Jelang maghrib, jamaah haji bersiap meninggalkan Arafah berangkat menuju Mina melewati Muzdalifah. Di Muzdalifah, jamaah haji turun dari kendaraan untuk ambil batu kerikil, yang akan digunakan untuk lontar jumrah di Mina esok hari. Umumnya, lepas tengah malam atau jelang subuh, jamaah sudah sampai kemah-kemah yang ada di wilayah Mina. Ibadah di Mina, melempar jamrah, termasuk bagian ibadah haji yang berat, karena jarak tempuh yang cukup jauh. Jarak antara Mina dan Makkah sekitar 3 (tiga) km berjalan kaki melalui tunnel (terowongan) yang dibangun untuk mempermudah perjalanan jamaah haji menuju Makkah.Saat berjalan dari Arafah-Mina kendaraan bus sulit bergerak karena padatnya lalu lintas.
Jamaah haji tinggal di perkemahan Mina selama dua sampai tiga malam, tergantung kapan menyelesaikan melontar jumrah. Setelah melempar jumrah, jamaah perlu kembali lagi ke kemah, dan diulang kembali untuk hari kedua (nafar awal; melontar pertama) dan ketiga (nafar ṡāni; melontar kedua). Seusai nafar awal, jamaah dapat langsung kembali ke pemondokan masing-masing di Makkah dengan berjalan kaki.
Kuasa, Harta, dan Data
Jamrah adalah bangunan seperti gunungan besar yang dilempari kerikil kecil oleh jamaah haji dari jarak yang sudah diatur. Ada tiga buah jamrah, yaitu Jumrah al-Ūlā, al-Wusṭā dan al-‘Aqabah. Apa pesan moral dari praktik ibadah lontar jamrah ini?
Ritual ini terkait dengan setan yang menggoda Nabi Ibrahim agar menolak perintah Tuhan untuk menyembelih anaknya, Ismail. Ketika Nabi Ibrahim dan Ismail berhasil menolak godaan setan, maka pengorbanan Ismail diganti oleh seekor kambing. Penyembelihan hewan kurban pada hari raya Iduladha dan hari-hari Tasyrīq adalah mengikuti jejak perjuangan nabi Ibrahim dan Ismail, yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad Saw dan para pengikutnya.
Praktek lempar jumrah dengan batu kerikil adalah simbol tindakan seorang untuk menolak keras godaan setan dan tarikan-tarikan dan kepentingan-kepentingan hawa nafsu rendah, yang mendorong untuk berbuat kejahatan, serta mengganggu perjalanan spiritualitas-akhlak manusia dalam menjalani kehidupan sebagai abid dan khalifah di muka bumi.
Lempar tiga setan di Mina adalah simbolik. Sepulang ke Indonesia, setan akan tetap ada dan selalu menggoda manusia. Secara substansi setan adalah pikiran kita yang gelap, yang tidak diterangi cahaya. Setan bereaksi ketika ada masukan negatif, masukan dari ketujuh lubang indera kita, mulut, hidung, mata, dan pendengaran. Reaksi negatif terhadap bisikan 7 (tujuh) kita inilah setan. Setan yang yang dilempari bukan setan yang di Mina sejatinya, tapi yang di jiwa kita.
Ada tiga berhala yang harus dilawannya, yaitu: berhala yang ada di Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah. Ketiga berhala itu melambangkan Fir’aun (penguasa penindas), Qarun adalah lambang (penumpuk kekayaan) dan Bal’am adalah lambang (pengetahuan palsu) (Syariati, 2014: 124). Dalam hidup setidaknya manusia akan berhadapan dengan tiga kejahatan ini. Ketiga kejahatan itu antara lain kejahatan tahta (kekuasaan), kejahatan harta (kepemilikan), dan kejahatan data (pengetahuan). Kita berlindung dari serangan tiga kejahatan ini, pada saat yang sama kita melawan agar kita tidak memiliki hasrat “pikiran gelap” untuk berbuat jahat ketiga punya jabatan, harta, atau pengetahuan.
Lawan dari tiga kejahatan itu adalah Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Apa pesan moral dari ketiga tempat ini? Arafah bermakna pengetahuan obyektif dan sains (ilmiah, berbasis data), Muzdalifah adalah kesadaran dan pemahaman subyektif (berbasis wahyu), sedangkan Mina berarti cinta (berbasis hati Nurani). Ketika kembali kepada Allah, ada tiga fase yang harus dilalui yaitu Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Pesan moralnya: agar kita tidak terjebak dan jatuh ke jurang “kegelapan pola pikir”, kita harus mampu menggabungkan cara berpikir berbasis wahyu, berbasis saintifik, dan berbasis hati nurani. Ketika kembali dari tanah suci ke Indonesia, kita memiliki kemerdekaan mutlak dan kepasrahan mutlak ini berlangsung di Mina.
Arafah ini lambang fase pengetahuan sains yang diperoleh dari riset ilmiah berbasis data, yakni hubungan obyektif antara berbagai pemikiran dan fakta-fakta dunia yang ada. Arafah melambangkan awal penciptaan manusia yaitu Adam dan Hawa, pada saat yang sama menjadi awal diciptakannya pengetahuan, sehingga Arafah adalah fase pengalaman dan objektivitas. Visi yang jelas sangat diperlukan butuh cahaya, karena itu dilambangkan ritual ini dilakukan siang hari. Di Muzdalifah melambangkan fase kesadaran, yakni hubungan subyektif di antara berbagai pemikiran. Karena itu kekuatan pemahaman dengan cara konsentrasi dalam kegelapan dan keheningan malam (Syariati: 2014, 109). Muzdalifah adalah fase wawasan dan subyektivitas. Segala aktivitas ritual haji ternyata berakhir di Mina, bukan di Ka’bah. Bergerak dari Arafah ke Mina bermakna kesadaran lahir dari pengetahuan yang syarat dengan cinta.
Pesan moral dari ritual Lontar Jumrah ini adalah untuk menggapai cita-cita luhur dan derajat yang tinggi di sisi-Nya, manusia harus mampu kendalikan hawa nafsu, pola pikir jahat, agar tidak jatuh ke derajat yang rendah. Di Mina manusia membebaskan diri hasrat kejahatan seperti: penindasan saat berkuasa, ketamakan harta, dan penyesatan ilmu. Hari ini yang berkuasa di dunia adalah yang memiliki tahta (jabatan), harta (modal), dan data (pengetahuan). Jadi segala sifat-sifat dan pikiran negatif yang mendorong diri kita berbuat jahat seperti menindas bawahan, menumpuk harta, dan anti-pengetahuan harus kita lawan baik dalam diri-pribadi maupun orang lain.
Editor: Soleh