Kritis adalah kata yang semakin sering kita dengar dalam beberapa waktu terakhir. Di media massa, dalam retorika politisi, pada ceramah guru, dan dalam dokumen-dokumen konstitusi pendidikan di berbagai negara.
Prof. Michael Fullan juga memasukkan kata kritis dalam enam kemampuan kunci abad dua puluh satu yang harus dimiliki; di samping karakter berbudi dan berbudaya, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi.
Kata kritis semakin pamor juga karena seolah ia menjadi antitesis bagi paradigma pendidikan lama. Katanya, pendidikan lama terlalu banyak menekankan pada pengetahuan dan hafalan yang membunuh kapasitas kritis.
Maka pendidikan yang mengasah kemampuan berpikir kritis harus berbeda sama sekali dalam hal ia mengabaikan pengetahuan. Namun definisi ini jelas bermasalah. Bagaimana mungkin seseorang dapat mengkritisi sesuatu secara tepat jika tidak memahami sasaran kritiknya?
Arti Kritis
Beberapa lainnya mengatakan, kritis artinya jitu dalam menilai sesuatu. Seorang yang kritis adalah mereka yang dapat menilai kekuatan argumen, menemukan kelemahannya, dan menawarkan tesis alternatif yang lebih dapat diterima.
Sebagai suatu definisi ideal, pemahaman tentang kritis dalam versi ini barangkali memiliki pendukung paling banyak. Akan tetapi definisi semacam ini paling sulit menjadi praktik di dalam kelas.
Sebabnya jelas, bahwa kurikulum pendidikan seringkali ambigu. Menekankan kepada kemampuan berpikir tingkat tinggi namun bacaan dan ujian hanya berkisar pada kemampuan berpikir rendah.
Buku ajar hanya berisi rangkuman materi dari pemikiran-pemikiran tokoh yang sudah dihilangkan bobot kritisnya. Ujian pun didominasi pilihan ganda, atau esai yang disalah arti sebagai jawaban panjang.
Kalaupun siswa diberikan kesempatan untuk berpikir secara kritis, paling sering kita temui hal itu sekedar jadi visi. Mereka boleh kritis selama kritis ditujukan kepada lembar jawaban dan informasi yang didapat dalam buku-buku.
Realitas sosial tempat segala pelajaran nyata dan kompleks berada diabaikan. Isu perbedaan, gender, dan disparitas ekonomi semua disembunyikan di bawah lap kaki.
Demikian itu pengertian kritis dalam paradigma dominan pendidikan gaya bank. Kritis hanya jadi komoditas yang menambah nilai jual lembaga pendidikan.
Dalam kenyataannya, kritis hanya salah satu dari banyak terma-terma canggih yang membantu ideologi pasar dominan untuk menumpulkan kepekaan peserta didik dan guru.
Menjadi kritis berarti menjadi tunduk dengan situasi yang ada, dan kehilangan kemampuan untuk mempertanyakan apalagi merubah keadaan.
Definisi Kritis dalam Paradigma Humanis
Paulo Freire seorang filsuf pendidikan Brazil menawarkan definisi lain dari kata kritis. Dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas, ia memulai dengan menyatakan sebuah tesis bahwa tidak ada yang bebas nilai, termasuk bahasa, pengetahuan dan pendidikan.
Ia juga menambahkan bahwa nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai yang saling berkontradiksi dan saling mengatasi; mereka adalah dominasi dan humanisasi.
Dalam nilai pertama, pendidikan mematikan kemanusiaan dengan menolak dialog dan memusatkan pendidikan pada seorang guru yang maha tahu. Murid sekedar rekening yang bersifat pasif yang menerima dari seorang nasabah aktif, atau guru dalam hal ini.
Tidak ada peluang untuk berbeda, menjadi unik, atau menjadi manusia yang ‘sesungguhnya’. Untuk sukses, murid hanya perlu dengan akurat menunjukkan catatan dalam buku rekening.
Sementara dalam nilai yang kedua, nilai humanisasi, pendidikan melestarikan kemanusiaan dengan relasi guru-murid setara dan saling terlibat untuk memahami dan menyelami kesejatian dunia.
Dalam pendidikan ini ada murid yang guru, yang dalam posisinya berbagi tentang perspektifnya, dan guru yang murid, yang membuka telinga lebar-lebar untuk mendengar dan belajar. Guru dan murid bersama-sama adalah subjek aktif yang menghadapi dunia.
