Inspiring

Kiai Moechtar Boechari: Bayangan KH Ahmad Dahlan di Surakarta

2 Mins read

Ketertarikan Kiai Moechtar Boechari (1899-1926) pada Kiai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923) bermula ketika mendengarkan tabligh pendiri Muhammadiyah yang berlangsung di Surakarta pada tahun 1917. Ketua panitia tabligh yang mendatangkan KH Ahmad Dahlan itu adalah Mohammad Misbach (1876-1924), terkenal dengan sebutan Haji Merah. Setahun berikutnya, kepanitiaan ini dengan sedikit modifikasi dikukuhkan menjadi perkumpulan SATV (Sidik Amanah Tabligh V(F)athanah), suatu perkumpulan pra-Muhammadiyah.

Ketika mendatangi tabligh tersebut, Moechtar Boechari masih berstatus santri di pesantren Termas, Pacitan. Kebetulan sedang libur dan pulang kampung ke tanah kelahiran. Setelah mendengarkan tabligh, dia berubah haluan. Tidak berminat kembali ke pesantren Termas, tetapi memilih menjadi penggerak dan mubaligh SATV sambil memperdalam kemampuan bahasa Arab di Madrasah Arabiyah Islamiyah di Pasar Kliwon.

Sebagai seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan religius yang pekat, kampung Kauman, ditambah mengenyam Sekolah Ongko Loro di pagi hari dan belajar agama di madrasah Mambaul Ulum pada sore harinya. Setelah itu memasuki pesantren Termas dan Madrasah Arabiyah Islamiyah. Bekal ini telah cukup menjadikanya sebagai seorang mujtahid (pembaharu) yang mampu merumuskan pemahaman keislaman berdasarkan sumber pokok ajaran Islam, al-Quran dan as-Sunnah.

Persentuhan dengan gagasan-gagasan Islam berkemajuan KH Ahmad Dahlan semakin memantangkan ide-idenya. Semenjak SATV berdiri tahun 1918, hampir setiap pekan pendiri Muhammadiyah itu mengisi kursus Islam di Solo, bertempat di rumah Sontohartono di Keprabon ataupun rumah Kiai Moechtar Boechari sendiri di Kauman. Ini artinya terjadi proses interaksi dan komunikasi yang intens antara poros Jogja dengan Solo.

Benih-benih reformasi Islam di Solo yang ditanam dan disirami langsung oleh pendiri Muhammadiyah ini menghadapi tantangan serius ketika ketua SATV, Haji Misbach pada tahun 1919 lengser dari kursi ketua dan memilih haluan politik dalam melawan penjajah Belanda. Mundurnya Misbach sedikit mengguncang perkumpulan SATV, terlebih dia sering menyerang dan mengkritik lantang SATV, karena tidak sudi terjun dan memasuki gelanggang politik.

Baca Juga  Irfan Amalee Bersama Peacegen, Menyebarkan Damai dengan Cara Kreatif

Di tengah badai politik yang mengguncang, muncul figur Kiai Moechtar Boechari sebagai ketua SATV. Dia menjadi ketua SATV saat usia masing sangat belia, 20 tahun. Meski masih belia, tetapi dia sudah matang, sehingga mampu menahkodai perahu SATV, dan pada tahun 1922 bertransformasi menjadi persyarikatan Muhammadiyah.

Kiai Moechtar Boechari bukan hanya seorang leader yang berhasil menahkodai SATV dan Muhammadiyah Solo awal, tetapi juga seorang guru tabligh yang sangat popular dan disegani. Dan lebih dari itu, dia seorang pemikir otentik plus penulis produktif. Ide-ideanya bukan hanya ditablighkan dan dipraktikan secara langsung melalui aksi sosial, tetapi juga dirumuskan secara sistematis melalui tulisan.

Tampaknya, keahlian terakhir inilah yang tidak banyak dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah. Lebih dari itu, yang justru menarik adalah tulisan-tulisannya mencerminkan gagasan-gagasan besar Islam berkemajuan yang sering disuarakan KH Ahmad Dahlan. Misalnya, secara historis dikenal “geger al-Maun”, ternyata Kiai Moechtar Boechari menulis Tafsir Surat al-Maun yang di muat pada majalah Sinar Islam terbitan Muhammadiyah Solo, tahun 1934.

Selain itu, Kiai Moechtar Boechari juga menulis buku Tasawuf Tjekaan yang mencerminkan pandangan Muhammadiyah atas tasawuf yang menekankan pada pembentukan kepribadian/ahklak. Karya-karya yang lain adalah Piwoelang Islam, Pitoetoer Islam, Perbandingan Agama, dan sebuah novel berjudul Moeslimah yang berisi pandangan seorang modernis terhadap persoalan etia menuntut ilmu, ilmu pengetahuan, peradaban, sejarah Islam, kesetaraan gender, gerakan pembaharuan Muhammadiyah.

Tulisan-tulisan yang telah berumur seabad itu merupakan warisan intelektual yang sangat berharga. Sejak satu dekade lalu telah muncul kesadaran di kalangan generasi muda Muhammadiyah Solo untuk mengumpulkan kembali dokumen-dokuman yang berserakan, dan alhamdulilah beberapa bisa dilacak, salah satunya adalah karya-karya Kiai Mochtar Boechari.

Baca Juga  Islam dan Negara: Pandangan Dua Tokoh Muhammadiyah

Menyimak rekam jejak sejarah dan membaca karya-karyanya,tidak berlebih bila dikatakan bahwa sosok Kiai Moechtar Boechari merupakan bayangan dari KH Ahmad Dahlan yang memantul di tepi Sungai Bengawan Solo. Tulisan-tulisan sangat brilian dengan ilustrasi yang canggih. Ketika dikritik bahwa berdirinya Muhammadiyah menyebabkan pertikaian di kalangan umat. Dengan dingin ia mengilustrasikannya sebagaimana pertemanan gigi dan lidah yang harus terus bergerak bergerak mengunyah. Hanya saja, sesekali lidah kegigit, tapi itu tidak mengurangi kebersamaan.

Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *