Baru-baru ini Mendikbud Nadiem mengeluarkan kebijakan secara tiba-tiba tentang “Merdeka Belajar” yang kemudian disusun dengan “Kampus Merdeka”. Ada empat pokok-pokok kebijakan Kampus Merdeka, yaitu: (1) Pembuatan Program Pendidikan (Prodi) baru, (2) Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi (PT), (3) Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), dan (4) Hak belajar tiga semester di luar Program Studi.
Yang mana jika dilihat orientasi kebijakan ini adalah mengarah pada link and match, yakni bagaimana pendidikan tinggi nyambung dan relevan dengan kebutuhan tenaga kerja. Dimana Sudah menjadi “warisan keluhan” bahwa pendidikan di Indonesia justru banyak melahirkan “pengangguran”. Pendidikan dan dunia kerja tidak nyambung dengan dunia kerja.
Di sini visi pendidikan melenceng dari tujuan pendidikan memanusiakan manusia, sehingga mengarah pada liberalisasi pendidikan. Dimana ciri utama ideologi liberal adalah berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik, yang berada di luar pendidikan.
Di situlah pendidikan kemudian menjadi “bisnis sosial” yang berorientasi pada “pasar kerja”, pendidikan bukan sebagai proses “rekonstruksi social” menciptakan “insinyur sosial” yang mampu menciptakan “lapangan pekerjaan”.
Seharusnya pendidikan diarahkan pada kemampuan mahasiswa supaya memiliki kemampuan adaptasi perubahan yang sangat kompleks, sehingga bisa bekerja dimana saja dengan kemampuan complex problem solving. Bukan menyambungkan dunia kerja dan dunia pendidikan.
Cognitive Flexibility
Pada tahun 2015 tiga keterampilan utama yang harus dimiliki lulusan pendidikan tinggi versi pemberi kerja pada 2015 adalah complex problem solving, coordination with others, dan people management. Akan tetapi, terjadi perubahan signifikan antara pada 2015 dan 2020 critical thinking yang sebelumnya urutan ke-10 menjadi urutan ke-2 pada 2020. Artinya kemampuan berpikir kritis menjadi kompetensi penting lulusan.
Selain itu, salah satu keterampilan yang tidak ada pada 2015 dan menjadi keterampilan penting 2020 adalah cognitive flexibility. Amin Abdullah (2017)mendefinisikan “Cognitive Flexibility” sebagai kemampuan untuk beradaptasi dengan proses kognitif dalam menghadapi hal-hal baru dan lingkungan yang berubah-ubah. Keterampilan ini terkait dengan kemampuan berpikir dan bertindak cepat dalam menghadapi hal-hal atau persoalan baru yang belum pernah ada.
Cognitive flexibility, diharapkan di masa depan, lulusan pendidikan dapat menghadapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks, terutama VUCA. Dimana VUCA adalah akronim yang menggambarkan keadaan lingkungan yang penuh tantangan, yaitu volatility (bergejolak), uncertainty (serba tak tentu), complexity (rumit), dan ambiguity (tidak jelas). Akronim digunakan untuk menggambarkan lingkungan yang ruwet, sehingga membutuhkan kemampuan complex problem solving.
Liberal Arts
Untuk menumbukan kemampuan Cognitive flexibility dan complex problem solving yang menandakan berpikir tingkat tinggi, maka dibutuhkan apa yang disebut sebagai Liberal Arts Education, yakni mendekatkan kembali, mengintegrasikan, atau mengait-hubungkan secara intrinsik dan sistemis antara sains, ilmu sosial, dan humaniora, antara keterampilan berpikir ilmiah (scientific skill) dan pemikiran kemanusiaan (humanistic thought).
Pembelajaran Liberal Arts adalah pembelajaran yang mengutamakan pembelajaran yang luas, keluasan cara pandang, komprehensif, integratif, dan terbuka. Selanjutnya mahasiswa mampu berpikir kritis dan kreatif, dan multicultural serta kolaboratif dalam arti bekerja sama secara kolaboratif.
Istilah “liberal” dalam konteks tata nilai masyarakat Indonesia perlu digarisbawahi di sini. Apa yang dimaksud dengan Liberal Arts Education atau kadang disebut Liberal Arts and Sciences adalah menyatunya pendidikan sains, seni, sosial dan humaniora, termasuk agama dalam satu kesatuan yang utuh, tidak terpisah-pisah seperti yang umumnya terjadi selama ini. Jadi, istilah liberal di sini tidak ada hubungannya dengan istilah konservatif, radikal dan liberal dalam konteks kontestasi politik, ekonomi, apalagi agama.
Istilah semakna dengan Liberal Arts disebut juga “General Education”, yakni pendekatan belajar mendorong kemampuan untuk menghadapi kekompleksan, kebinekaan, dan perubahan. Pendidikan yang memberikan wawasan luas, membantu mahasiswa untuk mengembangkan rasa tanggung jawab sosial maupun keterampilan intelektual.
Kampus Merdeka, Bukan Liberalisasi Pendidikan
Selain itu juga pengetahuan mengenai ilmu sosial dan studi humaniora seperti agama, filosofi, bahasa, sastra, menulis, sejarah, seni, antropologi, sosiologi, psikologi, dan komunikasi sangat diperlukan untuk membangun karakter yang kuat buat kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Maka di sini bagus sekali, jika ada kebijakan mahasiswa dibolehkan untuk mengambil mata kuliah di luar program studinya.
Di samping itu, mereka diharapkan memiliki pengetahuan mengenai science of data serta sensitivitas mahasiswa terhadap analisa multidisiplin-, interdisiplin, dan transdisiplin keilmuan. Dengan ini mahasiswa bisa berpikir holistic, menyeluruh dan solutif. Mahasiswa tidak berpikir hitam-putih, malainkan berpikir multiaspek dan bijaksana dalam melihat da menyelesaikan persoalan kehidupan.
Satu permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat manusia didekati, dianalisis, dan diselesaikan dari berbagai perspektif keilmuan secara terpadu-terintegrasi. Inilah inti model berpikir dan pembelajaran di pendidikan tinggi di masa depan. Mahasiswa perlu disiapkan agar memiliki higher order of thinking, complex problem solving capability, dan cognitive flexibility.
Dengan dibekali dengan pengetahuan Liberal Arts alumni perguruan tinggi tidak akan mudah menyerah kalah dalam menghadapi segala perubahan, tetapi akan lebih siap beradaptasi atau mereka malah mampu ikut mengubah keadaan dengan ide baru.
Jadi di sini link and match, nampaknya perlu diluruskan. Bukan menyesuaikan dengan lapangan pekerjaan, akan tetapi mendorong mahasiswa supaya mampu melahirkan pekerjaan-pekerjaan baru di dunia yang kompleks. Sehingga mahasiswa melalui konsep kampus merdeka terhindar dari liberalisasi pendidikan.