dalam lingkungan mazhab ini.
Ibn Taymiyah berupaya untuk menyintesiskan pengetahuan yang bersumber dari akal, tradisi yang bersumber dari naql, dan doktrin iradah ke dalam konstruk doktrin yang kokoh yang biasa disebut “reformisme konservatif”.
Dalam wilayah dogma, Ibn Taymiyah memfokuskan pada mengikuti Al-Qur’an dan sunah. Karena dengan keduanya, kita bisa mengenal Tuhan sebagaimana Tuhan mendeskripsikan Dirinya sendiri dalam kitab-Nya, dan sebagaimana Nabi Saw mendeskripsikan Tuhan dalam sunahnya.
Sekilas tentang Ibnu Taymiyah
Ibn Taymiyah dilahirkan pada tanggal 10 Rabi’ al-Awwal 661 H/22 Januari 1263 M di kota Harran dekat Damaskus. Ayahnya, Shaykh Shihab al-Din, adalah seorang alim di kalangan bangsanya.
Ia mengajar dan memberikan petunjuk dan fatwa di masjid Jami’ Damaskus. Kakeknya, Majd al-Din merupakan seorang alim dan fakih mazhab Hanabilah pada masanya. Dalam lingkungan keluarga yang demikian, memungkinkan Ibn Taymiyah menuntut ilmu sejak usia dini.
Di usianya yang relatif muda, ia telah hafal Al-Qur’an. Setelah itu ia mulai mempelajari hadis, fikih, Bahasa, dan ilmu pasti. Ia dengan tekun mempelajari fikih Hanbali, karena ayahnya termasuk pemuka mazhab itu.
Pada kesempatan lain, ia mendalami ilmu tafsir dan akidah. Ia dibesarkan dalam lingkungan intelektual murni. Mayoritas komunitas di sekitar lingkungan tersebut menekuni berbagai bidang keilmuan, seperti fikih dan juga ilmu-ilmu agama lainnya.
Bahkan di antara keluarganya telah mencapai puncak dalam karier keilmuan yang sekaligus menjadikannya meraih reputasi di dunia Islam.
Sudah jelas diketahui bahwa Ibn Taymiyah adalah seorang pemikir dan pejuang Islam yang beraliran salafi. Sebagai seorang yang menganut manhaj salafi, Ibn Taymiyah terkenal dengan seruannya untuk mengajak kaum muslimin kembali kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah. Seraya menolak keras manhaj atau mazhab pikir lain yang dianggapnya bukan berasal dari ajaran Islam yang murni. Yakni Islam pada masa Nabi dan masa al-salaf al-salih.
Katakter Mazhab Salafi
Secara garis besar, kita ketahui bahwa karakter manhaj salafi di antaranya adalah:
Pertama, mencukupkan diri pada Al-Qur’an dan sunah. Kaidah ini mengandung beberapa implikasi, di antaranya: pertama, keselamatan hidup hanya bisa dicapai dengan jalan iman.
Kita beramal sesuai dengan apa yang datang dari keduanya. Kedua, wajib mendahulukan syara’ di atas akal. Jika keduanya bertentangan walaupun dalam kenyataannya, pada hakikatnya keduanya tidak mungkin bertentangan.
Kedua, tidak memasuki dunia pemikiran kalam dan falsafah dan hanya berpegang pada Kitab dan sunah Nabi dalam menjelaskan dan memahami persoalan-persoalan akidah. Ini mengandung pengertian menolak adanya bid’ah.
Di antara yang ditolak adalah Ilmu Kalam. Penolakan ini bukan karena kelemahan atau kebodohan yang dikandungnya, melainkan karena ilmu itu dipandang sebagai ilmu yang berdiri di atas dasar ilmu yang jauh dari manhaj pada zaman Nabi Muhammad dan sahabatnya.
Ketiga, sahabat adalah generasi setelah Rasulullah yang paling mengetahui masalah-masalah akidah. Perkataan dan penafsirannya pada nash menjadi hujjah bagi kaum Muslim.
