Review

Lima Jalan Pencerahan Hidup Buya Syafii

4 Mins read

Dalam sebuah ungkapan Pramoedya Ananta Toer yang terkenal, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Tulisan review ini merupakan tulisan yang sengaja dibuat untuk mengenang pemikiran reflektif Buya Syafii Maarif. Setelah setahun lalu meninggalkan kita pada 27 Mei 2022 silam. Nyatanya, Buya Syafii bukan lagi menjadi milik dan simbol ketokohan Muhammadiyah saja, melainkan telah menjadi milik bangsa seutuhnya.

Sementara dengan membaca tulisan-tulisan reflektifnya, pesan-pesan kemanusiaannya, terlepas pembaca IBTimes.ID yang budiman memilih buku yang mana saja, rasanya tetap relevan hingga kapan pun. Termasuk di antaranya buku yang berjudul Membumikan Islam: Dari Romantisme Masa Silam Menuju Islam Masa Depan. Meski buku ini diterbitkan ulang pada tahun 2019, namun sebenarnya ‘usia tulisan’ sudah lebih dari dua dekade.

Secara umum pembahasan dalam buku ini terbagi kepada lima bagian, pertama, Al-Qur’an dan Beberapa Kajian (6 tulisan); Kedua, Agama dan Budaya Masyarakat (5 tulisan); Ketiga, Dakwah dan Perubahan Masyarakat (7 tulisan); Keempat, Islam dan Politik di Indonesia (5 tulisan); serta terakhir mengenai Demokrasi dan Nilai-Nilai Insani (13 tulisan).

Utopia Pemimpin yang Adil?

Judul besar buku ini, Membumikan Islam dalam buku Buya Syafii Maarif, jika dilihat secara utuh seluruh tulisannya, hendak menegaskan bahwa membumikan Islam demi menciptakan peradaban harus dimulai dengan kembali kepada spirit normatif al-Qur’an dan hadis. Tentu saja ditopang dengan keilmuan-keilmuan lain sebagai penunjang dalam pemahamannya. Membaca tulisan-tulisan Buya pada buku ini tidak jarang diperkuat dengan landasan normatif al-Qur’an.

Buya Syafii sebagai seorang sejarawan misalnya, menceritakan sejarah Islam ketika peradaban Islam Baghdad dihancurkan pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu pada 1258. Bagi Buya Syafii, fenomena tersebut tidaklah mengejutkan, sebab kemewahan istana dan perpecahan di kalangan elite politik dan militer dinasti Abbasiyah kala itu yang menjadi sebab utamanya.

Baca Juga  Review Buku Ekofeminisme V: Menafsirkan Ulang Kata "Nafkah"

Apa yang Buya Syafii jelaskan bisa jadi relevan dengan keadaan hari ini sebagai sebuah kritik sekaligus nasihat. Buya menjelaskan, bahwa pesan-pesan yang dapat diambil dalam al-Qur’an mengenai jatuhnya suatu peradaban berkait kelindan dengan sikap lalai dan zalim para penguasa dan elite.

Kemudian Buya Syafii mengutip ayat al-Isra (17): 16, “Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah). Lalu, mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu sehingga pantaslah berlaku padanya perkataan (azab Kami). Maka, Kami hancurkan (negeri itu) sehancur-hancurnya.” Buya Syafii menggaris-bawahi sikap mutrafin elite politik sebagai sikap mabuk kekuasaan dan kemewahan.

Keserakahan dalam harta dan kemewahan semestinya tidak melalaikan fungsi sosial harta. Agar dapat pula memenuhi kebutuhan kaum mustadh’afin sebagaimana dalam surat al-Hasyr ayat 7.

Lima Jalan Menuju Pencerahan Hidup

Buya Syafii dalam buku ini juga menjelaskan beberapa jalan menuju pencerahan hidup.

Pertama, pentingnya pemahaman keagamaan yang seimbang (moderat). Buya mencontohkan seperti berzikir sangat perlu. Namun perlu diimbangi dengan berfikr. Buya mengingatkan bahwa zikir an sich tidak akan membawa kita kepada kehidupan yang jaya di muka bumi ini. Aktivitas tersebut perlu diimbangi dengan berfikr tentang permasalahan sosial dan alam semesta. Zikir tanpa berpikir merupakan pemahaman yang parsial terhadap konsep Islam. Sementara berpikir tanpa zikir akan menghasilkan manusia yang rakus, materialis dan sekuler.

