Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan gerakan ortodoksnya. Melalui banyak tulisannya, dia ingin menyucikan kehidupan religius dan mereformasi masyarakat Minangkabau sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai seorang legalis sejati, dia tidak merasakan apa-apa selain penghinaan terhadap apa yang dia anggap sebagai “pertobatan yang setengah hati”. Dia dengan ‘marah’ menyerang tarekat dan sistem pewarisan matrilineal.
Praktik keagamaan tarekat baginya sesat, dia juga menyerang Tarekat Naqsyabandiah, yang ajaran dan doktrinnya secara umum dianggap sebagai salah satu yang paling dekat dengan arus utama doktrin ortodoks. Pada tahun 1904, langkah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi secara “radikal” diikuti oleh Haji Yahya dari Solok. Dengan menentang wewenang penghulu, dengan cara mendesak masyarakat untuk meninggalkan warisan adat mereka. Akibat gejolak sosial yang yang muncul karena adanya anjuran ini membuat pemerintah (Belanda) mengasingkan Haji Yahya (Sanusi, 2018).
Kritik yang lebih tajam terhadap Tarekat Naqsyabandiyah disuarakan oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, pada tahun 1906-1908 al-Minangkabawi menulis tiga risalah yang yang berisi tantangan terhadap Tarekat Naqsyabandiyah. Judul tiga risalah ini memang tampak provokatif, yaitu: izhar zaghl al-kadzibin fii tasyabbuhimin bi al-shadiqin (membongkar kepalsuan para penipu yang berkedok kebenaran), al-Ayat al-bayyinat li al-munshifin fi ‘izzati khurafat ba’dh al-muta’assibin (bukti-bukti nyata untuk orang-orang shaleh demi membasmi ketakhayulan orang-orang fanatic tertentu), dan al-Saif al-battar fii mahq kalimat ba’dh ahl-ightirar (pedang penebas yang memberantas ucapan orang-orang tertentu yang berlaku congkak).
***
Dalam ketiga risalah tersebut, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi merutuk ajaran-ajaran, amalan-amalan utama Tarekat Naqsyasbandiyah sebagai bid’ah dan syirik. Polemik anti-Naqsyabandiyah yang disulutkannya sampai pada tahun 1981, sebagaimana dicatat oleh Van Bruinessen, masih terdapat pendukung-pendukung tarekat tersebut yang berusaha menyanggah berbagai tuduhan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Nasuhi, 2020).
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau menekankan bahwa tarekat yang benar yaitu tarekat masa Nabi Muhammad ﷺ, sahabat, dan ulama-ulama terdahulu yang mengedepankan syariat dalam tarekat. Hal ini berbeda dengan tarekat pada saat itu di Minangkabau yang lebih direduksi makna dan pengamalannya dalam bentuk baiat dan wirid yang diajarkan guru mursyid kepada muridnya tanpa memperhatikan dan melalui ilmu-ilmu syariat. Bahkan ia menambahkan bahwa pada masanya tarekat dijadikan alat untuk memupuk harta dan kekayaan dunia.
Dengan mengutip pendapat Imam Sya’rani dalam kitab al-Minan al-Kubra, ia mengatakan bahwa seorang guru mursyid tidak dibenarkan mengajarkan ilmu tarekat apabila ia tidak memiliki keilmuan yang luas dalam bidang syariat. Pendapat ulama sufi besar tersebut diambil terkait banyaknya para guru-guru tarekat pada zaman Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi ketika menerima murid yang berkeinginan masuk tarekat tidak diseleksi ilmu syariatnya, seperti fardh ‘ain (Ilyas, 2017).
