Mu’tazilah sebagai salah satu teologi Islam memiliki lima doktrin pokok (Al-Ushul al-Khamsah) yaitu; at-Tauhid (Pengesaan Tuhan), al-Adl (Keadilan Tuhan), al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-Manzilah baina al-Manzilatain (Posisi di antara dua posisi), dan al-Amr bil Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
At-Tauhid (Pengesaan Tuhan)
Dalam pandangan Mu’tazilah, tauhid berarti mengesakan Allah dengan penyucian yang murni tanpa adanya sikap tasybih (antropomorfisme). Bagi mereka, Allah merupakan dzat yang Esa tanpa ada sesuatu yang serupa dengannya. Sebagaimana dalam Al-Qur’an dijelaskan; “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. 42.11).
Namun pandangan tauhid Mu’tazilah ini lebih menekankan penafikan terhadap sifat Allah, bagi mereka Allah itu suci dari sifat-sifat yang sama seperti makhluk yang lain. Allah tidak berupa substansi ataupun materi, bagi mereka orang-orang yang melakukan tasybih (antropomorfisme) adalah bagian dari syirik.
Sebab sikap penafikan Mu’tazilah terhadap sifat Allah ini, mereka disebut al-Mu’aththilah (kaum yang meniadakan sifat-sifat Allah). Pada dasarnya, Mu’tazilah menekankan aspek transenden dalam diri Allah dengan pendekatan yang memahami bahwa dzat Allah merupakan sesuatu yang abstrak, sehingga meminimalisir paham-paham tasybih (antropomorfisme).
Bagi Mu’tazilah, mustahil Allah memiliki sifat yang sama dengan makhluknya, maka dari itu mereka menta’wil hal-hal yang berkenaan dengan sifat Allah. Ta’wil bermakna memalingkan lafadz yang hakiki (asli) menuju makna yang majazi (metaforik).
Tentunya ta’wil mereka masih dalam konteks kebahasaan yang lazim digunakan. Beberapa contoh misalnya “Yaddullah” (Tangan Allah) (QS. 38:75) tidak dimaknai secara literal sebagai Tangan namun adalah lafaz majazi yang bermakna kekuasaan Allah. Atau “Istiwa alal Arsy” (bersemayam diatas Arsy) (QS. 7:54) tidak dimaknai sebagai dzat Allah yang bersemayam diatas Arsy, yang secara tidak langsung menyatakan bahwa Allah itu bergantung pada tempat, namun bermakna kekuasaan Allah yang meliputi segenap penjuru semesta.
Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Mu’tazilah menekankan konsep keadilan dalam diri Allah. Keadilan dalam diri Allah menunjukan bahwa Allah itu memiliki sifat baik dan tidak mungkin berbuat hal yang buruk. Konsep keadilan ini melahirkan sebuah istilah “al-Shalah wa al-Ashlah” yang berarti segala sesuatu dilakukan Tuhan atas dasar kemaslahatan manusia. Ini menandakan bahwa Allah itu terikat dengan sifatnya yang selalu berbuat adil, dan mustahil Allah akan berbuat tidak adil.
Bagi mereka, Allah itu Maha Adil, adapun ketidakadilan bukan dari andil Allah. Karena Allah terikat dengan kebaikan, adapun keburukan adalah bagian dari ketiadaan Allah. Dalam pandangan Mu’tazilah, manusia diberikan kehendak bebas (free will) dalam menentukan setiap perbuatan.
Sebagaimana dalam Al-Qur’an dijelaskan; “Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaan. Sungguh beruntung mereka yang mensucikannya (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya” (QS. 91:8-10).
Bagi mereka, setiap perbuatan yang berkenaan dengan keburukan adalah murni dari manusia itu sendiri. Allah tidak mungkin menciptakan kejahatan, adapun kejahatan adalah bagian dari pilihan yang manusia lakukan. Manusia diberikan akal untuk menimbang perilaku baik dan buruk berdasarkan apa yang telah Allah firmankan dalam Al-Qur’an. Pada akhirnya, perintah Allah itu tergantung dari bagaimana hamba-Nya melaksanakan perintah tersebut.
Al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan ancaman Tuhan)
Konsep ini menekankan tentang janji dan ancaman Allah terhadap apa yang telah manusia lakukan. Setiap apa yang telah manusia lakukan, akan mendapatkan konsekuensi. Allah memberikan pahala dan dosa sesuai dengan usaha manusia.
Apabila manusia mengerjakan kebaikan, maka ia akan mendapatkan ganjaran berupa pahala (reward) dan apabila mengerjakan kejahatan maka akan mendapatkan dosa (sin).
Dalam Al-Qur’an dijelaskan; “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS.99:7-8).
Konsep ini sangat berkaitan erat dengan al-Adl (Keadilan Allah). Karena Allah Maha Adil, maka segala hal yang telah manusia lakukan akan mendapatkan balasan yang setimpal, sesuai dengan amal yang telah mereka kerjakan.
Dalam pandangan Mu’tazilah, iman (faith) tidak hanya dengan menyatakan keesaan Allah atau meyakini Allah dalam hati bahwa tidak ada dzat yang wajib disembah selain-Nya, namun juga berkenaan dengan menjauhi dosa yang telah diperingatkan Allah.
Sebagaimana definisi Iman dalam sebuah hadits; “Iman itu diyakini dalam hati, diucapkan dalam lisan dan diamalkan dalam perbuatan”(HR. Ibn Majah). Dalam hadits ini mengisyaratkan bahwa Iman tidak hanya persoalan keyakinan dan lisan belaka, namun juga menyangkut perbuatan manusia, karena perbuatan itu adalah representasi dari hati dan lisan. Jikalau terjadi kontradiksi antara hati, lisan dan perbuatan, maka sesungguhnya iman mereka belum sempurna.
Adapun konteks pemikiran ini kaum Mu’tazilah ingin meminimalisir peluang para penguasa zalim pada saat itu, yang suka melanggar aturan Allah, dan kemudian mereka ingin meraih ampunan Allah serta syafaat dari Rasulullah. Mu’tazilah menjelaskan bahwa hukum Allah itu pasti adil dan Allah tidak bisa ditipu, kecuali mereka bersungguh-sungguh kembali ke jalan yang Allah ridhoi (taubat an-Nasuha).
Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
Konsep ini merupakan yang hal yang paling terkenal dalam pemikiran Mu’tazilah, bahkan cikal bakal berdirinya Mu’tazilah berawal dari pembahasan ini. Bagi mu’tazilah, para pelaku dosa besar bukanlah kafir, apabila masih beriman kepada Allah dan Rasul. Namun di lain sisi, mereka juga tidak bisa dikatakan sebagai mukmin, karena iman mereka tidak lagi sempurna. Dalam hal ini mereka tidak ditempatkan dalam surga ataupun neraka, tetapi dalam satu tempat di antara kedua tempat tersebut. Allah akan menampakkan keadilannya kepada para pelaku dosa besar. Kaum muslimin yang melakukan dosa besar, mereka akan diadili oleh Allah, sehingga status mereka sebagai orang yang beriman ataupun kafir, ada di tangan Allah.
Konsep ini sebenarnya adalah sikap netral terhadap kedua kelompok yang bertikai agar tidak ada tendensi antar kedua kelompok yang berselisih. Pada pemahaman ini, Mu’tazilah berusaha melakukan kompromi politik dengan cara membiarkan segala hal yang membingungkan agar diserahkan kepada Allah saja kelak di akhirat. Menurut mereka, tidak ada yang bisa memutuskan bahwa para sahabat nabi yang terlibat perang saudara itu dalam posisi yang benar ataupun salah.
Al-Amr bil Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar
Konsep ini membahas tentang perintah Allah untuk menyeru manusia kepada kebaikan dan mencegah segala celah untuk berbuat munkar. Setiap muslim memiliki andil terhadap tegaknya kebaikan dan mencegah perilaku munkar.
Menurut Mu’tazilah, amar ma’ruf dan nahi munkar itu wajib ditegakkan guna menjaga keadilan serta melawan ketidakadilan. Kewajiban amar ma’ruf nahi munkar ini dapat dilaksanakan dengan lisan, tangan ataupun pedang. Hal-hal yang berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar ini dapat berupa pemberian nasihat antar sesama, kritik terhadap penguasa yang tidak adil dalam menentukan sikap atau bahkan melawan mereka apabila telah jauh dari nilai-nilai kebaikan.
Demikianlah lima doktrin pokok teologi Mu’tazilah, guna menambah ilmu dan wawasan pengetahuan kita bersama.
Editor: Soleh