“Kemarin membuat dompet dari kertas karton lapis kain perca, kemarin lagi membuat bunga dari kertas, sebelumnya seni melipat origami, hari ini menghias sandal jepit. Semua bahan harus membeli dan keluar dari rumah. Terus, dananya dari mana dan kapan anak bisa belajar dengan baik?” Itulah sepenggal keluhan orang tua menanggapi berbagai tugas dari guru sekolah yang berusaha menanamkan life skill.
Ada konsep yang perlu dikembangkan berkaitan dengan pemahaman guru tentang life skill, yang meliputi empat aspek yaitu kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri.
Ooo, ternyata banyak ya aspek life skill. Tentu saja, bahkan kecakapan personal pun mempunyai berbagai ragam, seperti tumbuhnya kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan yang maha esa, serta mensyukuri kelebihan yang dimiliki sehingga dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Begitu juga kecakapan personal, mengarah pada kemampuan berfikir rasional, menggali dan menemukan informasi, serta kemampuan mengambil keputusan yang paling baik.
Lain lagi kecakapan sosial. Kecakatan ini meliputi kecakapan berkomunikasi dengan empati dan kecakapan bekerja sama, saling pengertian, saling membantu. Sementara itu, kecakapan akademik merupakan kecakapan intelektual atau kemampuan berfikir ilmiah, termasuk kritis, obyektif, dan transparan. Terakhir, kecakapan vokasional berkaitan dengan kemampuan menggunakan alat sederhana, dan menekuni pekerjaan tertentu untuk bekal kehidupan sehari-hari.
Filosofi Life Skill
Banyak orang mengartikan life skill itu lebih mengarah pada hard skill. Tetapi, sesungguhnya tidak hanya itu. Kecakapan hidup merupakan kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Di dalamnya juga termasuk kemampuan beradaptasi dan berinteraksi dengan orang lain dan masyarakat di mana ia berada. (Depdiknas, 2002:2)
Wah, jadi luas ya, ternyata cakupan life skill itu. tentu saja, oleh karena itu, kita sebagai guru atau sebagai orang tua hendaknya memahami makna filosofi life skill itu. Kecakatan hidup juga dapat dimaknai sebagai bentuk kemampuan dan pengetahuan seseorang untuk menantang masalah hidup dan secara proaktif mencari serta menemukan solusi yang mampu mengatasinya dengan kemampuan dan berinteraksi serta beradaptasi dengan orang lain.
Bahkan, soft skill juga menyangkut kemampuan pengambilan keputusan pemecahan masalah, berfikir kritis, kreatif, berkomunikasi secara efektif membina hubungan antarpribadi, kesadaran diri, berimpati, mengatasi emosi dan mengatasi stress.
Pentingnya Soft Skill bagi Anak
Di saat perkembangan ilmu pedagogi berkembang seperti sekarang ini, life skill bukan hanya terbatas pada hard skill, tetapi juga soft skill yang ragamnya sangat banyak. Soft skill inilah yang jarang—kalau tidak boleh dikatakan belum pernah—dilatihkan oleh guru kepada siswa. Soft skill sebagai bagian dari life skill yang harus dimiliki oleh siswa antara lain keterampilan berkomunikasi termasuk keterampilan berpidato, membina hubungan antar pribadi, kesadaran diri, berempati mengatasi emosi, mengatasi stress, melakukan persuasi, menggunakan bahasa asing, bernyanyi, dan lain-lain.
Soft skill juga meliputi kemampuan mengambil keputusan, memecahkan masalah, berfikir kritis, dan kreatif. Selain itu, soft skill juga menyangkut kemampuan kepemimpinan, dan lainnya. Soft skill juga dapat terlihat dari kemampuan independensi seseorang tanpa harus selalu tergantung kepada orang lain.
Soft skill juga banyak dimaknai oleh ahli ilmu pendidikan dan psikologi berupa domain afeksi, yaitu pemahaman akan sesuatu yang harus dikuasi oleh siswa dengan baik. Karena hal itu akan digunakan sebagai bekal dalam kehidupan sehari-hari baik saat sekolah, maupun setelah bekerja dan terjun di masyarakat.