***
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi juga menjawab atas lima pertanyaan dari para muridnya, yaitu: Pertama, Tarekat Naqsyabandiyah di alam Minangkabau dimasukkan dalam tarekat yang dilakukan Nabi Muhammad ﷺ, apabila para guru tarekat mengajarkan lebih dahulu ilmu agama yang mencakup tauhid, fikih dan tasawuf. Tanpa hal tersebut, maka Tarekat Naqsyabandiyah dianggap bid’ah. Kedua, zikir-zikir yang terdapat dalam Tarekat Naqsyabandiyah tidak sampai sanadnya kepada Nabi Muhammad ﷺ, seperti zikir isim zat, lathâ if asyar dan lainnya, kecuali zikir talqin zikir. Ketiga, tidak mengkonsumsi daging selama persulukan menyalahi sumber Islam dalam hal makanan.
Keempat, Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya tidak melakukan amaliyah Tarekat Naqsyabandiyah. Kelima, rabithah yang terdapat dalam Tarekat Naqsyabandiyah tidak memiliki dasar hukum sama sekali. Di akhir kitab ini, Syekh al-Minangkabawi melampirkan tiga pendapat ulama Mekkah yang terkemuka yang menolak otoritas Tarekat Naqsyabandiyah: Syekh Muhammad Said Bafashil, mufti mazhab Syâfi’i, Syekh Abdul Karim Dagistan, dan Syekh Syu’aib ‘Abdurrahman al-Shadiqi dalam mazhab Maliki(Ilyas, 2017).
Kitab Izhar dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawimenuai pro dan kontra dalam kalangan ulama Minangkabau. Sementara ulama, terutama yang tergolong kepada kaum pembaharu, menyampaikan sokongannya. Tidak sedikit pula ulama yang membantah pendapat Syekh Ahmad Khatib tersebut. Dua tokoh ulama yang menyampaikan bantahan terhadap Izhar zaghlin kadzibin yaitu Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka Payakumbuh (w. 1920) dan Syekh Muhammad Khatib ‘Ali (w. 1938).
***
Syekh Muhammad Sa’ad menulis kitab yang berjudul Irgham unufil muta’annitin fi-inkarihim rabithah al-washilin (meremukkan hidung penantang yang mengingkari rabithah orang-orang yang telah “sampai” kepada Allah), sedangkan Syekh Muhammad Khatib Ali menulis Miftahus shadiqiyyah fi-ishtilahi al-naqsyabandiyah (kunci kebenaran mengenai istilah-istilah Thariqat Naqsyabandiyah). Karangan Syekh Muhammad Sa’ad sampai di Mekkah, kemudian mendapat balasan dari Syekh Ahmad Khatib berupa karangan yang berjudul al-Ayat al-bayyinat lil munshifin (bukti-bukti yang nyata bagi orang yang insaf).
Balasan dari Syekh Ahmad Khatib ini diterima oleh Syekh Muhammad Sa’ad dan ia menulis bantahannya lagi dengan kitab yang berjudul Tanbihul Awam ‘ala Thaghrirat ba’dhil anam (peringatan bagi orang awam terhadap kerancuan sebagian orang). Kitab ini dicetak di Padang pada 1910. Karangan Syekh Muhammad Khatib Ali dibantah oleh murid Syekh Ahmad Khatib yaitu Haji Rasul di Maninjau (ayah dari Hamka) dengan sebuah karangan yang berjudul al-Suyuf al-Qati’ah fi-dawa’il kadzibah (pedang pemotong dakwah-dakwah yang dusta). Bantahan ini dicetak pada De Voltherding (Padang) pada 1327H (Putra, 2017).
Dengan demikian, dinamika intelektual antara ulama di Minangkabau pada awal abad 20 dimulai dengan polemik mengenai Tarekat Naqsyabandiyah. Meksipun hidup dalam suasana pergolakan pemikiran, ulama-ulama Minangkabau tetap sebagai ulama panutan. Pertentangan faham tidak membawa mereka terpecah secara sosial masyarakat. Boleh saja mereka kasar dalam tulisan, namun ketika duduk bersama, mereka tetap rukun dan akrab. Perbedaan pendapat dipandang sebagai suatu yang lazim. Perbedaan itu membawa kepada kematangan intelektual.
Editor: Soleh