Bersyukur sempat bersua dengan para ulama dan cendekiawan dari berbagai aliran. Dari yang disebut liberal karena suka berpikir bebas, hingga ulama fundamentalis yang disebut radikal dan ekstrim. Dua kutub pemikiran yang kerap saling berlawanan.
Pada keduanya, saya suka dan ta’dzim. Menghormati perbedaan pemikiran di kalangan para ulama tidaklah sulit bagi saya .Termasuk mengunyah karya-karyanya sebagai khazanah. Dan saya tak ada berani mengatakan seseorang begini atau begitu sebelum ber-tabayun.
Dengan rendah hati, saya tidak akan sebut tokoh-tokoh ulama itu. Semata untuk menjaga marwah masing-masing ulama yang sangat dihormati oleh para pengikutnya.
Yang pertama, seorang cendekiawan briliant dengan gagasan pembaharuan luar biasa. Dua kali memimpin organisaai Mahasiswa Islam paling berpengaruh:
Bersyukur saya sempat menginap di sebuah komplek luas di tengah persawahan saat itu di sekitar tahun 90 -an. Dikenal sebagai cendekiawan muslim yang sangat briliant, menguasai berbagai bahasa asing, dan kemampuan menulis di atas rata-rata. Gagasannya selalu kontroversial, teliti, dengan referensi yang sangat banyak. Gagasannya tentang desakralisasi dan demitologi, sungguh sangat berpengaruh terhadap corak pemikiran keislaman dan keindonesiaan.
Pun dengan ‘Islam yes partai Islam no?’ menjadi jargon yang sangat berpengaruh pada era orde baru. Dan masih sangat relevan hingga saat ini. Beliau sangat halus ketika bertutur kata. Bahkan jalannya pun sangat lembut, suka tersenyum, selalu puasa Senin-Kamis dan al-bidh, salat malam dan Dhuha dimanapun, mengkhatamkan Al-Qur’an sebulan sekali. Setidaknya itu, yang bisa saya lihat dengan kasat mata.
Meski dikenal punya pena tajam, beliau sangat lembut dalam keseharian. Bersahaja dan hidup biasa jauh dari popularitas meski pikiran-pikirannya jauh melampaui.
***
Lawan bicaranya menuduh beliau macam-macam. Mulai dari liberal, agen Yahudi, antek Amerika, dan lain lain. Seingat saya, beliau tidak membalas berbagai tuduhan itu, baik lisan maupun tulis. Dan menerima dengan lapang dada sebagaimana selalu beliau sampaikan dalam sebuah makalah tentang: Masyarakat Salaf Sebagai Sumber Etik.
Yang kedua, saya menemukan seorang piyantun sepuh yang masih energik dengan tulisan-tulisan yang seperti tak pernah berhenti mengalir. Gagasannya selalu ‘muda’ dan terbarukan. Seorang cendekiawan yang sangat konsisten mengambil jalan ilmu, tampil terdepan sebagai penyangga gagasan moderasi MUHAMMADIYAH dari berbagai gempuran pikiran-pikiran pragmatis.
Berbagai tuduhan atasnya tak kurang berat: liberal, penjilat, antek penguasa, hingga tua pikun. Tapi beliau tetap konsisten. Pikiran moderasinya terus menguat dan menjadi arus utama khazanah pemikiran Islam di Indonesia. Buah pikirannya sangat berpengaruh di dalam dan luar negeri. Beliau bermimpi, Muhammadiyah menjadi rumah besar bagi keragaman dan perbedaan. Tapi gagasannya ini dilawan bahkan oleh anak kadernya sendiri, sebuah paradoks di tengah kemajuan.
Bila beliau di rumah akan salat jamaah di masjid—kata seorang tetangganya ketika saya bertanya apakah beliau ada di rumah. Dan tiga kali saya menjumpai beliau dalam tiga kali kesempatan yang berbeda saya ditemui di masjid baik ketika Ashar, Shubuh, dan Isya. Bersama tamu-tamu lainnya yang datang dari seantero negeri.
Ke-ta’dzim-an bagi saya sangatlah urgen, menghormati para ulama dan guru meski berbeda pendapat adalah kewajiban. Saya tak ada keberanian mengungkap pendapat di hadapan para guru dan saya juga tak punya waktu untuk membenci seseorang yang tidak sepemikiran. Saya suka melihat sisi baik dan ber-ta’dzim kepada para ulama dari mana pun itu. Bukankah kebenaran itu berbasis ilmu, bukan berbasis golongan? Tentunya ilmu dengan guru yang bersanad, bukan berguru pada teks-teks yang digurukan. Meski atas nama kembali kepada Al-Qur’an dan sunah, kebajikan apa pun yang kamu peroleh datangnya dari Allah.