Oleh: Iffatus Sholehah*
Pada dasarnya, literasi bukan kata baru yang muncul ke permukaan, hanya saja ada sebagian orang yang belum mengetahui maknanya. Akan tetapi, sebenarnya juga bukan bahasa yang mengherankan, karena mengingat ia memiliki makna yang kompleks dan dinamis. Sehingga beberapa orang masih mendefinisikannya dengan berbagai sudut pandang.
Sebelum kita memahami makna literasi lebih jauh, mari sejenak kita visualisasikan di saat kita antri di sebuah restoran maupun warung, yang terkenal dengan sajian makanan-makanan yang lezat. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan banyak yang singgah ke sana untuk mengisi perut mereka yang tengah kelaparan.
Di sana tampak orang-orang yang sedang mengantre untuk memesan makanan favoritnya. Di sekitar kasir pula terdapat kertas putih yang sudah dilaminating dengan tulisan spidol warna hitam pekat bertuliskan “Budayakan mengantri. Akan tiba saatnya nanti giliran Anda”.
Dari situlah kita bisa menilai antara pengantre patuh dan pengantre tak patuh. Pengantre yang tak paham literasi atau yang paham literasi. Pengantre yang paham, namun mengabaikan pesan yang ditulis pegawai tempat makan tersebut. Pengantre yang paham literasi tapi tak peka terhadap perasaan pengantre yang lebih dulu mengantre makanan.
Pengantre Patuh dan Tak Patuh
Pengantre patuh dengan sendirinya akan tertib menunggu antrean sesuai peraturan atau petunjuk yang ada. Ia mengedepankan superego dan dengan cakap mengatur egonya. Dengan keikhlasan ia sabar menunggu giliran tanpa merugikan orang lain. Ia sadar bahwa dengan aturan tersebut untuk menciptakan ketertiban yang baik.
Namun sebaliknya, pengantre tidak patuh biasanya tidak mempedulikan antrean. Ia mengedepankan egonya dan menyembunyikan superegonya. Dengan sesuka hati ia menerobos antrian orang lain. Selama ada space, ia akan terus mencoba mengambil tempat orang lain agar hasratnya dapat tercapai.
Lalu, apakah dia tidak bisa membaca alias buta aksara (illiterate) terhadap jargon yang ada? Tentu saja tidak. Bisa jadi sebenarnya dia dapat membaca secara sempurna. Akan tetapi, dia tidak mengaplikasikan hasil pembacaannya dengan cara yang seharusnya.
Meskipun sama-sama tidak tuna aksara, dua jenis pengantre di atas sangat berbeda. Pengantre tidak patuh memiliki pemahaman teks yang tidak bagus dan menunjukkan reaksi yang tidak bagus pula.
Sebaliknya pengantri patuh melakukan hal yang bertolak belakang dari pengantri tidak patuh. Ia memiliki pemikiran yang benar, sikap yang positif, serta reaksi yang juga terikat pada kebenaran. Maka dengan sendirinya nilai kearifan terpantul di sana. Dalam arti, pengantri patuh memiliki kearifan dalam bersikap melalui pembacaan dan pemikiran yang sahih
Paralel yang sama, orang yang tidak buta huruf tetapi tidak bisa menggunakan komputer berarti literasi komputer (computer literacy)-nya rendah. Lalu, untuk orang yang mengaku bisa menulis, atau mengarahkan keterampilan menulis, namun dia tidak pernah menghasilkan tulisan, apakah ini berarti literasi menulis (writing literacy)-nya rendah?
Dalam hal ini, tentu saja, setiap pribadi memiliki tingkat literasinya masing-masing, begitu juga setiap ilmu juga memiliki literasinya sendiri-sendiri. Ada orang yang memiliki kemampuan literasi di bidang ilmu komunikasi, sastra, sains, matematika, sosial-humaniora, hukum, dan bidang keilmuan dan pekerjaan lainnya. Sebaliknya, ada orang yang tidak memiliki kemampuan literasi yang baik, di samping kemampuan komunikasi dengan lawan bicaranya yang rendah.
Butuh Kemampuan untuk Memahami
Demikianlah makna literasi yang saya sorot, yang perumpamaannya melalui kepatuhan dan ketidakpatuhan melalui tempat makan sebagaimana termaktub di atas. Hal tersebut untuk kita lebih memahami serta mendalami mengenai makna literasi yang sering kali kita baca. Perumpamaan di atas menjadi pelajaran berharga bagi kita agar memahami literasi tidak hanya sebatas membaca dan menulis.
Sumber dari istilah litera (leter atau aksara, alfabet, abjad, huruf, karakter), setidaknya kita pahami makna literasi di setiap tempat di mana pun berada. Akan percuma kita tahu arti literasi, jika pada akhirnya tindakan kita tidak mencerminkan apa yang kita baca dan ketahui.
Di satu sisi, litera menuntut seseorang untuk memahami aksara/huruf dalam bacaan dan ‘menghasilkan aksara’ dalam bentuk tulisan. Di sisi lain, literasi sebagai kunci untuk ‘menghasilkan aksara’ tidak lain adalah kemampuan untuk memahami. Karena itulah, maka literacy yang awalnya maknanya sempit menjadi semakin luas, yaitu membaca (memahami), dan mengeluarkan pendapat berdasarkan apa yang dipahami.
Pada hakikatnya, literasi merupakan istilah umum yang banyak dipakai sebagai seperangkat keterampilan serta kemampuan setiap individu untuk membaca, berbicara, menulis dan menghitung serta memecahkan masalah pada level keahlian tertentu yang teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga literasi tidak dapat dilepaskan dari kemampuan berbahasa.
Apabila ditinjau dari sisi Islam, literasi membaca itu dikenal dengan perintah wajib yaitu iqra’. Dalam arti luas tidak hanya membaca, akan tetapi mengkaji dan memahami teks. Sedangkan literasi menulis disugestikan dengan qalam, yakni menyampaikan apa yang telah dibaca kepada orang lain dengan cara-cara yang baik.
Penyampaian tersebut bisa dengan lisan atau tulisan yang dalam istilah yang mafhum diketahui yaitu literasi teks dan literasi visual. Keduanya berada pada lingkaran konteks dalam hal menyampaikan pendapat, ide, dan sikap berdasarkan pemahaman.
Wallaahu a’lam bish shawaab.
*Alumnus Pascasarjana Prodi Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.