Disinilah kemudian Freire melanjutkan, bahwa tidak mungkin ada tempat bagi nalar kritis dalam paradigma yang pertama. Sebabnya jelas, bahwa paradigma dominasi menuntut penerimaan total sehingga menutup ruang bagi alternatif.
***
Namun kritik Freire ini mungkin sulit untuk segera kita terima. Seseorang mungkin bertanya, bukankah dalam pendidikan kita hari ini sudah begitu lapang ruang-ruang untuk menjadi kritis?
Freire mengingatkan agar tidak salah memahami distingsi antara pendidikan humanis yang tulus dengan pendidikan penindasan yang penuh muslihat.
Jika suatu pendidikan memang bersetiakawan dengan kemanusiaan, maka ia tidak akan menghalangi antara antara teori dan praksis, serta antara keduanya dengan dunia sosial.
Maksudnya, pendidikan yang betul-betul kritis hanya mungkin ketika semua tempat adalah kelasnya, semua orang adalah gurunya, dan setiap fenomena kehidupan adalah bukunya.
Dari sini maka jelas bahwa kritis dalam pemahaman dan praktik di kelas kita tidak memenuhi syarat untuk menjadikan siswa betul-betul kritis.
Sebabnya, kritis itu hanya sejauh pilihan-pilihan yang telah guru nyatakan sepihak, yang telah ditetapkan dalam kebijakan pendidikan sentralistik dengan diskursus dominan pasar. Jika kritis itu sejati maka siswa itu sendiri juga memiliki suara, serta masyarakat luas juga memiliki andil dalam pendidikan kita.
Yang terjadi justru malah sebaliknya, dimana kritis sekedar menjadi alat untuk menuju ‘modernisasi’ dalam pemahaman sempit. Modernisasi diartikan sekedar sebagai intensifikasi dan masifikasi produksi.
Sejurus dengan visi itu, pendidikan kita hari ini mengusahakan lahirnya individu ‘kritis’ yang dapat menawarkan gagasan bagi kemajuan industri di tengah-tengah persaingan yang sengit diantara pemodal.
Menjadi Kritis, Menjadi Humanis
Maka di penghujung tulisan ini, ditegaskan kembali mana kritis yang sejati, yakni yang sejalan dengan visi humanisasi. Kritis berarti memahami akan sifat-sifat yang menjadikan diri manusiawi, yang membedakan dengan ciptaan Tuhan yang lain.
Pemahaman ini kemudian menjelaskan peran manusia yang tidak remeh di dunia; sebagai wakil Tuhan, pemimpin dan–yang paling penting–pelestari alam semesta.
Kritis akan mendorong pemahaman diri seseorang, bahwa dia dan dunia adalah dua hal yang terpisah namun saling mempengaruhi.
Juga bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mendefinisikan diri mereka, dan bahwa seluruh manusia merupakan satu-kesatuan yang membentuk peradaban.
Menjadi kritis juga berarti menyadari bahwa pengingkaran atas kemanusiaan, atau dehumanisasi, merupakan sesuatu yang harus diatasi.
Mereka yang kritis tidak hanya diam berpangku tangan, menjaga jarak dari penindasan sementara kemanusiaannya dilanggar. Sebaliknya, mereka yang kritis turut terlibat untuk mengubah kondisi, dan dalam proses itu ia menjadi lebih dan semakin manusiawi.
Kritis dalam paradigma humanis ini sangat mungkin terdengar utopis bagi sidang pembaca. Untuk itu kami sekedar mengajukan pertanyaan berikut; apakah memang paradigma pendidikan kapitalis-opresif merupakan keniscayaan yang terbaik?
Juga, apakah proposal paradigma kritis-humanis ini merupakan sesuatu yang mustahil karena persoalan teknis semata?
Belakangan, komitmen untuk menjadikan pendidikan sebagai hak yang harus diterima setiap individu semakin kuat. Kami yakin bahwa dalam waktu dekat, ketika pendidikan telah dipulihkan sebagai milik semua orang (tidak hanya sejumlah kecil pemodal atau mesin-aparatus negara), maka visi kritis-humanis menjadi kian relevan.
Sementara menunggu, tidak ada salahnya untuk kita memulai dahulu. Dari kelas-kelas kita, dari hubungan guru-murid kita, dari kita sendiri.