Review

Novel Dunia Sophie: Cara Mudah Memahami Filsafat

4 Mins read

Filsafat sering dipahami sebagai disiplin keilmuan yang rumit dan sangat abstrak untuk dipahami oleh sebagian orang. Berbagai istilah (term) yang tidak dipahami membuat orang enggan untuk menyibukan diri mencari makna dari suatu kata.

Bagi penulis itu wajar, karena hakikat dari filsafat adalah berpikir. Dalam berpikir, kita mengalami kebingungan untuk mencari jawaban atas hal dibingungkan. Namun akan menjadi suatu masalah jika kita hanya sekadar bingung, tapi enggan untuk mencari lebih lanjut jawaban tersebut.

Perlu kita pahami bahwa filsafat itu bukan jawaban, namun proses mencari jawaban atas berbagai macam pertanyaan dalam pikiran manusia. Nalar berfilsafat merupakan hal yang alamiah dalam diri manusia, karena setiap manusia dalam hidupnya pasti akan mengalami kebingungan, maka berfilsafat adalah fitrah dalam kehidupan.

Dunia Sophie: Inovasi dalam Bidang Filsafat

Dewasa kini filsafat mengalami transformasi. Jika sebelumnya filsafat itu melekat dengan literatur-literatur berat, sekarang filsafat hadir dalam sebuah karya yang menarik dan mudah dipahami bagi orang awam.

Jostein Gaarder seorang penulis buku berkebangsaan Norwegia, telah menyulap materi-materi filsafat yang sangat berat menjadi sangat ringan dan bernas. Jostein Gaarder menulis novel berjudul Dunia Sophie (Sophie’s Word) sebuah novel filsafat, yang menceritakan tentang seorang gadis remaja berusia 14 tahun bernama Sophie Amundsen.

Semula, Sophie hanyalah anak yang biasa saja sama seperti anak-anak yang lainnya. Namun semua berubah secara dratis ketika ia mendapatkan pembelajaran filsafat dari seorang filosof misterius.

Novel ini menceritakan proses perubahan pemikiran seorang gadis belia dalam mencari makna kehidupan. Berbagai macam pertanyaan yang sangat filosofis diajukan kepada Sophie. Ia berusaha mencari tau jawabannya. Prof. Franz Magnis Suseno memberikan testimoni tentang novel ini, “Anda ingin tahu apa filsafat, tetapi tidak sempat, terlalu kabur, abstrak, susah, dan bertele-tele? Bacalah buku manis ini di mana Sophie anak putri 14 tahun, menjadi terpesona karenanya.”

Baca Juga  Ibnu Rusyd, Memadukan Ilmu Agama dan Metode Filosofis

Skeptisme Sebagai Fondasi Berpikir

Skeptis merupakan sikap terpenting dalam mencari suatu kebenaran. Skeptis merupakan prosedur ketat dalam menerima informasi. Yakni dengan tidak mempercayai begitu saja informasi yang ada. Ia menjadikan kita lebih jeli terhadap segala sesuatu.

Seringkali manusia begitu mudahnya menerima informasi, tanpa memikirkan dari mana sumber informasi tersebut. Di awal Novel ini, dikisahkan Sophie menunjukan sikap skeptis terhadap rekan diskusinya Joanna.

Sebagaimana dalam kutipan Novelnya yaitu: “Sophie Amundsend sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Dia telah menempuh paruh pertama perjalanannya bersama Joanna. Mereka membicarakan robot. Joanna beranggapan otak manusia itu seperti komputer yang sangat canggih. Sophie tidak terlalu sepakat. Tentunya manusia bukan sekadar sepotong perangkat keras?”

Sophie tidak sepakat dengan analogi otak manusia yang disampaikan oleh Joanna. Sophie meyakini bahwa otak manusia lebih kompleks dari sekadar hardware komputer. Sikap Sophie ini merupakan sikap skeptis.

Sikap ini merupakan ketidakpercayaan komplit akan segala sesuatu menuju keraguan tentatif akan proses pencapaian kepastian. Sikap skeptis sendiri merupakan karakter seorang filsuf dalam memperoleh kebenaran, dengan tidak mudah mempercayai suatu informasi, menjadikan kita mencoba mencari informasi lainnya dengan teliti.

