Inspiring

Syekh Abdul Latif Syakur, Ulama Produktif dari Minangkabau

3 Mins read

Pada tulisan kali ini, mari kita belokkan tulisan menuju sebuah kampung di daratan Minangkabau, tepatnya di Nagari Ampek Angkek, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam. Pada abad 19-20, hidup seorang ulama yang sangat produktif. Ulama yang mendukung kemajuan bagi perempuan. Ulama yang berjuang untuk memberi pencerahan kepada umat melalui karya-karya beliau yang luar biasa. Beliau adalah Syekh Abdul Latif Syakur. Beliau lahir pada tanggal 15 agustus 1882, dan meninggal di RS M. Jamil Padang pada 13 juni 1963.

Produktivitas Syekh Abdul Latif Syakur

Tidak seperti ulama lain yang hidup semasa dengan beliau, yang serius dalam menanggapi masalah khilafiyah. Beliau lebih cenderung untuk menarik diri dan sibuk menyusun kurikulum pendidikan di madrasah yang beliau dirikan sendiri. Kemungkinan hal ini yang menyebabkan kebesaran nama beliau dibandingkan ulama lain kurang terekspos oleh sejarah. Madrasah tersebut Bernama al-Tarbiyatul Hasanah atau masyarakat biasa menyebut dengan Surau Camin.

Syekh Abdul Latif Syakur mendirikan sekolah/madrasah dengan sistem kurikulum yang dibuatnya sendiri. Hampir semua madrasah/ sekolah swasta yang berdiri waktu itu, bahkan sampai sekarang, mempunyai otonom untuk membuat kurikulumnya sendiri. Namun keunikannya yang lebih spesifik adalah kitab-kitab yang diajarkan adalah karangan beliau sendiri.

Jika karya-karya ulama lain kebanyakan hadir atas permintaan masyarakat, Inyiak Latif berbeda. Karya beliau Sebagian besar lahir atas kebutuhan untuk mendukung referensi pengetahuan yang akan diajarkan di madrasah yang beliau buat. Hampir seluruh kitab yang diajarkan di madrasah al-Tarbiyatul Hasanah adalah karangan beliau. Suatu sikap yang harus diapresiasi dan – hemat saya – ini adalah gambaran atas kebebasan berintelektual tanpa ada kepentingan yang bersikap negatif.

Keahlian beliau di berbagai ilmu pengetahuan sudah tidak diragukan lagi. Mari kita lihat pengetahuan beliau di bidang tafsir lebih kurang ada 7 kitab. Belum lagi karya beliau di bidang lughah dan fikih. Kitab hadis beliau saja, Lataif Al Hadis, terdapat tiga jilid. Jarang ada ulama yang membuat kitab hadis tiga jilid dari bumi Minangkabau, selain – setahu saya – beliau dan Syekh Muhammad Yasin Isa al Fadani. Belum lagi kitab beliau berjudul Tambo Islam, yang menunjukkan kepada kita bahwa beliau adalah orang yang kreatif dengan ciri akulturasi diksi lokal dan universal (Islam).

Baca Juga  Catatan Kecil Tentang Pak Dasron Hamid (1): Ketika Aktivis Melahirkan Aktivis

Syekh Abdul Latif Syakur Membela Kaum Perempuan

Jika ulama lain banyak memilih taat pada satu prinsip, entah itu Kaum Mudo atau Kaum Tuo, menurut saya Inyiak Latif berbeda. Jika kita melihat konflik antar dua kubu -Kaum Mudo dan Kaum Tuo- waktu itu, sangat kontras sekali perbedaannya. Ada yang kuat mempertahankan tradisi dengan usaha modifikasi, sebagian lagi malah menolak tradisi yang kelihatannya sudah tidak sejalan dengan syariat Islam.

Belum lagi masalah kaji, qunut subuh, bid’ah adalah dagangan laku saat itu untuk diperdebatkan. Inyiak Latif berusaha menghindari itu. Tak ayal, jika ulama nan produktif ini tidak terlalu begitu harum namanya dalam sejarah islamisasi Minangkabau abad 20 awal.