Keempat, menerima setiap yang datang dari wahyu disertai pemahaman akal yang benar dan tidak memasuki masalah-masalah gaib yang akal tidak mempunyai tempat baginya. Kaum salaf bukan menafikan peran akal sebagaimana yang dituduhkan oleh ahli kalam.
Kaum salaf meyakini, wahyu datangnya dari Allah, sementara akal adalah salah satu di antara makhluk-Nya, keduanya tidak mungkin bertentangan.
Di bidang pemikiran Kalam, Ibn Taymiyah banyak mengkritik beberapa kalangan Asy’ariyah yang dipandangnya bertentangan satu sama lain. Kritiknya pada kalangan Asy’ariyah ini membuatnya berkeyakinan bahwa ilmu tersusun di atas dasar-dasar ilmu yang asing dari manhaj pikir pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Alih-alih asing, ia memasukkan ilmu kalam pada ilmu yang tercela.
Dalam bidang tasawuf, Ibn Taymiyah, sebagaimana telah disinggung di atas, terkenal dengan penolakannya yang keras pada beberapa doktrin atau paham tasawuf yang dikembangkan oleh sementara sufi. Di antara doktrin atau paham tasawuf yang mendapat kritik serius dari Ibn Taymiyah adalah paham wahdat al-wujud.
Kritik kepada Ibnu Arabi
Sufi yang sering disebut-sebut sebagai pendiri paham wahdat al-wujud ini adalah Muhy al-Din Ibn Arabi. Doktrin ini selalu dikaitkan dengan tokoh sufi besar ini.
Jauh sebelum Ibnu Arabi datang, doktrin ini sudah diajarkan sufi-sufi yang lain, seperti Ma‘ruf al-Karkhi (w. 200/815) yang mempunyai ungkapan syahadat: Tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah.
Demikian juga Abu al-Abbas Qassab (hidup pada abad ke-4/ke-10) mengungkapkan kata-kata senada: Tiada sesuatupun dalam dua dunia kecuali Tuhanku, segala sesuatu yang ada, segala sesuatu selain wujudnya adalah tiada.
Ibn Taymiyah menolak paham ini, karena pemahamannya terhadap doktrin wahdat al-wujud ini berbeda dengan pemahaman Ibn Arabi dan para pengikutnya. Menurut Ibn Taymiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam.
Dalam istilah modern sinonim dengan panteisme. Ibn Taymiyah mengatakan mereka yang berpegang pada wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud adalah satu, dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh Tuhan adalah sama dengan mumkin al-wujud yang dimiliki makhluk.
Dengan demikian, kritik Ibn Taymiyah ini muncul karena ia hanya melihat aspek tasyabuh (penyamaan Tuhan dengan makhluknya) dari paham wahdat al-wujud, dan sama sekali tidak melihat aspek tanzih (penyucian Tuhan dari keserupaan dengan makhluknya) dari paham yang sama.
Padahal, kedua aspek ini berpadu menjadi satu dalam ajaran Ibn Arabi. Bahkan menurut Ibn Taymiyah, paham yang menganggap wujud Tuhan menyatu dengan wujud makhluknya adalah suatu bentuk pengingkaran bagi Tuhan, bentuk kekufuran dan kesyirikan padanya.
Baginya, kesatuan dua zat adalah mustahil terjadi. Zat Allah adalah tetap sebagai zat-nya sebagaimana zat makhluk adalah zatnya tersendiri. Keduanya tetap berbeda dan tidak akan menyatu. Allah adalah Allah sebagaimana jelas dalam kitab maupun hadis Rasul.
Tidak salah jika dikatakan bahwa model tasawuf yang ditawarkan Ibn Taymiyah adalah model tasawuf yang ukuran utamanya adalah apa yang telah digariskan oleh syariah.
Kesesuaian antara tasawuf dan syariah ini merupakan ciri pokok model tasawufnya. Lebih dari itu, jika syariah merupakan langkah awal perjalanan spiritual bagi para sufi, sebaliknya bagi Ibn Taymiyah, syariah merupakan tujuan akhir bagi tasawuf.
Menurutnya, kualitas kesalehan seseorang tidak lagi diukur dari segi pengalaman mistisnya, tetapi dari segi kualitas kemurnian moralnya seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan al-sunah.
Editor: Rozy