Dalam buku Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) disebutkan tentang Pedoman Hidup Islami dalam kehidupan bermasyarakat, yang antara lain memberi tuntunan tentang; 1) menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat, 2) menunjukkan keteladanan dalam bersikap kepada tetangga, memuliakan mereka, bermurah hati, menjenguk ketika sakit, mengasihi mereka sebagaimana mengasihi keluarga dan diri sendiri, menyatakan kegembiraannya di saat tetangga memperoleh kesuksesan dan menghibur ketika menghadapi musibah.
3) bersikap baik dan adil kepada tetangga yang berlainan agama, 4) menunjukkan sika-sikap sosial yang didasarkan atas prinsip menjunjung tinggi nilai kehormatan manusia, 5) melaksanakan gerakan jamaah dan dakwah jamaah sebagai wujud dari melaksanakan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, dan seterusnya.
Lima poin PHIWM dalam kehidupan bermasyarakat di atas tidak diuraikan secara rinci agar tidak mengekang kehidupan masyarakat. PHIWM hanya menjelaskan prinsip-prinsip, pedoman-pedoman, dan nilai-nilai dasar yang bersifat substansial dan ideologis untuk dijadikan pijakan dalam kehidupan bermasyarakat khususnya bagi warga Muhammadiyah. Sementara hal-hal yang bersifat teknis dapat diuraikan dan dijabarkan oleh warga persyarikatan dengan mengacu kepada prinsip dan nilai-nilai dasar yang ada dalam pedoman tersebut secara khusus dan ajaran Islam secara umum.
Budaya Baik Memberi Sumbangan
Budaya memberi sumbangan atau hadiah kepada kenalan atau tentangga yang mempunyai hajat seperti mengkhitan anak, kelahiran anak, dan walimah ursy tentu merupakan hal yang baik jika dilakukan dengan penuh keikhlasan, tanpa unsur paksaan karena tradisi atau adat istiadat tertentu.
Lebih baik lagi adalah memberi kepada masyarakat yang lebih membutuhkan serta memiliki kekurangan ekonomi. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan seseorang untuk saling memberi karena dapat mendatangkan rasa saling mengasihi, peduli dan menghilangkan inharmonisasi dalam masyarakat. Dalam hadis disebutkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَهَادَوْا فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تُذْهِبُ وَحَرَ الصَّدْرِ وَلَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ شِقَّ فِرْسِنِ شَاةٍ [رواه الترميذي وأحمد].
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Hendaknya kalian saling memberikan hadiah. Karena hadiah dapat menghilangkan sifat benci dalam dada. Dan janganlah seseorang meremehkan pemberian tetangganya walaupun hanya secuil kaki kambing.” [HR. at-Tirmidzi dan Ahmad].
Namun jika dengan memberi sumbangan atau hadiah justru melahirkan dilema dan beban bagi seseorang, tentu hal ini menghilangkan semangat dan tujuan syariat pemberian hadiah itu sendiri serta tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Terlebih lagi bagi masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan dan masih memiliki hutang yang harus diselesaikan. Bahkan jika tidak membayar cicilan hutang justru akan menambah beban hutangnya.
Pendapat Majelis Tarjih tentang Membayar Hutang dan Memberi Sumbangan
Terhadap kasus seperti ini, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat bahwa seseorang harus mendahulukan untuk membayar hutangnya ketimbang memberi hadiah di saat ia belum memiliki kemampuan untuk itu. Sebab membayar hutang hukumnya wajib sedangkan memberi hadiah hukumnya mubah.
Tetapi jika seseorang masih bisa untuk membagi antara kewajiban membayar hutang dan memberi hadiah kepada tetangga atau anggota masyarakat yang sedang memiliki hajat, tentu itu solusi yang terbaik untuk menyeimbangkan antara kewajiban individu membayar hutang dan menyumbang untuk keharmonisan hubungan bermasyarakat dan sosial.
Pada sisi lain, Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa masyarakat harus dipahamkan agar tidak gampang memberi stigma (menilai negatif) kepada seseorang yang memberikan sumbangan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Terlebih lagi bagi seseorang yang secara ekonomi berpenghasilan pas-pasan dan memiliki kewajiban lainnya.
Sebab cara-cara seperti itu dilarang oleh agama dan bagian dari upaya pemaksaan dan intimidasi secara moral dan psikologi. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan ummatnya untuk menghargai setiap pemberian seberapa pun jumlahnya. Disebutkan dalam sebuah hadis,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ [رواه البخاري].
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Seandainya aku diundang untuk jamuan makan sebesar satu paha depan (kambing) atau satu paha belakangnya, pasti aku penuhi. Dan seandainya aku diberi hadiah makanan satu paha depan (kambing) atau satu paha belakang pasti aku terima.” [HR. al-Bukhari].
Stigma Negatif dalam Pemberian Sumbangan
Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid sebagaimana ditulis dalam laman resminya, hal lain yang juga perlu diluruskan dalam kehidupan masyarakat adalah terkait dengan perbedaan antara shadaqah, hibah dan hadiah, tujuannya, hubungan timbal balik antara pemberi dan penerima, serta penerapannya dalam berbagai kehidupan sosial.
Bagi masyarakat yang memiliki hajat seperti walimah ursy, mengkhitankan anak, aqiqah, dan berbagai bentuk kenikmatan dan kebahagiaan yang sedang dirasakannya. Maka tentu mereka hendaknya berbagi kebahagiaan dengan masyarakat lainnya dengan mengundang mereka dan menghidangkan makanan atau memberi sesuatu sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Sementara pemberian yang didapatkan dari masyarakat yang diundang atau hadir merupakan hadiah atau kenang-kenangan (cendera mata) semata, yang semestinya tidak ditentukan ukuran, bentuk, maupun nilainya.
Namun yang terjadi di sebagian masyarakat justru sebaliknya. Masyarakat (termasuk yang kurang mampu) seolah-olah dipaksa oleh keadaan dan adat istiadat untuk menyumbang dalam jumlah tertentu kepada seseorang yang justru sedang mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan dari Allah subhanahu wa Ta’ala.
Sementara tidak semua masyarakat memiliki kemampuan dan rezeki yang sama, namun terpaksa harus mengikuti aturan tradisi karena khawatir mendapatkan stigma atau penilaian negatif seperti anggapan tidak mau bermasyarakat dan lain sebagainya.
Berbeda halnya jika anggota masyarakat yang ditinggal mati oleh salah seorang anggota keluraganya, maka tentu masyarakat lain harus ikut bersimpati dan berempati dengan kesedihan yang dialami oleh anggota masyarakatnya, baik dengan datang bertakziyah, turut mendoakan, dan memberikan sumbangan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Ja‘far bin Abdul Muthalib meninggal dunia, dan sebagaimana dijelaskan dalam PHIWM.
Demikian jawaban ringkas dari kami, semoga dapat menjadi solusi terhadap problem yang bapak tanyakan. Wallahu a‘lam bish-shawab.
Sumber: Fatwa Tarjih & Majalah Suara Muhammadiyah, No.18, 2018
Editor: Yusuf