Oleh: Dartim Ibnu Rushd*
Siapa yang tidak mengenal Jenderal Soedirman? Semua jalan di negeri ini salah satu yang terkenal pasti ada yang memakai namanya. Hingga tempat-tempat penting di negeri inipun ada yang memakai namanya, seperti nama universitas, bendungan, dan stadion. Sampai-sampai banyak organisasi baik itu kepemerintahan, militer, dan kemahasiswaan yang menjadikan sosok Jenderal Soedirman sebagai panutannya.
Jenderal Besar yang kita kenal hanya sebagai seorang guru Muhammadiyah. Seorang yang sebenarnya tidak terlalu meyakinkan dalam hal ilmu jika selintas pandang. Sosok yang tidak tegap secara fisik, bahkan dia mengalami sakit yang teramat parah saat bergerilya.
Hingga dikatakan bahwa hanya tinggal sebelah saja paru-paru yang berfungsi, membuatnya harus ditandu. Tetapi akhirnya ia manjadi seorang pahlawan yang sangat disegani. Hal ini pasti karena ia adalah seorang yang memiliki mental dan keberanian yang luar biasa.
Di Balik Nama Besar Jenderal Soedirman
Gambaran itu adalah yang nampak secara lahir. Belum pernah nampaknya kita belajar lebih dalam dan bagaimana caranya seorang Soedirman dilahirkan, sehingga menjadi seorang yang sangat disegani. Seorang yang memiliki mentalitas kuat, dan inilah yang sangat dibutuhkan di negeri ini.
Ia disegani bukan karena menakutkan, tetapi disegani karena kewibawaan dan kehormatan dengan berbagai prestasi dan perjuangannya. Inilah pertanyaan yang membuat penulis sangat terusik. Lalu siapa yang mendidik Soedirman hingga menjadi seorang yang sangat disegani itu? Orang yang secara fisik sangat tidak memungkinkan itu?
Pertanyaan terakhir inilah yang pada awalnya menjadi bahan diskusi oleh penulis dengan seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bahwa Soedirman dibesarkan dengan pendidikan yang sangat berbeda seperti zamannya.
Riwayat sejarah mengatakan bahwa Soedirman dapat pengaruh besar dari gurunya. Di mana gurunya yang sangat berpengaruh itu adalah Kiai Busyro Syuhada. Seorang Kiai yang memiliki sebuah pesantren di Banjarnegara, tepatnya disebut Pesantren Binorong, karena bertempat di desa Binorong namun nampaknya hari ini sudah tidak ada lagi jejaknya, hanya tinggal bangunan yang sudah jauh dari kesan modern.
Kiai dari Binorong
Setelah berdiskusi panjang tentang Kiai Busyro, selang beberapa waktu akhirnya penulis berkesempatan untuk mengunjungi makamnya di desa Binorong dan Alhamdulillah, penulis bertemu dengan seorang yang masih kerabat dari Kyai Busyro di sana. Beliau adalah Bapak Fathoni. Seorang yang sudah tidak lagi bisa dikatakan muda, umurnya sudah 60 tahunan, tetapi semangat untuk bercerita tentang kisah Kiyai Busyro, persyarikatan Muhammadiyah, dakwah Islam, hingga pergulatan politik di Indonesia dengan sangat antusias.
Dari kisah yang diceritakan oleh Pak Fathoni (begitulah beliau akrab dipanggil) inilah kita mulai belajar tentang sosok Kiyai Busyro atau masyarakat di Desa Binorong sering memanggilnya dengan sebutan “Mbah Busyro”. Namanya lebih dikenal dengan Busyro Syuhada, meskipun dahulu nama aslinya adalah Ibrahim. Seorang yang terkenal dengan kesenian bela diri, ahli pencak silat di Banjarnegara.
Kiai Busyro menciptakan seni bela diri sendiri yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Seni Bela Diri Banjaran. Sesuai dengan nama daerah itu, Banjarnegara. Tapi siapa sangka (di mana penulis merasa terkejut) bahwa ternyata dari Seni Bela Diri Banjaran inilah cikal bakal Tapak Suci dilahirkan.
Beralih lebih jauh terkait dengan sosok Soedirman, awalnya ia adalah seorang guru Muhammadiyah dan aktivis Hizbul Wathan di Cilacap. Ia bermaksud bersilaturahmi atau berkunjung ke Pesantren Binorong. Karena saking terkenalnya saat itu Pesantren Binorong hingga membuat Soedirman mengunjungi Kyai Busyro.
Kiai Busyro dan Kekuatan Doa
Dari pertemuan itulah selanjutnya Soedirman mendapatkan pembinaan secara khusus. Siapa sangka ternyata kelak ia akan bergerilya melawan tentara sekutu penjajah. Soedirman sekan mendapatkan pembinaan batin maupun lahir untuk berjuang di medan laga menjadi seorang tentara besar.
Kiai Busyro adalah seorang yang sekti (hebat memiliki keistimewaan) demikian orang sekitar menggelarinya. Orang dahulu mengasosiasikan sekti dengan hal-hal mistis. Tetapi bagi Kiai Busyro, sekti bukanlah karena mistis tetapi adanya ilmu-ilmu yang dipelajari pada zamannya.
Ditambah lagi ilmu agama yang diamalkan menjadikannya berbeda dengan ahli-ahli ilmu yang lain. Mulai dari kemampuan fisik yang cakap dalam seni bela diri, sampai kemampuan batin yang sangat kaya dengan kesucian jiwa. Oleh karenanya dikatakan jika seorang meminta doa kepada Kiai Busyro, maka tidak akan pernah doa itu tidak dikabulkan. Jadi nampaknya dua hal ini pula yang sangat terpatri dengan kuat di dalam diri seorang Jenderal Besar Soedirman.
Kekuatan doa adalah kekuatan perjuangan yang tidak dapat dipisahkan. Terdapat riwayat di mana saat Soedirman bergerilya di hutan, kemudian keberadaannya diketahui oleh tentara sekutu, tetapi seakan mata tentara itu menjadi buta. Padahal tentara itu sudah berhadapan langsung dengan Soedirman, tetapi tentara sekutu itu mengatakan bahwa ia bukanlah Soedirman. Kemudian tentara itu meninggalkan Soedirman begitu saja.
Tentu bukanlah hal kebetulan tetapi ada kekuatan lain yang dapat mengelabuhinya. Dan tentu juga masih banyak lagi kejadian yang tidak masuk di akal. Mungkin pula hal itu terjadi sebagai bentuk doa yang dikabulkan.
Teladan dari Kiai Busyro
Pak Fathoni kemudian melanjutkan ceritanya, bahwa Mbah Busyro ini selain sebagai ulama pada zamannya, ia juga merupakan seorang ahli politik. Hingga pernah sampai begitu besar pengaruh pemikiran politiknya ia sampai dikejar-kejar oleh tentara Belanda saat itu. Sampai Kiai Busyro harus merubah namanya dengan Busyro Syuhada yang kita kenal selama ini, di mana nama aslinya dahulu adalah Ibrahim.
Seakan ungkapan ini penting tentang bukan mengharuskan seorang ulama untuk berpolitik. tetapi politik adalah bagian penting dari wilayah Islam yang perlu diurus. Tidak ada larangan untuk berpolitik, justru di wilayah itulah kita dapat pula mendapat syahid. Demikian tutur Pak Fathoni dengan suara seraknya.
Maka mungkin inilah kenapa nama Syuhada disematkan kepada Kiyai Busyro. Bahwa ternyata perjuangan untuk meraih derajat syahid tidak harus di medan laga peperangan, di mana itulah yang selama ini kita kenal sekarang. Tetapi di medan politik pun, atau di medan apapun sesuai dengan keahlian kita, yang itu ditunjukkan untuk kemajuan dan kejayaan Islam, apabila ia meninggal maka ia dapat pula meraih seorang yang syahid. Seakan penulis melihat, bahwa di sini, Kiai Busyro memang seorang yang sangat mumpuni pada zamannya dan juga kita bisa teladani untuk zaman kita hari ini.
Pertemuan itu kemudian diakhiri dengan sebuah ungkapan yang sangat penulis merasa sangat takjub mendengarnya, “Kiai Busyro itu sebenarnya hanya ingin berdakwah, tetapi di sela-sela dakwahnya ia isi sepenuhnya dengan perjuangan untuk umat”. Mungkin inilah rahasia mengapa doanya selalu terkabul, dan begitu sangat berpengaruh bagi lahirnya seorang Panglima Besar Jendral Soedirman.
Kiai Busyro berjuang bukan untuk dirinya tetapi untuk kemaslahatan dan kemanfaatan. Entah untuk bangsanya, negaranya, persyarikatannya, umatnya, yang jelas bukan untuk dirinya sendiri. Bukankah Nabi Muhammad Saw juga pernah menyampaikan kepada kita bahwa “yang paling baik adalah yang paling banyak memberi manfaat?” Inilah juga yang selama ini nampak menjadi kekuatan untuk menggerakkan peradaban, entah individual maupun sosial.
Dan akhirnya, demikianlah sekelumit yang nampaknya bisa terurai pada tulisan ini. Di mana sebenarnya masih banyak yang perlu diuraikan. Tapi setidaknya kita bisa belajar dari Kiai Busyro Syuhada yang rasanya perlu dihadirkan kembali dalam semangat kehidupan kita saat ini.
*) Pemerhati Sejarah dan Peradaban