Perspektif

Libur Corona, di mana Literasinya, Mas Nadiem?

3 Mins read

Di sebuah grup Whatsapp saya pernah nyeletuk sebelum kebijakan ‘Belajar di Rumah’—sebuah frasa yang lebih dekat artinya dengan: belajar tanpa arah—digulirkan. “Misalnya, jika nantinya persekolahan diliburkan karena Korona, sekolah mana yang siap sistem dan infrastrukturnya?”. Dan benarlah, beberapa hari kemudian muncul kebijakan ‘Belajar di Rumah’ itu. Ironisnya, sampai saat ini, belum ada kerangka yang baik untuk konsep ini.

Chip Heath & Dan Heath dalam bukunya ‘Switch’ menulis hukum ketiga soal perubahan: ‘Sering kali yang tampak sebagai hambatan, sesungguhnya adalah ketidakjelasan. Dan dalam kebijakan ‘Belajar di Rumah’ ini ketidakjelasan muncul menjadi hambatan. Tentu saja, karena sistem dan infrastruktur pendidikan kita sebagian besar dirancang dengan asumsi dan paradigma pembelajaran konvensional tatap muka, kebingunganlah yang terjadi. Mulai dari materi pembelajaran, pola penyampaian, hingga ribetnya emak-emak yang harus jadi pengawas dadakan.

Eits, stop! saya mau balik ke ‘angle’ awal. Mengapa, momen ‘Belajar di Rumah’ ini minim pola pembelajaran berbasis literasi? Padahal akhir tahun 2019, dipicu oleh buruknya capaian Indonesia dalam Survei PISA 2018 Mas Nadiem meresponsnya dengan kebijakan Merdeka Belajar. Salah satunya adalah soal asesmen kompetensi yang berfokus pada literasi, numerasi, sains dan survei karakter.

Nah, ketika si Covid sialan ini sudah kadung ‘beranak-pinak’ dan sekolah diliburkan, menurut saya adalah momen yang tepat untuk ‘pemanasan’ kebijakan Merdeka Belajar oleh Mas Nadiem ini. Kemendikbud perlu mengeluarkan kebijakan praktis agar momen ‘Belajar di Rumah’ ini sesuai dengan arah kebijakan Merdeka Belajar itu.

Sebagian peneliti memprediksi pandemi ini selesai enggak lama-lama amat, itu dari Michael Levitt biofisikawan Stanford. Sementara itu, Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi (P2MS) ITB selaras dengan penelitian Alumni Departemen Matematika UI memperkirakan kasus Korona di Indonesia mereda awal Juni 2020.

Baca Juga  Nasionalisme & Fundamentalisme Era Disrupsi: Refleksi Pemikiran Buya Syafi’i
***

Itu jika kebijakan yang diambil pemerintah tepat, plus masyarakat patuh dengan kebijakan tersebut. Bagaimana jika kemungkinan terburuk yang terjadi? Pemerintah salah langkah plus masyarakat enggan menurutinya (sesuai dengan hukum perubahan kedua dari Heath, ‘apa yang tampak sebagai keengganan, sering kali adalah terkurasnya daya—dalam kasus ini adalah: uang dan kepercayaan). Bisa jadi selesainya Pandemi ini sampai ditemukannya vaksin. Kapan itu? Bisa belasan bulan lagi.

Menurut saya nih, Mas Nadiem perlu mempertimbangkan kemungkinan terburuk. Bagaimana jika pandemi ini berakhirnya lama? Pembelajaran daring seperti apa yang harus disiapkan? Janganlah setiap sekolah dan guru dibiarkan menentukan sendiri. Kalau sendiri-sendiri, apa makna ‘Sistem Pendidikan Nasional’?

Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19) perlu diperjelas lagi. Utamanya dalam hal ‘Proses Belajar dari Rumah’, seperti apa yang harus dilakukan guru di jenjang pendidikan tertentu dalam mata pelajaran tertentu. Lagi-lagi, pola ini harus selaras dengan paradigma Merdeka Belajar soal literasi, numerasi, sains, dan karakter.

Keluhan banyak siswa dan emak-emak soal penugasan, tidak sepenuhnya benar. Lha kalau belajar dari rumah, ya memang bentuknya penugasan. Apa anak dan guru itu harus video-call berjam-jam? Tentu tidak. Mungkin interaksi dua arahnya cukup sebentar, dan dilanjutkan dengan penugasan. Tapi penugasan yang bukan sekedar ‘menjawab soal’.

Ada banyak penugasan yang sesuai dengan kebijakan Merdeka Belajar. Misalnya: membaca dan menceritakan kembali, menulis ragam teks tertentu, melakukan dan melaporkan pengamatan, hingga mengerjakan proyek-proyek sosial.

***

Topiknya disesuaikan dengan kompetensi dasar sesuai jenjang serta dilakukan integrasi antar mata pelajaran. Satu penugasan mandiri untuk penilaian beberapa mata pelajaran, bukan sendiri-sendiri. Sediakan buku bacaan dalam format digital yang mudah diakses peserta didik. Jangan buku pelajaran, tapi buku referensi / bacaan terkait penugasan itu.

Baca Juga  Tips Agar Tidak Jadi Beban Hidup Orang Lain

‘Siswa kita itu masih belum melek digital’, mungkin ada yang berpendapat seperti itu. Belum melek apanya, lha wong anak kelas 1 SD sudah pandai main Mobile Legend atau Minecraft kok. Padahal itu aplikasi yang rumit loh! Coba saja browsing, konsumsi internet naik saat libur corona itu arahnya ke mana? Ya ke game-game online seperti itu.

‘Tidak semua anak punya akses internet atau punya gawai’. Memang tidak semua, tapi seberapa banyak? Tentu jauh lebih banyak yang punya gawai dan bisa akses internet. Kalau soal kemampuan membeli paket data, memang tidak semua bisa.

Justru karena itu, aktivitas belajar mandiri tidak boleh hanya mengandalkan konten digital. Aktivitas seperti pengamatan dan menulis itu bisa dilakukan tanpa gawai dan tanpa akses internet.

Ayo Mas Nadiem, buatlah libur corona ini sebagai momen transformasi pendidikan nasional. Dengan memperkuat pembelajaran berbasis literasi, baik digital maupun media konvensional. Masak hanya karena tidak bisa tatap muka lalu sistem pendidikan nasional kita terhenti semua?

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds