Terminal Simpang Kawat kota Jambi, akhir Ramadan 1986. Meski hari menjelang sore, udara masih terasa panas. Bis Jambi Indah jurusan Jambi-Jogja yang aku tumpangi mulai bergerak perlahan keluar terminal. Aku duduk di kursi bagian depan, persis di belakang sopir. Di samping kanan bis, sebuah mini bis jurusan Jambi-Kerinci juga siap meluncur. Di dalamnya terdapat beberapa orang berwajah gembira.
Mereka memulai perjalanan mudik menuju kampung halaman. Panri, teman masa kecilku di desa yang menjadi sopir mobil itu, melihat ke arah aku dan berteriak keras, “Ayolah temanku, kita pulang ke Kerinci saja. Empat hari lagi hari raya. Lupakan Jogja. Mari kita bergembira di kampung halaman.” Tidak mudah bagiku untuk mengambil keputusan.
Aku berada di simpang jalan. Bergembira bersama keluarga dan para sahabat dalam suasana hari raya di kampung halaman. Hal yang sudah bertahun-tahun terakhir tidak bisa aku rasakan. Atau meneruskan perjalanan melanjutkan rintisan masa depan, kembali ke Jogja. Maka dari kaca jendela bis Jambi Indah, aku hanya bisa tersenyum getir dan melambaikan tangan kepada Panri. Mataku terasa basah. Tidak terucap sepatah katapun.
Setahun sebelumnya aku tamat SMA di Jogja. Cita-citaku untuk melanjutkan kuliah kandas. Orang tua dan keluarga telah mengangkat bendera putih. Aku diminta mundur dulu selangkah, pulang kampung sementara, mengumpulkan sumberdaya untuk kemudian kembali lagi ke Jogja. Aku tidak mau. Kalau aku pulang pada adatnya, riwayat hidupku tamat. Maka aku meminta izin ke ayahku untu survival sendiri di Jogja.
Nasib baik membawa aku bisa bekerja sebagai staf admin di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Jogja. Bekerja disini tentu meringankan beban finansialku. Aku tidak lagi harus membayar biaya kos. Sebuah kamar di pojok masjid boleh aku tinggali. Aku juga tidak harus memikirkan uang makan. Sebagai staf sekolah, aku bisa makan tiga kali sehari di dapur asrama.
***
Diterima bekerja di Muallimin ini juga merupakan sebuah kebanggan bagiku. Bangga karena bisa hidup tanpa membebani orang tua lagi. Di samping itu, ini yang paling penting, aku tetap bisa memelihara cita-cita untuk tahun depan bisa kuliah, sambil bekerja.
Sementara itu, teman-teman SMA-ku menikmati kegembiraan mereka sebagai mahasiswa baru. Sebagian besar diterima di PTN yang mereka idamkan. Pada umumnya, mereka kuliah di program studi atau jurusan yang bergengsi di perguruan tinggi hebat di tanah air. Maklumlah kami adalah alumni dari SMA Muhammadiyah-1, lebih dikenal dengan SMA Muhi, salah satu SMA terfavorit di Jogja.
Sebagaimana mereka, aku juga mengikuti seleksi Sipenmaru. Aku memilih FMIPA jurusan matematika UGM sebagai pilihan pertama dan salah satu jurusan pada Fakultas Petanian Universitas Jambi sebagai pilihan kedua. Kedua PTN itu tidak ada yang mau menerima aku menjadi mahasiswa baru mereka.
Untuk kuliah di PTS, tentu tidak masuk dalam opsi pilihanku. Kalaupun diterima di PTN pun, keluargaku sudah menyerah. Apalagi kuliah di PTS. Maka pada periode ini seakan aku putus hubungan dengan teman-teman SMA-ku. Pertama mereka sibuk dengan kampus baru. Kedua aku juga sibuk dengan pekerjaanku. Meski demikian kami sama-sama bahagia. Mereka bahagia dengan status sebagai mahasiswa baru. Aku bahagia dengan satus sebagai orang baru berdikari, berdiri di atas kaki sendiri.
Sambil bekerja di Muallimin, aku melanjutkan aktivitasku sebagai Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) tingkat Kota Jogja. Aktivitas di IPM, yang merupakan OSIS bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah, menjadi sisi lain dari kehidupanku pada masa-masa mencari masa depan ini. Aku sudah memulainya sejak masuk kelas satu SMA Muhi.
Awalnya menjadi panitia kegiatan, menjadi anggota seksi pengurus, lalu menjadi koordinator departemen di IPM Ranting. Karena keaktifan dan pelatihan kader yang aku ikuti belakangan, aku bisa bergabung di IPM tingkat Daerah/Kota Jogja. Keaktifan ini juga yang belakangan membantu mengantarkan aku diterima bekerja di Muallimin.
Setelah menjadi pegawai Muallimian, aku masih aktif di IPM Daerah. Pada masa ini sahabat-sahabatku yang menjadi pengurus pada umumnya sudah menjadi mahasiwa. Jadi mereka adalah aktivis organisasi pelajar rasa mahasiswa. Sedangkan aku adalah aktivis organisasi pelajar rasa karyawan swasta. Hehehe.
Lika-liku Usaha Mendapatkan Beasiswa
Menjelang Ramadan 1986, tersiar berita tentang peluang kuliah dengan beasiswa penuh di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Solo. Disebutkan bahwa kuliah ini dikhususkan bagi utusan Muhammadiyah dari seluruh Daerah se Indonesia. Mereka yang diterima otomatis menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UMS sekaligus menjadi mahasantri di Pondok Shabaran UMS.
Bagiku ini tentu peluang yang bagus. Meski tidak sepenuhnya sesuai dengan cita-citaku. Sejak masuk SMP di Jogja tujuh tahun sebelumnya, aku bercita-cita untuk kuliah di jurusan eksakta. Ini karena pertimbangan nilai raportku yang menonjol dalam mapel matematika. Dalam raport SD dan SMP-ku, demikian juga ijazahku, ada angka 9 dan 10 untuk matematika.
Di UMS prodi yang ditawarkan adalah Ilmu Perbandingan Agama dan Pendidikan Agama Islam. Dua jurusan ini jelas bersimpangan agak jauh dari cita-citaku itu. Apalagi UMS berada di Solo. Bukan di Jogja seperti UGM yang menjadi obsesiku sejak pertama meninggalkan kampung halaman. Tetapi dalam kondisi survival sendiri saat itu tawaran kuliah dengan beasiswa tentu membuatku harus realistis. Cita-cita adalah suatu hal. Tercapainya cita-cita itu adalah suatu hal yang lain. Kadang keduanya sejalan. Kadang mereka bersimpang jalan.
Maka pada awal ramadan 1986 itu, aku pulang kampung ke Kerinci. Pulang kampung kali ini aku lakukan dalam rangka menembus beasiswa UMS tersebut. Untuk bisa ikut tes program beasiswa ini, aku memerlukan rekomendasi dari PDM Kerinci. Tentu saja pulang kali ini aku manfaatkan untuk melepas rindu kepada keluarga.
Ada bermacam perasaan menyertaiku. Ada sedih karena tidak menyandang status sebagai mahasiswa. Tetapi melihat kondisi yang ada menjadikan aku makin ikhlas menerima realitas ini. Pertama, ekonomi Kerinci dalam kondisi menurun seiring dengan melemahnya harga komoditas andalan yaitu kulit manis dan kopi.
***
Kedua, kondisi ayah dan ibuku sudah nampak melemah dimakan usia. Pada 1986 ini, ayahku sebagai tulang punggung ekonomi keluarga sudah berumur 76 tahun. Sebuah umur yang tidak lagi produktif untuk petani tradisional yang mengandalkan tenaga manusia. Tetapi pulang kampungku kali ini juga membawa rasa bangga. Kebangaan yang sama di hadapan teman-teman SMA-ku dulu, bahwa aku bisa hidup mandiri di rantau tanpa membenani orang tua lagi.
Aku tidak bisa berlama-lama menikmati kampung halaman. Pertengahan Ramadan aku meluncur ke Jambi. Ini merupakan pengalaman pertamaku menyinggahi ibu kota propinsi kami ini. Meski sudah merantau tujuh tahun ke Jogja aku belum pernah menginjakkan kaki di kota ini. Ini karena jalur Kerinci-Jogja saat itu lebih mudah dengan tidak melewati kota Jambi.
Saat pertama kali berangkat ke Jogja pada 1979, aku justru lewat kota Padang. Jalan lintas Sumatera belum lagi selesai. Dari Pelabuhan Teluk Bayur-Padang aku melanjutkan perjalan dengan naik kapal menuju Jakarta. Perjalanan berlanjut dengan naik kereta api dari Jakarta menuju Jogja. Tahun 1981 jalan lintas Sumatera sudah mulai lancar dilalui.
Tetapi jalur itu juga tidak melalui kota Jambi. Dari Jogja, bis akan melalui Lampung-Lahat-Linggau-Saroloangun dan aku turun di kota Bangko. Dari Bangko kemudian perjalanan berlanjut dengan rute Bangko-Kerinci. Sebaliknya dari Kerinci ke Jogja aku juga tidak perlu transit di Jambi. Aku bisa naik bis dari Bangko langsung menuju Jogja. Keperluan khusus berburu beasiswa kuliah di UMS melalui Muhammadiyah Wilayah Jambi itulah yang menghantarkan aku berkunjung ke kota Jambi untuk pertama kali.
***
Perjalanan pertama ke Jambi ini tentu saja aku manfaatkan untuk bersilaturrahmi. Aku mengunjungi keluaga dan sahabat masa kecilku sedesa yang kini tingal di Jambi. Aku menepat di rumah Nzuw Bukhari, saudara sepupu tingkat duaku sekaligus senior kami yang menjadi pejabat di Kanwil Depdikbud Propinsi Jambi. Beliau sekeluarga tinggal di Lorong Cadas Telanaipura. Ternyata di seputar Cadas ini banyak bermukim orang sedesaku yang merantau untuk bekerja maupun untuk sekolah atau kuliah di Jambi.
Di Cadas juga, aku bertemu kembali Harmita teman akrabku satu kelas saat SD di desa. Dia kini sudah menjadi nyonya Hidayat pamanku dan tetangga rumahku di desa. Aku juga bersilaturrahmi dengan beberapa keluaga lainnya yang lama tidak bertemu. Kepada mereka aku melepas rindu. Kepada mereka aku bercerita tentang perjalanan hidupku selama ini di Jogja. Kepada mereka juga aku mengungkapkan keinginanku untuk mengambil peluang kuliah dengan beasiswa di Pondok Shabran yang menghantarkan aku sampai ke kota Jambi kali ini.
Aku ke Jambi memang dengan tujuan pokok mengejar jadwal tes masuk Pondok Shabran. Tes akan diselenggarakan di kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jambi. Rencanaku setelah tes pada pertengahanan Ramadan aku bisa pulang kembali ke Kerinci melanjutkan melepas rindu berlebaran di kampung halaman. Muallimin Jogja tempatku bekerja masih libur sampai seminggu pasca lebaran. Maka dengan membawa map yang berisi rekomendasi dari PDM Kerinci aku mendatangi kantor PWM Jambi. Tetapi sesampai disana aku terduduk lemas.
Aku terkejut karena ternyata jadwal tes ditunda menjadi seminggu setelah Idul Fitri. Tentu tidak mungkin bagi aku mengikuti tes lagi di Jambi. Karena pada saat itu, aku sudah harus aktif bekerja lagi di Jogja. Dalam situasi ini aku harus memilih: pertama, pulang kembali ke Kerinci melanjutkan kegembiraan mudik lebaran.
***
Resikonya tidak cukup waktu untuk mengikuti tes masuk Pondok Shabran. Kedua, menunda kegembiraan pulang kampung. Keuntungannya aku bisa memperoleh peluang untuk gembira yang lebih lama di masa depan. Maka aku memutuskan melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja. Untuk itulah aku berada di Terminal Simpang Kawat dan bertemu Panri di persimpangan perjalanan.
Sebulan kemudian aku merasakan keadilan Allaah dalam fragmen kecil dari sejarah hidupku ini. Setelah tiga hari tiga malam perjalanan darat dengan bis ekonomi non AC akhirnya aku sampai di Jogja. Perasaan sedih tidak bisa berhari raya di kampung halaman masih melekat erat. Di Muallimin suasana sangat sepi. Ini kan hari-hari terakhir Ramadan. Tentu para santri sedang bergembira di kampung halaman masing-masing.
Hanya ada satu dua santri dari luar pulau yang jauh yang tidak mudik. Mereka menjadi temanku melewati sepi di masjid Muallimin. Tetapi sisi gembiranya ternyata aku bisa mendaftar di Pondok Shabran sebagai mahasiswa utusan Muhammadiyah Jogja. Ini karena aku memilki KTP Jogja. Maka aku segera mencari rekomendasi di kantor Muhammadiyah Kota Jogja. Tidak sulit bagiku untuk mendapatkannya. Aku sudah familier dengan kantor ini. Kan aku sudah aktif di IPM Daerah Jogja yang kantornya berada dalam satu lokasi dengan kantor Pimpinan Muhamamdiyah Daerah Kota Yogyakarta di Komplek Perguruan Muhammadiyah Purwodiningratan.
Akhirnya aku diterima di Pondok Beasiswa ini, Pondok Shabran UMS. Alhamdulillaah aku tidak bisa tes di Jambi sebagai utusan PDM Kerinci tapi aku diterima sebagai utusan PDM Kota Jogja. belakangan aku tahu bahwa ini sesuatu yang membawa dampak berbeda. Kalau aku masuk sebagai utusan PDM Kerinci, maka aku harus memikirkan living cost selama kuliah.
***
PDM Kerinci tidak memilki program dan cukup dana untuk membiayai kadernya kuliah di Pondok Shabran. Jadi ini bisa menjadi urusan baru lagi yang tidak ringan bagiku. Dengan menjadi utusan PDM Kota Jogja, aku bisa kuliah dengan fokus. Living cost mahasiswa Pondok Shabran utusan PWM DIY yang berjumlah 21 orang dan berasal dari lima PDM ditanggung oleh masing-masing PDM pengirim. Bahkan setiap bulan kami mendapat uang saku sepuluh ribu rupiah. Subhanallaah.
Keberanian mengambil keputusan, kesedihanku di terminal Simpang Kawat, perjalanan tiga hari tiga malam dengan bis non AC ekonomi Jambi-Jogja pada akhir ramadan 1986, sepertinya menjadi tiket masuk bagi aku menembus beasiswa kuliah all in selama lima tahun di Pondok Shabaran UMS. Alhamdulillaah.