Kedua, tidak ada dikotomi keilmuan antara pendidikan agama dan umum. Keduanya tidak dapat dipertentangkan. Kombinasi keduanya sangat penting untuk membangunkan generasi umat yang mempunyai budaya ilmu yang canggih berikut teknologi mutakhir seiring berkembangnya zaman.

Buya berpesan bahwa, “umat Islam bila memang mau menjadi manusia yang terhormat dalam percaturan sejarah, tidak punya pilihan lain kecuali mengembangkan budaya ilmu sampai batas-batas yang amat jauh”. (hlm. 51)

Baca Juga  Cak Nun: Hubungan Islam, Budaya, dan Seni

Kemudian Buya Syafii mengutip spirit tersebut dalam surat al-Mujadilah ayat 11, “Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.

Di samping itu juga, Buya mengutip surat al-Insyirah ayat 6, “Di mana ada kesulitan, di situ pasti ada kemudahan.” Buya jelaskan pentingnya semangat juang yang tinggi dan otak yang kreatif untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi. Asas iman dan ilmu yang berada di tangan umat yang cerdas dan kreatif akan melahirkan peradaban yang ramah dan anggun.

Ketiga, fondasi ekonomi yang kuat bagi umat. Buya Syafii jelaskan bahwa tidak sedikit ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai anjuran untuk memberi ketimbang menerima. Segala bidang akan terhambat bila dasar ekonomi umat lemah. “Islam memang agama yang pro terhadap orang miskin, tapi sebenarnya benci kepada kemiskinan. Kemiskinan merupakan di antara penyakit sosial yang mesti dibasmi”. (hlm. 60).

Keempat, menghidupkan budaya musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat. Di samping Islam adalah agama egalitarian yang menempatkan umat manusia pada posisi yang sama di depan Tuhan dan sejarah, juga melalui lembaga syura mesti menjadi wadah memecahkan segala persoalan penting yang menyangkut umat.

Kelima, Islam sebagai rahmatan lil’alamin memiliki pemahaman yang luas. Tidak saja relasinya dengan umat beragama yang lain, namun juga mencakup agar manusia tidak merusak lingkungan, menjaga ekologi agar tidak tercemar. Menjadikan alam sebagai teman bukan musuh yang dengan sekehendaknya dihancurkan.

Sebagaimana ciri khas tulisan Buya yang tajam melontarkan kritik, kesewenang-wenangan memperlakukan alam yang dilakukan banyak industri tanpa pembangunan berkelanjutan merupakan sikap zalim.

Maka, setiap langkah-langkah menuju kecemerlangan hidup di atas perlu diinsafi oleh setiap muslim. Sebagaimana Buya mengutip surat al-Mu’minun ayat 115, “Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?

Baca Juga  Syariah Paska Kolonial: Refleksi Wael Hallaq

Berdasarkan ayat tersebut, manusia memiliki tugas serius dalam memikul tugas pemakmur dan pemimpin di muka bumi. “Al-Qur’an tidaklah mengajarkan agar kita pesimis menghadapi masa depan, asal pejuang-pejuang kemanusiaan tidak pernah kendur dalam usahanya untuk menciptakan dunia yang lebih adil”. (hlm. 30)

Warisan intelektual Buya sebagaimana dalam tulisan-tulisan reflektifnya sangat berharga untung mendampingi kita menuju kualitas umat pada masa mendatang. Karya Buya Syafii mana pun rasanya selalu relevan sebagai nasihat dan pengingat dalam perjalanan umat sepanjang zaman. Wallahu A’lam Bishawab.

Daftar Buku

Judul Buku       : Membumikan Islam: Dari Romantisme Masa Silam Menuju Islam Masa Depan

Penulis             : Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif

Editor                : Muh. Sungaidi Ardani

Penerbit            : IRCiSoD

Tahun Terbit    : 2019

Tebal             : 296 halaman; 14 x 20 cm

Editor: Soleh

Al-Faiz Muhammad Rabbany Tarman
4 posts

About author
Dosen STAI Muhammadiyah Klaten
Articles
Related posts
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…
Review

Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

5 Mins read
Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam,…
Review

Belajar Kehidupan dari Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

4 Mins read
“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” (Buku Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds