Islam masuk ke Nusantara dengan berbagai cara dan rintangan yang dihadapinya. Penyebaran Islam ke Nusantara tidak lepas dari peran para tokoh yang mensyiarkannya. Para tokoh tersebut pergi ke berbagai daerah untuk menyebarkan Islam, tidak terkecuali ke tanah Betawi. Betawi merupakan suku di Indonesia. Pada zaman kolonial Belanda, Betawi menjadi penduduk mayoritas di Jakarta yang pada saat itu bernama Batavia.
Suku Betawi menurut beberapa sumber terbentuk pada abad ke-17, merupakan hasil dari campuran beberapa suku bangsa seperti, Bali, Jawa, Sumatera, Cina, Arab dan Portugis. Jakarta yang terletak di pesisir, dalam proses berjalannya waktu menjadi kota dagang, pusat administrasi, tempat aktivitas politik, pusat Pendidikan, dan budaya. Sejak saat itu Jakarta menjadi arena perbauran budaya para pendatang dari berbagai kelompok etnis.
Karena berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, penduduk mulai mencari identitas kelompok agar terbentuk masyarakat yang homogen dengan sendirinya. Nama “Betawi” berasal dari kata “Batavia” yang berubah menjadi “Batavi” atau “Betawi (Alfadillah, 2021). Adapun mayoritas suku Betawi adalah penganut agama Islam.
Perkembangan Islam di Betawi
Ada banyak versi bagaimana Islam masuk dan berkembang di Betawi. Menurut beberapa sumber Islam telah masuk ke tanah Betawi sejak abad ke-17. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan beberapa masjid tua di Jakarta, diantaranya masjid Kampung Sawah, Jakarta Barat yang berdiri tahun 1717, kemudian masjid Angke, Jakarta Barat berdiri 1760, dan Masjid Marunda, Jakarta Utara yang berdiri di awal abad ke-17 (Siregar, 2022). Sejarawan keturunan Jerman, Adolf Heuken Sj, dalam buku “Masjid-Masjid Tua di Jakarta”, menulis bahwa tiada masjid di Jakarta sekarang ini yang diketahui sebelum 1640-an. Dia menyebutkan Masjid al-Anshor di Jl. Pengukiran II, Glodok, Jakarta Kota, sebagai masjid tertua yang sampai saat ini masih berdiri (Shahab, 2021).
Selain itu, menurut Abdul Aziz, dalam “Islam dan Masyarakat Betawi”, mengatakan bahwa awal masuknya Islam adalah pada saat Fatahillah (Fadhillah Khan) menyerbu Sunda Kelapa untuk mengusir pendudukan bangsa Portugis pada 22 Juni 1527 (Jakarta, 2024). Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi. Islam masuk pertama kali di tanah Betawi dari kedatangan Syekh Hasanuddin yang kemudian dikenal dengan nama Syekh Quro atau Syekh Quratul Ain atau Syekh Mursahadatillah.
Syekh Quro adalah putra dari salah seorang ulama besar di Makkah, yaitu Syekh Yusuf Siddik, yang menyebarkan agama Islam di Campa (Kamboja).
Adapun alasan Syekh Quro dijadikan sebagai ulama Betawi pertama oleh Ridwan Saidi adalah karena ia adalah orang Campa. Menurut Ridwan Saidi, orang Campa adalah orang Melayu yang pernah memiliki Kerajaan. Mereka mempunyai hubungan erat dengan orang-orang Malabar yang juga akrab dengan orang-orang di Jawa bagian Barat sejak kurun sebelum masehi. Baik orang Campa maupun orang Betawi sudah biasa dengan kehidupan yang pluralis. Maka transformasi nilai-nilai Islam ke komunitas Betawi tidak mengalami kesulitan (JIC, 2016).
Bahkan, masih menurut Ridwan Saidi, setidaknya ada lima fase tentang Sejarah perkembangan Islam di Tanah Betawi: (Islam, 2019).
1). Fase awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527 M), oleh Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpi Dato Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawa Bangke.
2). Fase lanjutan penyebaran Islam (1522-1650 M), oleh Fatahillah, Dato Wan, Dato Makhtum, pangeran Sugiri Kampung Padri, dan Kong Ja’mirin Kampung Marunda.
3). Fase Lanjutan kedua penyebaran Islam (1650-1750 M), oleh Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya dan keturunannya yang berbasis di Masjid al-Manshur Jembatan Lima, keturunan Pangeran Kadilangu Demak, yang berbasis di Masjid al-Makmur, Tanah Abang.
4). Fase perkembangan Islam (1750 sampai awal abad ke-19), oleh Habib Husein Alaydrus Luar Batang dan Syekh Junaid al-Batawi, Pekojan.
5). Fase kedua perkembangan Islam dari abad ke-19 hingga sekarang.
Islam di Betawi memang memberikan nafas tersendiri yang cukup kuat pada kebudayaan dan beberapa kesenian Betawi. Islam bahkan telah menjadi identitas yang melekat kuat pada orang Betawi. Sebagaimana dikatakan oleh Susan Blackburn dalam bukunya, “Jakarta: Sejarah 400 Tahun”, mengungkapkan setidaknya ada dua ciri khas dari etnis Betawi, pertama ia beragama Islam dan fanatik terhadap agamanya. Ungkapan itu bukan tanpa alasan, di Batavia dulu, Orang Selam adalah sebutan pembeda orang Betawi dari kelompok etnis lain. R.A. Sastradama, seorang turis lokal dari Surakarta ketika berkunjung ke Batavia pada tahun 1870 menuturkan bahwa penduduk kota umumnya menyebut diri Orang Selam. Istilah Selam adalah pengucapan lokal untuk kata Islam (Islam, 2019).
Editor: Soleh