Syekh Abdul Latif Syakur lebih senang menulis dan mengarang. Berbagai karangannya tak diragukan lagi. Antusiasnya terhadap pengetahuan layak dikagumi. Ilmunya yang tinggi, seringkali membuatnya berdamai dengan hal-hal yang menjadi furu’ syariat. Tak meributkan sesuatu yang kemungkinan akan menjadi sebab perpecahan adalah keunikan tersendiri. Mampu berenang di arus yang berbeda adalah permata indah dalam kehidupan Inyiak Latif. Bukan karena tidak peduli, bukan juga karena tidak tahu dan tidak mau tahu, tapi ada kepentingan yang lebih utama, yaitu mencerdaskan umat dan sebisa mungkin menghindari silang sengketa.

Lain daripada itu, beliau juga mementingkan kemajuan bagi perempuan. Inyiak Latif mendukung upaya anaknya, Sya’diyah Syakurah, mendirikan majalah perempuan bernama Djauharah. Majalah tersebut hadir di muka bumi pada tahun 1923. Majalah bulanan Islam yang terbit rentang waktu 1923-1924, dengan mengusung motto “oentoek bangsa perempoean”. Di waktu sedang galaknya maskulinitas dan penindasan terhadap perempuan, seperti kawin-cerai, Syekh Abdul Latif Syakur menggalakkan apa yang kita kenal kemudian dengan “kesetaraan gender” melalui gebrakan kajian, tulisan, dan lakunya.

Baca Juga  Ibnu al-Jauzi: Ulama dengan Banyak Gelar

Perjuangan dan Keteladanan

Produktivitas merupakan hal perlu diteladani dari Inyiak Latif. Sebagai seorang ulama, beliau tidak hanya memberikan pengajaran melalui lisan saja. Kepekaannya terhadap umat yang membutuhkan pendidikan beliau salurkan melalui berbagai cara; lisan, laku, dan tulisan. Sehingga, hampir 60 karya yang beliau hadirkan kepada umat rentang umur 81 tahun.

Jika kita mengandai-andai beliau menulis baru di umur 20 tahun, artinya setiap tahun beliau menerbitkan karya. Kitab yang dihadirkan juga tidak kalah beratnya dibanding kitab-kitab yang lain. Tafsir adab dan akhlak, bahasa arab adalah tema-tema berat, dan tema tersebut ada di setiap karya beliau.

Di sisi lain, kepekaan terhadap kebutuhan umat adalah satu hal dari sekian faktor mengapa saya mengagumi ulama yang satu ini. Di samping memberikan jawaban terhadap umat dengan lewat tulisan, kepekaan beliau dengan menghadirkan pesantren adalah jawaban atas kegelisahan umat. Umat butuh ilmu, sementara mereka berasal dari kaum proletar. Maka untuk mengatasi ini salah satu caranya adalah dengan mendirikan madrasah.

Selain kepekaan dengan mendirikan madrasah, menulis kitab dan mengajarkan di madrasah yang beliau dirikan adalah satu lain dari intuisi tajam beliau. Asumsi saya mengatakan, kehadiran kitab adalah dasar pertimbangan terhadap si penuntut ilmu. Banyak kitab beliau yang berbahasa Arab Melayu, namun ada juga yang berbahasa Arab.

Kebanyakan si penuntut ilmu belum banyak yang menguasai Arab secara penuh. Hanya sedikit yang paham dengan bahasa Arab-Melayu, maka beliau mengarang kitab berbahasa Melayu dan Arab untuk meringankan si pembaca dalam memahami agama.

Perjuangan dan keteladanan beliau contohkan patut dipertanyakan hari ini. Banyak ulama, namun tidak menghasilkan karya. Memang bukan kewajiban, tapi menghindari kaji yang tidak bersanad apa salahnya. Caranya adalah menghasilkan karya tulis. Pertanyaan juga buat anak-anak muda sekarang, sudah sejauh mana kita berlayar dalam ilmu pengetahuan dan menghasilkan “sesuatu”??? kalau belum, mari kita sama-sama berkaca pada Inyiak Latif.

Baca Juga  Oposisi Mati Gaya: Merindukan Amien Rais

Wallahu subhanahu wata’ala a’lam.

Editor: Daib

Geri Septian
1 posts

About author
Mahasiswa Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *