Di suatu malam, saya bercengkerama dengan kelima teman saya di suatu angkringan dekat kampus tempat saya menimba ilmu. Sambil meneguk susu segar asli Boyolali, kami terlibat dalam suatu pembicaraan seputar berbagai topik. Salah satu teman menceritakan kisah salah seorang temannya tentang pergulatan asmara.
Sebut saja dia si Fulan. Seorang aktivis dakwah organisasi yang cukup terkenal di kota saya. Ia sudah hafal Alquran, hafal banyak sekali hadis Nabi. Cukup mumpuni dalam memahami ilmu-ilmu dasar Islam. Sayangnya kelihaian menghafal Alquran, tidak sejalan dengan kelihaiannya menyulam kisah asmara. Kisah asmaranya sangat memprihatinkan, untuk tidak mengatakan sangat buruk.
Dikisahkan, Ia pernah dekat dengan seorang wanita. Sudah sangat lama menjalin hubungan asmara dengan wanita tersebut. Boncengan, chattingan, bahkan sampai sudah mendatangi orang tuanya. Guna membahas kelanjutan hubungan asmaranya ke jenjang yang lebih serius. Bukannya mengakhiri ikhtiarnya ke jenjang pernikahan, malah si Fulan dengan semena-mena meninggalkan dan mencampakkan wanita yang selama ini didekatinya. Tanpa meninggalkan jejak, baik jejak online maupun offline. Nomor Whatsapp diblokirnya, nomor telepon dihapusnya, dan kisah asmara ditinggalkannya.
Syariat Nir-Akhlak
Saya kira, cerita tersebut berhenti tatkala si Fulan mencampakkan wanita tersebut. Ternyata, kisah tersebut berlanjut. Namun berlanjut dengan pola-pola yang sama, seperti: mendekati, menjalin hubungan, dan diakhiri dengan mencampakkan kemudian mencari target wanita selanjutnya.
Sebenarnya, saya tidak heran dengan model kisah yang dituturkan oleh salah satu teman saya tadi. Karena toh saya juga punya beberapa kenalan yang memiliki kisah serupa. Kisah tersebut terlihat sepele dan remeh. Namun, menurut saya, itu suatu gejala sosial yang serius. karena jamak ditemukan di lingkungan kita.
Dimana, Seseorang yang dikenal sangat agamis, hafal banyak hadis dan ayat Alquran, berpenampilan “syar’ie” namun dengan entengnya menggoreskan luka-luka sosial. Sebagaimana luka asmara tadi. Dari kisah ini, kita bisa mengambil satu rpermasalahan; kenapa pemahaman agama dalam satu kasus tertentu tidak berimplikasi pada luhurnya perilaku sosial seseorang?
Syariah tak Sekadar Fikih
Saat menyebutkan “kuat fikih, lupa akhlak” secara bersamaan saya tidak mengatakan bahwa ilmu fikih atau pemahaman fikih itu buruk. Sama sekali tidak. Namun, Islam sebagai suatu sistem keagamaan jika hanya dipahami dari segi fikihnya saja, akan menjadi masalah.
Fikih atau ilmu fikih itu adalah suatu ilmu. Yang mana membahas hukum berbagai persoalan hidup manusia di dunia. Dengan kata lain, fikih itu ialah hukum Islam itu sendiri. Konsekuensi logisnya, jika seorang Muslim hanya terfokus pada pembelajaran atau pemahaman fikih an sich, maka ia terjebak dalam alam pikiran yang serba hitam putih. Benar dan salah atau boleh dan tidak boleh. Itulah konsekuensi pembahasan hukum.
Si Fulan yang tadi saya sebut, terjebak pada alam pikiran fikih. Mungkin menurutnya, chattingan, boncengan, dan memberikan harapan kepada wanita, tidak Ia temui hukum larangannya di dalam kajian fikih. Atau ia, dengan kapasitas kecerdasannya, menemukan dalil atau tafsiran dalil yang melegitimasi apa yang dia lakukan. Ini sangat lumrah terjadi. Kita semua mengetahui bahwa di dalam fikih (hukum Islam) banyak varian pilihan hukum. Varian pilihan hukum tersebut pastinya berlandaskan Alquran dan hadis.
Misalnya, hukum memakai celana di bawah mata kaki (Isbal). Ada yang menyatakan haram secara mutlak. Ada juga yang membolehkannya asal tidak diiringi rasa sombong. Hukum memakai cadar, misal lainnya. Ada yang mewajibkan pemakaiannya. Ada juga yang mengatakan bahwa hal tersebut hanya mubah (boleh). Tidak sampai berdosa tatkala meninggalkannya.
Bahaya Pemahaman Fikih An Sich
Pada tingkatan lebih jauh, alam pikiran yang didominasi pemahaman fikih itu bisa menimbulkan permasalahan yang lebih serius. Berdakwah guna menyeru ke jalan benar itu wajib bagi setiap muslim. Jika hanya dilihat aspek “wajibnya dakwah” maka implikasinya, Ia akan melakukan cara apa pun untuk menyukseskan tujuan dakwahnya. Yaitu menuju jalan “kebenaran”. Maka tempo hari ini, kita jamak menemukan pendakwah yang gemar sekali mencaci maki pihak-pihak yang dinilainya salah. Alam pikirannya hanya fikih, akhlak absen di sana.
Hukum meminum air putih dalam botol itu boleh. Namun, jika caramu mengambil air botol itu dengan kedua kakimu sementara orang tuamu berada di dekatmu, teguran keras akan kamu dapati. Hukum berinteraksi dengan lawan jenis, pada batas tertentu sangat dibolehkan. Namun jika kamu sudah memberikan harapan-harapan yang tidak kamu wujudkan, akan timbul rasa sakit dari pihak yang kamu beri harapan. Begitulah ringkihnya Islam jika hanya dipahami fikihnya belaka.
Bersyariat Secara Holistik
Maka, syariat Islam harus dipahami secara holistik, tidak cukup fikihnya saja. Hamim Ilyas, dalam bukunya Fikih Akbar, menjelaskan bahwa syariat itu adalah jalan hidup untuk memperoleh kebaikan. Ingat kebaikan! Bukan hanya boleh dan tidak saja. Banyak sekali sesuatu yang boleh, namun tidak baik. Ya seperti contoh-contoh yang saya paparkan di atas.
Hamim Ilyas juga mengatakan bahwa Syariat itu memiliki beberapa bidang. Yaitu; akidah, akhlak, dan hukum (fikih), tidak hanya fikih saja!. Ketiganya harus berkelindan dalam praktiknya. Tidak boleh berjalan sendiri-sendiri. Dalam surat Al-Jatsiyah ayat 18 disebutkan bahwa syariat itu jalan dari segala urusan (kehidupan). Maka ingin urusan hidup kita lebih mudah, maka lakukanlah seluruh dimensi syariat yang ada, bukan sebagian atau salah satu saja.
Contoh lain masalah rokok. Secara fikih, ada yang menganggap itu hukumnya hanya makruh, mubah atau haram. Maka ada beberapa yang melakukannya ada yang tidak. Tapi berislam itu tidak hanya urusan halam-haram saja, tetapi perlu juga masalah baik-buruk.