Tujuan Latihan Life Skill di Rumah
Guru dalam memberikan tugas untuk melatih life skill anak di rumah sesungguhnya bertujuan agar siswa mempunyai pengalaman belajar yang berarti bagi peserta didik sesuai dengan apa yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya adalah proses sosial dalam kehidupan di dalam keluarga dan masyarakat, fungsi sosial masing-masing peranan yang ada di organisasi RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan pemerintahan. Namun, secara khusus sesungguhnya life skill yang dilatihkan guru ketika memberikan tugas kepada siswa yang sedang belajar di rumah adalah untuk mengakktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problem yang dihadapi.
Selain itu, guru akan memberikan pembelajaran yang fleksibel sesuai broad based education. Guru juga dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada di rumah selama anak belajar belum masuk sekolah sesuai dengan prinsip belajar mandiri yang dapat dipertanggungjawabkan.
Logos, Etos, dan Patos
Apa yang dilakukan guru terhadap siswa dalam memberikan tugas di rumah hendaknya mampu memberdayakan asset kualitas batiniah, sikap, dan perbuatan lahiriyah anak melalui proses pengenalan (logos), penghayatan (etos), dan pengalaman (patos) tentang nilai kehidupan sehari-hari sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan anak.
Dalam melakukan logos, etos, dan patos tersebut, guru hendaknya juga mampu memberikan bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar mengenai nilai-nilai kehidupan sehari-hari yang dapat meningkatkan kemampuan anak untuk berfungsi menghadapi kehidupan masa depan yang sangat kompetitif.
Bahkan, pelaksanaan logos, etos, dan patos ternyata juga mampu membentuk karakter anak yang lebih baik. Sebagaimana diketahui bahwa karakter lebih mengarah pada tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan yang unik yang bisa membedakan satu anak dengan anak lainnya. Di sinilah perlunya melakukan logos, etos, dan patos agar ciri-ciri perbuatan yang dilakukan anak dapat tertanam kuat dalam jiwa dan pribadinya, dilakukan secara spontan, tidak ada paksaan, dan bukan pura-pura atau sandiwara.
Peran logos, etos, dan patos yang diberikan oleh guru pada saat memberikan tugas kepada siswa hendaknya mampu mengukir kepribadian siswa agar siswa mengetahui kebaikan dan mencintai kebaikan melalui tiga ranah pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Ketika ketiga ranah itu sudah tertanan pada diri siswa, akan menghasilkan kebiasaan moral sehingga mampu menjadi habit of mind, heart, and hand.
***
Dengan demikian, pendidikan karakter yang dapat ditanamkan kepada anak selama belajar di rumah antara lain peningkatan religiousitas anak, semangat kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu yang tinggi, selalu semangat, disiplin, tepat waktu, selalu ada target, selalu berusaha menjadi yang terbaik, cekatan, suka membantu, dapat menjadi inspirasi bagi orang lain, memberikan sesuatu untuk orang lain, suka membantu orang lain, mampu membuat keputusan dengan cepat, menghargai orang lain, jujur, adil, toleransi, integritas, baik hati, berani membela yang benar, kritis, empati, menghagai orang lain, mau mendengarkan masukan dari orang lain, cinta kebaikan, mampu mengontrol diri, rendah hati, menghargai prestasi orang lain, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, dan peduli terhadap sesama.
Ketika semua hal itu dapat dilakukan oleh siswa dengan sadar, berarti pendidikan karakter tersebut telah berfungsi baik fungsi edukasi, proteksi, afeksi, sisialisasi, reproduksi, religi, ekonomi, rekreasi, biologis, maupun transformasi.
Sebagai penutup, tentu saja pendidikan karakter dapat dilakukan di dalam keluarga melalui proses internalisasi, keteladanan, pembiasaan, bermain sambil belajar, cerita, nasehat, penghargaan dan penegakan aturan keluarga. Semoga saja selama siswa belajara di rumah proses logos, etos, dan patos dalam penanaman life skill dan karakter anak dapat tercapai. Semoga.