Membaca esai berjudul Membangun Ekonomi Berbasis Masjid (edisi 19 November 2020), membuat saya teringat kembali dengan apa yang ditulis Kuntowijoyo dalam bukunya, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985).
Ada banyak pekerjaan rumah yang dihadapi masjid hari-hari ini, terutama berkaitan dengan persoalan kontemporer umat Islam di Indonesia. Persoalan sosial dan ekonomi mencekik sebagian besar umat Islam hari-hari ini, sementara masjid seakan tergagap-gagap dalam menyikapinya.
Saya kira bab “Mengembalikan Peranan Masjid” dalam Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia merupakan sentilan Kuntowijoyo yang masih relevan untuk diobrolkan saat ini. Kuntowijoyo menuangkan secara eksplisit kegelisahannya tentang masjid, yang dianggapnya tak ada bedanya dengan terminal bus (h. 160).
Masjid boleh saja punya struktur pengurus yang mapan, dana infak yang melimpah, dan fisik bangunannya yang megah nan mewah. Namun, masjid masih belum ambil bagian dalam membina umat Islam di bidang sosial-ekonomi (h. 161).
Stereotip Tentang Masjid
Stereotip yang melekat pada masjid hari-hari ini adalah masjid hanya sekadar tempat mendirikan salat berjamaah dan mengaji, setelah itu kembali ke rumah atau tempat kerja.
Masjid saat ini lebih banyak berfungsi sebagai tempat ngaso sejenak dari pekerjaan sehari-hari. Oleh karenanya, sangat beralasan kalau Kuntowijoyo menyebut masjid saat ini sebelas-duabelas dengan terminal bus yang hanya didatangi orang seperlunya saja.
Dalam konteks situasi sulit seperti saat ini, ada beberapa alasan mengapa masjid fardhu ‘ain membina lini sosial-ekonomi umat Islam.
Sebagaimana telah disinggung esai tersebut, masjid dan ekonomi adalah dua hal yang masih kurang mendapat perhatian serius dari para pegiat literasi ekonomi Islam. Padahal, masjid memiliki modal utama untuk memberdayakan ekonomi umat Islam atau mendirikan baitul mal, yaitu dana infak para jamaahnya.
Saya sangat terkejut ketika Februari lalu membaca berita di sebuah portal berita daring nasional tentang digelapkannya uang kas Masjid Raya Sumatera Barat hingga hanya tersisa lima juta rupiah.
Pelakunya adalah oknum takmir yang juga seorang PNS, yang seharusnya menjadi panutan masyarakat dalam berperilaku. Kalau masjid sebesar itu saja memiliki problem soal pengelolaan uang kasnya, bagaimana dengan masjid-masjid lainnya?
Masih banyak masjid yang uang kasnya hanya mengendap hingga berdebu di brankas bank. Masih banyak masjid yang tak tanggap ketika ada jamaah atau warga sekitarnya membutuhkan modal untuk warungnya. Padahal, umat Islam tak hanya membutuhkan siraman rohani dari para ustaz yang berceramah di masjid, namun juga membutuhkan pertolongan dari takmir masjid saat kesulitan ekonomi.
Tantangan Masjid Saat Ini
Tantangan masjid dewasa ini bukan hanya bagaimana mengelola dana yang masuk ke kasnya, namun juga bagaimana merangkul para jamaahnya.
Solidaritas umat Islam selama ini masih agak rapuh karena hanya diikat oleh momentum yang sifatnya temporer, misalkan pemilu. Akibatnya, pemilu selesai, solidaritas tadi ikut-ikutan selesai juga dan umat kembali berserakan.
Umat Islam memang tidak terlarang untuk bicara politik, karena pada akhirnya umat Islam harus melek struktur (h. 166).
Bukankah perjuangan umat Islam akan selalu bernuansa politik? Namun, Kuntowijoyo sudah wanti-wanti bahwa tidak semua hal, termasuk politik, layak dibicarakan di dalam masjid. Jangan sampai, kata beliau, energi umat Islam seratus persen habis hanya untuk politik partisan sementara sosial-ekonominya masih babak belur.
Pekerjaan rumah yang tak kalah pentingnya bagi masjid adalah bagaimana membangun keramahtamahan di dalamnya. Boleh saja masjid berlapis marmer yang menyejukkan ruang, namun apa gunanya kalau tidak ada kehangatan antar orang-orang di dalamnya? Boleh saja masjid full AC, namun apa gunanya jika satu sama lain saling berjarak dan tidak saling akrab?
Bukan rahasia lagi jika selama ini banyak masjid yang takmir atau jamaahnya garang terhadap anak-anak. Ribut sedikit saja, pasti ada salah satu takmir atau jamaah senior yang memarahi anak-anak itu.
Belum lagi, kalau ada anak kecil menangis sepanjang salat, orang tua anak tersebut pasti diomeli habis-habisan karena dianggap mengganggu kekhusyukan salat. Masjid akhirnya tak jauh berbeda dengan barak militer yang setiap ada orang membuat kesalahan bisa diteriaki sekencang mungkin.
Masjid, Harus Menjadi Tempat yang Multifungsi Bagi Umat Islam
Selain itu, banyak masjid yang juga tidak ramah difabel. Masih sedikit masjid yang fasilitasnya ramah untuk difabel. Masih banyak masjid yang belum menyediakan jalur khusus difabel, sementara tangganya lumayan tinggi.
Berapa banyak difabel muslim yang enggan datang ke masjid hanya karena kesulitan untuk masuk ke dalamnya? Padahal, di luar sana, ada beberapa yayasan non muslim yang menaruh perhatian lebih pada difabel. Tidakkah takmir-takmir masjid malu dengan realita ini?
Masalah kemiskinan dan fragmentasi sosial terlalu berat kalau harus seratus persen diselesaikan oleh negara. Pandemi COVID-19 saat ini seharusnya menjadi momentum bagi semua masjid untuk berbenah manajemen.
Masjid harus berani melangkah lebih jauh, menjadi basis perubahan sosial umat Islam seperti yang diimpikan oleh Kuntowijoyo. Masjid harus menjadi benteng pertahanan ekonomi umat Islam, menjadi motor kemandirian umat Islam. Singkatnya, masjid harus menjadi tempat berteduh yang nyaman dan multifungsi bagi umat Islam hari ini.
Editor: Lely N