IBTimes.ID – Darmaningtyas, seorang analis pendidikan dan pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa, bercerita bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, ketika menjabat sebagai CEO Gojek, tidak mau menghadap kepada Menteri Perhubungan. Alasannya adalah karena izin Gojek ada pada Menteri Kominfo. Ketika Nadiem diundang oleh Menteri Perhubungan, ia menolak untuk bertemu. Karena sifat Nadiem tersebut, ia tidak pantas untuk menjadi teladan bagi pendidikan karakter.
Hal ini ia sampaikan dalam Webinar daring yang diadakan oleh Indomedia Poll. Webinar yang diadakan pada Selasa (30/6) ini mengangkat tema “Refleksi Kebijakan Mendikbud: Mas Nadiem Bisa Apa?”
Darmaningtyas mengaku pada tahun 2014 ia menolak pemisahan antara Dikdasmen dengan Dikti. Sekarang, Dikdasmen dengan Dikti justru digabung lagi, maka mengurus pendidikan bukan hal yang ringan, melainkan harus dengan konsep yang jelas.
“Kita boleh tidak setuju dengan NKK BKK Daud Yusuf. Namun, menurut saya Daud Yusuf adalah salah satu Menteri yang memiliki konsep pendidikan. Nadiem itu tidak punya konsep pendidikan. Saya tidak nyalahin Nadiem. Saya nyalahin yang milih Nadiem jadi Menteri,” tegasnya.
Ia jauh-jauh hari sudah melontarkan kritik bahwa Nadiem tidak pantas menjadi Menteri Pendidikan. Nadiem mungkin bisa mengurus ekonomi kreatif mungkin, namun tidak cocok untuk pendidikan. Ia menilai bahwa konsep merdeka belajar adalah konsep pendidikan orang-orang dahulu. Ia menceritakan bahwa dirinya dulu kuliah sambil berjualan. Isi dari panduan merdeka belajar kurang lebih sama dengan apa yang dijalani oleh orang-orang terdahulu.
“Ketika kita tanya Kementerian Pariwisata, mereka memiliki data berapa hotel yang tutup. Kementerian Perhubungan memiliki data berapa perusahaan angkutan umum yang tutup, berapa tenaga kerja yang terdampak. Pertanyaannya, apakah Mendikbud memiliki data berapa jumlah guru honorer yang terkena dampak pandemi? Rasa-rasanya saya setiap hari mengamati isu-isu pendidikan, tidak pernah ada data seperti itu,” ujarnya.
Menteri Pendidikan yang Miskin Data
Ia menilai mestinya jika Kemendikbud memiliki data, 4,9 triliuan anggaran Kemendikbud jelas akan dialokasikan kemana. Misalnya sekian persen dialokasikan untuk guru swasta, sekian persen untuk guru negeri, sekian persen untuk guru honorer, dan lain-lain.
Ia juga menyebut bahwa dalam masa pandemi seperti ini, hanya sekitar 10% sekolah negeri yang sanggup menghadapi pandemi. Sedangkan untuk sekolah lain merasa dampaknya terlalu berat. Di sisi lain, masih banyak guru swasta dengan gaji dibawah satu juta. Satu juta terlalu sedikit untuk sekedar bertahan hidup. Belum lagi untuk membeli kuota.
Maka, siswa dan guru di pedesaan akan jauh tertinggal. Ia menceritakan ada salah satu sekolah di Gunugkidul, DIY yang ketika ujian, kepala sekolahnya harus mencari murid di rumah. Karena sampai pada jam yang dijadwalkan murid tersebut belum muncul secara daring. Ternyata murid tersebut memang tidak memiliki ponsel.
“Kemendikbud juga tidak memiliki data berapa daerah yang belum dialiri listrik, tidak terjangkau oleh sinyal internet, dan lain-lain. Hal-hal seperti ini mestinya diidentifikasi. Terutama untuk daerah-daerah pinggiran, kepulauan, perkotaan miskin, dan daerah-daerah terbelakang. Pemerintah harus punya strategi yang jelas untuk masing-masing daerah,” tambahnya.
Padahal, menurutnya Kemendikbud memiliki banyak resources untuk mengatasi situasi pandemi. Misalnya Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) yang ada di setiap provinsi. Ada juga Lembaga Diklat Guru yang tugasnya adalah melatih guru. Sedangkan tugas LPMP adalah memberikan jaminan mutu pendidikan.
Semestinya ketika guru-guru tidak memiliki kemampuan untuk membuat materi pembelajaran sendiri, lembaga-lembagai ini harus melatih guru-guru. Karena mereka memiliki banyak resources.
Sayangnya, ketika pandemi, diklat-diklat guru juga terhenti. Mereka memiliki anggaran dan resources, namun seolah-olah lembaga-lembaga ini tidak tampil untuk menunjang pendidikan jarak jauh. Di bagian IT, Kemendikbud memiliki Pustekom.
Darmaningtyas membayangkan Nadiem yang memiliki latar belakang IT akan memaksimalkan Pustekom untuk menunjang pembelajaran jarak jauh. Namun ia tidak melihat upaya itu. Belum lagi UPT-UPT yang jumlahnya lebih dari seratus unit yang seharusnya bisa dimobilisasi untuk menunjang pembelajaran jarak jauh.
Liberalisasi Pendidikan dalam RUU Cipta Kerja
Selanjutnya ia menyayangkan Kemendikbud yang dalam masa pandemi justru membuat beberapa wacana yang kontraproduktif. Misalnya Kemendikbud menyerahkan pengelolaan pendidikan ke dalam pasar, dengan mengatur masalah pendidikan ke dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
RUU Cipta Kerja, selain menghilangkan makna kebudayaan dalam pendidikan, juga menghadirkan pendidikan sebagai komoditas. Substansi dari RUU Cipta Kerja bidang Pendidikan adalah ingin memberikan karpet merah bagi pendidikan asing untuk masuk ke Indonesia.
Ia mengatakan pasal 64 dan 65 UU Sisdiknas maupun pasal 90 UU Dikti mengatur bahwa pendidikan tinggi asing yang akan masuk ke Indonesia harus yang terakreditasi dan harus berkerjasama dengan pendidikan tinggi lokal.
“Dan hal itu sudah tidak ada lagi di RUU Cipta Kerja. Artinya pendidikan asing yang di negaranya mungkin tidak terlalu baik, boleh membuka cabang di Indonesia tanpa harus kerjasama dengan pendidikan lokal. Artinya, Kemendikbud di tengah pandemi tidak berpikir bagaimana mengatasi pendidikan supaya berjalan lebih baik, justru menyusun kebijakan yang membuat pendidikan menjadi komoditas. Selain itu, dalam RUU Cipta Kerja, Kemendikbud juga mengubah prinsip pendidikan yang nirlaba menjadi dapat digunakan untuk mencari laba. Ini kesesatan berpikir yang sangat dalam yang tidak bisa kita terima,” tambahnya.
Ia menutup dengan mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja yang jelas-jelas liberal dan meninggalkan aspek kebudayaan harus ditolak.
Reporter: Yusuf R Y