Rasa Ingin Tahu Proses Mencari Kebenaran

Rasa ingin tahu adalah bentuk dari proses mencari sebuah kebenaran, diawali dengan sikap skeptis, membuka gerbang untuk meninjau kembali informasi yang telah didapatkan. Guna mendapatkan jawaban yang lebih meyakinkan. Bagi seorang filsuf, rasa ingin tahu sangat dibutuhkan untuk mencari informasi atas realitas. Tidak ada yang lebih berharga selain pengetahuan. Keterbatasan informasi dan akses menjadikan seorang filsuf tertantang untuk menggali lebih dalam hakikat dari suatu peristiwa. Maka dari itu rasa ingin tahu adalah sebuah proses dalam mencari kebenaran.

“…satu-satunya yang kita butuhkan untuk menjadi filosof yang baik adalah rasa ingin tahu…” (Jostein Gaarder, Novel Dunia Sophie, hal. 30)

Dikisahkan dalam novel tersebut sepulang dari sekolah, Sophie membuka gerbang halamannya untuk masuk. Pandangannya mengarah kepada kotak surat. Ia merasa kebingungan terhadap surat tersebut karena biasanya surat selalu tertuju kepada ibunya. Kini ada surat yang tertuju kepadanya.

Baca Juga  Memperkokoh Keimanan dengan Filsafat

…Pada amplop putih tertulis: ‘Sophie Amundsend, 3 Clover Close.’ Itu saja. Tidak disebutkan siapa pengirimnya. Prangkonya pun tak ada. Setelah Sophie menutup gerbang, dia buru-buru membuka amplop itu. Di dalamnya hanya ada secarik kertas yang tidak lebih besar dari amplopnya sendiri. Bunyinya: Siapakah kamu? Sophie yang menerima surat dari seseorang yang misterius tersebut merasa bingung dengan isi surat tersebut yang berbunyi.

Siapakah kamu? Sophie merasa bingung dengan pertanyaan yang diajukan tersebut. Dan anehnya lagi, Sophie sendiri bingung bagaimana menjawab pertanyaan tersebut. Karena penasaran terhadap isi amplop tersebut Sophie kembali ke kotak pos untuk memeriksa apakah ada amplop lain. Ia menemukan amplop putih persis seperti amplop yang pertama dengan ukuran tulisan yang sama dengan amplop yang pertama.

Surat itu berbunyi: Dari mana datangnya dunia? Kepala Sophie dibuat pusing dengan pertanyaan yang diajukan oleh seseorang misterius tersebut. Hingga akhinya ia memutuskan pergi menyendiri di tempat persembunyian rahasianya.

Di tempat persembunyian rahasianya ia berfikir tentang jawaban atas pertanyaan yang diajukan tersebut. Pikirannya mulai terkonstruksi untuk berusaha menjawab pertanyaan dari mana datangnya dunia?

Persamaan antara Filsuf dan Anak-Anak

Di antara persamaan filsuf dan anak-anak adalah sama-sama memiliki sikap rasa ingin tahu yang tinggi. Dunia bagi mereka terasa sangat asing. Sehingga dengan berbagai macam kebingungan tersebut, memantik mereka untuk terus bertanya tentang segala hal yang terjadi dalam realitas.

Bagi anak-anak, dunia dan segala sesuatu di dalamnya itu hal yg baru. Sesuatu yang membangkitkan keheranan mereka. Tidak demikian halnya dengan bagi orang dewasa. Kebanyakan orang dewasa menerima dunia sebagai sesuatu yg sudah selayaknya demikian.

Di sini tepatnya, para Filosof itu menjadi tokoh istimewa. Seorang Filosof tidak pernah merasa terbiasa dengan dunia. Baginya, dunia selalu tampak sedikit tidak masuk akal-membingungkan. Bahkan penuh teka-teki. Karenanya filosof dan anak-anak memiliki indra yang penting.

Baca Juga  Nalar Kritis Keberagamaan

Sophie adalah gambaran seorang gadis yang awalnya biasa saja serta tidak banyak yang ia tahu. Akan tetapi, silih bergantinya waktu ia semakin banyak tahu akan sesuatu melalui pembelajaran filsafat.

Dalam novel ini mengisahkan proses berfikir manusia untuk mencapai kebijaksanaan. Semua kebijaksanaan ini tidaklah instan, tetapi didapatkan melalui berbagai macam pengalaman serta pengetahuan.

Judul Buku: Novel Dunia Sophie
Penulis: Jostein Gaarder
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: PT Mizan Pustaka
ISBN: 978-602-441-020-9
Jumlah Halaman: 800 hlm

Editor: Yahya FR

Avatar
13 posts

About author
Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Agama Islam di Fakultas Agama Islam UM Palangka Raya. Ketua Bidang Organisasi PC IMM Palangka Raya 2019-2020
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *